Minggu, 20 Desember 2009

SILABUS Filsafat Pendidikan Islam

MATA KULIAH : FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
KOMPONEN : MATA KULIAH KEILMUAN DAN KETERAMPILAN (MKK)
FAKULTAS : TARBIYAH
JURUSAN : Pendidikan Kimia
PROGRAM : S1
SEMESTER : IV
BOBOT : 2 SKS

B. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mata kuliah ini memberikan diskusinya tentang berbagai problem yang berkenaan dengan pendidikan Islam melalui pendekatan filsafat praktis guna untuk mencarikan pemecahannya secara mendalam, sistematis, logis, metodis dan komprehensif, sehingga terbentuk pengetahuan ideal tentang pendidikan Islam. Oleh karena itu, diskusi-diskusi penting dalam mata kuliah ini mencakup permasalahan tentang konsepsi manusia, pendidikan dan nilai dalam konteks Islam sebagai pemahaman awal yang akan menjadi landasan bagi pemikiran system stategi dan tehnik pendidikan yang dapat ditempuh untuk mengembangkan sumber daya manusia yang tidak lain adalah inti dari aktivitas kependidikan itu sendiri. Mata kuliah ini juga memperkenalkan aliran-aliran dalam filsafat pendidikan sebagai model berpikir filsafat dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan. Kecuali itu, karena kegiatan kependidikan dalam lembaga pendidikan bukanlah suatu badan yang berdiri sendiri, maka dalam diskusi mata kuliah ini juga dibicarakan bagaimana keterkaitan pendidikan dengan ideology politik negara yang akan tercermin dalam peraturan-peraturan dan perundang-undangan pendidikan.

C. TUJUAN

Mata kuliah ini bertujuan untuk melatih mahasiswa berpikir logis, sistematis dan mendalam tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan Islam, sehingga memiliki pemahaman yang tajam tentang dunia pendidikan Islam dan terlatih menggunakan tata pikir filsafat untuk melahirkan pemikiran yang kreatif, konstruktif dan inovatif.

D. TOPIK INTI
1. Mengenal Kawasan Filsafat Pendidikan Islam
2. Epistemologi Pendidikan Islam
3. Nilai dan Pendidikan Islam
a. Hakikat Nilai dalam Islam
b. Etika dan Pendidikan
c. Estetika dan Pendidikan
4. Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia
a. Idealisme-Rasionalistis
b. Realisme
c. Pragmatisme-Eksprimentalisme
d. Eksistensialisme
e. Islam
5. Aliran-Aliran dalam Filsafat Pendidikan
a. Progresivisme
b. Essensialisme
c. Perenialisme
d. Rekonstrusionisme

E. STRATEGI PEMBELAJARAN
1.Metode
Metode yang digunakan dalam pembelajaran mata kuliah ini adalah metode ceramah dan diskusi/dialog yang divariasikan dengan pemberian contoh dan tugas melalui model berpikir filsafat. Penekanaan penggunaan metode dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk mengembangkan pola berpikir analisis-kritis, kreatif, reflektif dan inovatif terhadap berbagai problem pendidikan.

2. Media
Untuk membantu pelaksanaan pembelajaran selain menggunakan media yang lazim digunakan di kelas, juga dengan menggunakan OHP.

F. EVALUASI
Evaluasi yang digunakan adalah tes lisan, tulisan, studi kasus.

G. REFRENSI POKOK

Muhmidayeli., Filsafat Pendidikan Islam, Aditya Medya, Yogyakarta, 2005
Muhmidayeli., Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia., Program Pas casarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P, Pekanbaru, 2007
John S. Brubacher, Modern Philosophy of Education, Mc.Graw Hill Publishing Company, New York, 1978.
George F. Kneller, Introduction To The Philosophy of Education, John Wiley & Sons, Inc, New York, 1971.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992.
Al-Syaibany, Omar Muhammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
`Ali Khalil Abu al-`Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1980
Abdul Rahman Shalih, Educational Theory; A Qur`anic Outlook, Ummul Qura` University, Makkah, 1982.
Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Al-fabeta, Bandung, 2003.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta, 1990.
Imam Barnadib, Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Direkto0rat Perguruan Tinggi, Jakarta, 1988.
Titus, H. Hornorld, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, Terj. Rasyidi, Bulan Bintang

REFRENSI PENUNJANG
Muhmidayeli, Pemikiran Etika Ibn Miskawaih dan J.J. Rousseau,
Sir Thomson Gudfrey, A Modern Philosophy of Education, George Allen  Unwin, London, 1975.
Kingsley Price, Education and Philosophical Thought
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, IKIP Yogyakarta, Yogyakarta, 1985.
Muhammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1986.
Hasan bin `Ali al-Hijaziy, Manhaj Tarbiyah Ibn Qayyum, edisi terjemahan, Pustaka, Bandung, 2001.
Zulkarnaini, Filasafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.
Richard Pratte, Contemporary Theories of Education, Educational Publishers, Scranton, 1971.
Sayyed Husein Nasr, Tradisional Islam in The Modern World, Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung.
………. Knowledge and The Sacred, Terj. Suharsono, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.
Mortimer J. Adler, The Conflict in Education.
----------, The Crisis in Contemporary Education.
B.Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan,, Kota Kembang, Yogyakarta, 1993.
Arthur K. Ellis dkk., Introduction To The Foundations of Education, Prentice Hall, New Jersey, 1986.
Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, Mac Millan Publishing, Co. Inc., New York, 1974.
Theodore Bramel, Philophies of Education in Cultural Perspektive, HO. It Renehart and Wiston, 1955.
Jamaludin dkk., Filsafat Pendidikan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.
Muhammad Iqbal, Asrar I Khudi, Terj. Bahrum Rangkuti, Bulan Bintang, Jakarta, t.t.
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Tinta Mas, Jakarta, 1966.
John Dewey, Budaya dan Kebebasan, Terj. A.Rahman Zainuddin, Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Steven M. Chan (ed), New Studies in The Philosophy of John Dewey, The University Press of New England, New Hamesphire, 1977.
Sidney Hook, Sosok Filsuf Humanis Demokrat dalam Tradisi Pragmatisme, Terj. I. Gatot dan Avi Mahaningtyas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.

Rabu, 09 Desember 2009

Pendidikan Islam era Global

PENDIDIKAN ISLAM DI DUNIA GLOBAL; SEBUAH TELAAH EPISTEMIK TERHADAP MORALITAS KEPENDIDIKAN

Oleh: Muhmidayeli*
E-mail: muhmidayeli@yahoo.co.id

Abstrak
Pendidikan Islam sebagai wadah perubahan dan kebaikan dapat dikatakan sebagai sarana rekayasa individual dan sosial ke arah pembangunan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, maka penyesuaian misi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat merupakan suatu kemestian. Era globalisasi yang berdampak pada benturan budaya dan agama tentu mesti direspon dengan gerak upaya pendidikan sehingga pendidikan benar-benar dapat menjadi wadah rekayasa dan perubahan sosial kemasyarakatan sesuai dengan ruh Islam itu sendiri..
Iman sebagai implementasi praktis dari jiwa ketauhidan dalam Islam meniscayakan adanya rencana aksi kependidikan yang tidak hanya bergerak pada upaya metodologis-aplikatif akan pentransferan berbagai ilmu pengetahuan dan pembentukan skill an sich, tetapi juga pada upaya pentransferan nilai-nilai moral ke-Ilahi-an yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah Nabi Muhamad SAW.
Moralitas kependidikan Islam yang berdimensikan nilai-nilai ke-Ilahi-an sebagai wujud dari jiwa ketauhidan ini, secara kategoris akan menjelmakan manusia-manusia yang kuat dalam iman, ilmu dan amal sebagai lambang jiwa produktivitas manusia yang dapat menopang dinamika kehidupan alam global. Moralitas kependidikan Islam ini mesti ditata dalam konteks pembentukan kepribadian yang cerdas, tangkas dan penuh dedikasi mencari kebenaran Islami agar semangat pengembangan intelektual terarah untuk menjadikan dirinya sebagai insan muttaqin.

Kata Kunci
Pendidikan Islam, globalisasi, epistemologi pendidikan, moralitas pendidikkan

A. Pendahuluan
Firman Allah SWT dalam al-Qur`an surah al-Nahl ayat 78 memberi petunjuk pentingnya proses panjang untuk mengisi kemanusiaan. Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa manusia tidak akan dapat menjadi manusia utuh yang memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemudahan kehidupannya, jika ia belum mampu memaksimalkan fungsi instrumen-instrumen jasmani dan ruhaninya. Hanya dengan cara demikian seseorang menjadi lebih baik dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan sebagai lambang bagi dirinya. Hal yang sedemikian itu memerlukan pengkondisian yang terarah dan tertata rapi, sehingga dua potensi manusia itu dapat berkembang dan terbina untuk melahirkan berbagai pengetahuan yang akan membentuk pemikirannya yang selanjutnya menjadi sikap diri yang menunjuk pada jati diri manusia itu sendiri. Upaya pengaturan kondisi inilah yang menjadi karakter utama pendidikan Islam.
Untuk membangun pendidikan Islam seperti ini menjadikan pengupayaaan pembinaan kesadaran subjek-subjek didik ini dapat dilakukan melalui pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan moral melalui pendidikan dan pembinaan pada pembuatan putusan moral melalui pertimbangan-pertimbangan rasional. Hal ini sangat penting, terutama mengingat kesadaran manusia atas sesuatu selalu berhubungan dengan dapat tidaknya rasio mereka mencerna dan menerima sebuah ajaran sebagai sebuah keyakinan ontologis yang mesti diaktualisasikan dalam tindakan senyatanya.
Era globalisasi yang sarat dengan dinamika kehidupan yang begitu cepat secara langsung atau tidak akan mempengaruhi model berpikir dan cara orang dalam mengambil sikap hidup. Hal yang paling terdepan dapat membentuk pola itu, adalah peran dan pola pendidikan yang berlangsung. Pendidikan Islam dengan jiwa pembangunan humanitas yang ditawarkan pada hakikatnya akan mampu menjadikan kepribadian yang kokoh dan tangguh dalam membuat keputusan humanitas. Hal ini tidak saja pola dan corak yang dibangun atas nilai moral sebagai bagian utama kemanusian, tetapi juga pemahaman moralitas sebagai ekspresi nilai-nilai ketauhidan yang tampil dalam wujud prilaku paripuna kemanusiaan. Jika ini ditata dan dikembangkan dalam konteks kekinian, maka pendidikan Islam akan menjadi tumpuan harapan penyelamatan jiwa kemanusiaan yang mungkin kosong akibat kebingungan dan kehampaan nilai yang muncul akibat gaya hidup yang ditawarkan dalam konteks gl;obalisasi saat ini.
Tulisan ini mencoba menelaah secara epistemik moralitas kependidikan Islam guna menjawab kebutuhan masyarakat global yang cenderung mengabaikan persoalan yang bernuansakan etis, baik yang esoterik.maupun yang eksoterik.

B. Pendidikan Islam sebagai Rekayasa Masyarakat Moralis
Esensi pendidikan dalam usaha persekolahan tidak lain adalah pengupayaan perubahan ke arah yang lebih “baik”, sehingga jika tanpa ada perubahan dan kebaikan yang mengarah pada pengembangan, menurut tujuan–tujuan yang telah ditetapkan, sama artinya proses kependidikan yang berlangsung tanpa makna dan nilai. Esensinya yang sedemikian, meniscayakan pendidikan berorientasi pada masa depan, bukan masa sekarang, dan atau hanya sekedar pelestarian nilai-nilai semata.
Sebagai wadah perubahan dan kebaikan yang bermuatan pengembangan tentunya pendidikan persekolahan dapat dikatakan sebagai sarana rekayasa individual dan sosial, pengembangan kemanusian ke arah pembangunan kehidupan masyarakat yang lebih baik yang menjadi lambang bagi entitasnya. Oleh karena itu, maka penyesuaian misi pendidikan Islam dengan kebutuhan masyarakat yang terlibat di dalam aktivitasnya merupakan suatu kemestian. Tanpa itu, maka apa yang dilakukan dunia pendidikan tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan masyarakat itu sendiri dan ini berarti upaya pendidikan menjadi sia-sia dan atau tanpa makna, yang pada gilirannya akan dapat menghilangkan fungsi utama sekolah seperti diungkap di atas. Di sinilah letak pentingnya sekolah mesti mengikutkan misi pengembangan dan pembangunan masyarakat, sehingga sekolah mesti benar-benar dapat menjadi wadah rekayasa dan perubahan sosial kemasyarakatan.
Dikatakan sebagai agen rekayasa dan perubahan sosial masyarakat, karena di sekolah terjadi suatu proses yang mana seseorang menginternalisasikan norma dan nilai yang memiliki korelasi dengan kehidupan masa depan. Proses internalisasi ini berlanjut dalam nilai dan perilaku, baik di tengah-tengah keluarga maupun dalam pergaulan. Yang paling penting di sini adalah bahwa sekolah dianggap sebagai area yang paling utama dalam proses rekayasa dan perubahan dari pada lembaga keluarga dan lingkungan. Jadi, sekolah merupakan instrumen yang paling penting dan efektif untuk percepatan pembangunan dan pengembangan suatu masyarakat. Yang lebih penting lagi adalah bahwa sistem sekolah hanya mampu menghasilkan tujuan ideal jika misi sekolah berkorelasi dengan kebijakan pemerintah yang akan menggiring masyarakat pada akselerasi pembangunan dan pengembangan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan persekolahan sebagai lembaga pembinaan dan penanaman nilai-nilai humanitas mesti memiliki korelasi yang positif dengan proses modernisasi dan transformasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendidikan merupakan sarana penting yang sangat diperlukan dalam proses perubahan sistem sosial, ekonomi dan politik.
Kemestian untuk mengikutkan pendidikan dalam program modernisasi, karena memang baik dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, pendidikan me-miliki kaitan yang signifikan dengan kualitas suatu masyarakat. Kesadaran akan eksistensi pendidikan seperti ini-lah, maka para pakar pendidikan selalu mengadakan pembaharuan-pembaharuan di bidang pendidikan agar segala aktivitas yang dilakukan di dalamnya benar-benar dapat menjawab personalan-persoalan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Jadi dapat dikatakan, bahwa lembaga pendidikan merupakan hal yang strategis untuk pengembangan suatu masyarakat ke arah yang lebih baik, sehingga tidak-lah berlebihan jika dikatakan bahwa kemajuan moderni-tas suatu bangsa dan negara ditentukan oleh kualitas pendidikan. Karena posisinya yang centre of excellence dalam membangun peradaban suatu masyarakat, maka adalah suatu kemestian untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga rekayasa masyarakat ke arah yang lebih baik.
Sekalipun sekolah sebagai lembaga rekayasa dan perubahan masyarakat, ternyata harapan tersebut belum memuaskan, boleh jadi hal ini lebih dikarenakan sekolah kurang lagi mampu menjalankan fungsionalitas internalisasi nilai-nilai kepada anak didiknya. Hal ini dikarenakan sekolah dalam konteks ini lebih terseret pada pengembangan kognisi dari pada pengembangan kreativitas yang akan dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang bernilai etis.
Diakui memang bahwa peranan pendidikan perse-kolahan seperti ini agak sedikit membawa ketegangan akan fungsi institusi sosial ini sebagai promotor perubahan social dan sebagai sarana bagi terciptanya struktur sosial. Namun bila dilakukan dengan tetap berpedoman pada kesepakatan nasional yang telah terujud dalam suatu bentuk perundang-undangan, maka dua fungsi pendidikan dan sekolah seperti diutarakan di atas justru semakin mempermudah fungsionalisasi institusi sosial ini. Kesulitan dan ketegangan akan tumbuh subur manakala pendidikan persekolahan terjebak dalam kepentingan kelompok dan sikap promordialistik.
Sebagai ujung tombak bangunan peradaban manusia, pendidikan sekolah selalu berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan pembangunan manusia dalam berbagai aspeknya. Pembangunan kualitas sumber daya manusia banyak bertumpu pada kualitas pendidikan sekolah. Persoalannya adalah bahwa dalam penyelenggaraannya tidaklah berdiri sendiri, karena ada banyak varian yang bergelayut di atasnya, baik dari subjek, maupun dari varian lain yang berada di luar dirinya. Pengendalian kesemuanya tergantung pada keikutsertaan semua pihak dalam jalinan kerjasama yang harmonis dalam menata dan membangun pendidikan persekolahan yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan percepatan perubahan dan perbaikan masyarakat ke arah yang lebih baik.

C. Moralitas sebagai Penyangga Utama Pembangunan Masyarakat Global
Moralitas adalah lambang humanitas tertinggi, karena memang ia diciptakan untuk itu. Oleh karena itu, potensi psikis berupa akal, kemauan dan perasaan agar ia mampu berkreativitas dan berimajinasi dalam kehidupannya mesti senantiasa diarahkan pada nilai-nilai moralitas yang tinggi. Kondisi fitrah manusia sedemikian ini memerlukan pemeliharaan dan pengembangan melalui penyiapan berbagai perangkat pendukung bagi lahirnya perilaku moral potensial menjadi perilaku moral aktual.
Firman Allah SWT dalam al-Qur`an surah al-Nahl ayat 78 memberi petunjuk betapa pentingnya proses panjang untuk mengisi kemanusiaan. Ayat ini memberikan pemahaman bahwa manusia tidak akan dapat menjadi manusia yang utuh memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemudahan kehidupannya, jika ia belum mampu memaksimalkan fungsi instrumen-instrumen jasmani dan ruhaninya. Hanya dengan cara demikian seseorang menjadi lebih baik dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan sebagai lambang bagi dirinya. Hal seperti ini memerlukan pengkondisian yang terarah dan tertata rapi, sehingga dua potensi manusia itu dapat berkembang dan terbina untuk melahirkan berbagai pengetahuan yang akan membentuk pemikirannya, selanjutnya menjadi sikap diri yang menunjuk pada jati diri manusia itu sendiri. Upaya pengaturan kondisi inilah yang disebut dengan pendidikan.
Pendidikan dalam hal ini dapat dilihat sebagai pengupayaan manusia sejatinya, disengaja, terarah dan tertata sedemikian rupa menuju pembentukan manusia-manusia yang ideal bagi kehidupannya, atau dengan kata lain, pendidikan tidak lain adalah segala pengupayaan yang dilakukan secara sadar dan terarah untuk menjadikan manusia sebagai manusia yang baik dan ideal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan penyediaan kondisi yang baik untuk menjadikan perilaku-perilaku potensial yang dianugerahkan kepada manusia tidak lagi sebatas kecenderung-an manusiawi an sich, tetapi benar-benar aktual dalam realita kehidupannya. Jika demikian, pendidikan adalah suatu kemestian bagi pemanusiaan manusia
Sedemikian berartinya pendidikan bagi pemanusiaan manusia, maka sudah semestinya pendidikan ditata dan dipersiapkan sebaik-baiknya sehingga cita-cita “pemanusiaan” dapat diwujudkan sejatinya. Perbaikan-perbaikan dalam kehidupan sebagai bukti nyata adanya aktivitas pendidikan akan hanya merupakan sebutan saja jika pengupayaannya tidak ditaja dengan terencana, sistematis dan terpadu.
Mengingat esensi kemanusiaan sepenuhnya berada pada yang ruhaniah, maka pengembangan kemanusiaan semestinya pulalah diarahkan pada pengembangan ruhaniah manusia yang sarat dengan moralitas. Pengembangan manusia dalam konteks jasmaniah dan material semata-mata untuk mendukung kemanusiaan yang sesungguhnya lebih berdimensikan ruhaniah.
Pendidikan adalah tugas bersama manusia dalam merealisasikan misi kemanusiaan. Oleh karena itu pendidikan mesti diatur berdasarkan hubungan intersubjektif dan interrelasional, sehingga semua komponen benar-benar berjalan secara fungsional struktural dalam kerangka yang jelas dan terarah pada peraihan tujuan-tujuan yang diinginkan. Pendeknya pendidikan adalah usaha sadar bersama yang secara fungsional struktural melaksanakan tugas-tugasnya menuju terciptanya manusia-manusia ideal, yakni manusia yang memiliki kepribadian moralis, baik fungsinya sebagai mu`abbid, khalifah fi al-ardh dan `immarah fi al-ardh.
Mengingat Islam memandang bahwa tujuan kemanusiaan sarat nilai dan moral seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, maka menfungsikan sekolah sebagai usaha aplikatif-kolektif untuk mewujudkan penumbuh-kembangan perilaku moral subjek didik hendaklah menjadi orientasi bagi setiap aktivitas kependidikannya. Jack R. Fraenkel dalam hal ini menyebutkan, bahwa pendidikan moral mesti berlangsung pada setiap waktu di sekolah, tidak saja dalam kurikulum, tetapi juga dalam interaksi keseharian di sekolah, baik antara siswa dengan guru maupun dengan staf sekolah.
Kendatipun dalam sejarah lahirnya pendidikan sekolah tidak lain adalah dalam rangka penumbuhkembangan perilaku moral, namun di era sekarang semangatnya kurang terasa atau bahkan ditinggalkan.
Robert L Ebel Mengungkapkan, bahwa beberapa penyebab ketepinggiran perhatian pendidikan sekolah terhadap penumbuhkembangan perilaku moral subjek didiknya diantaranya:
1. bahwa dalam masyarakat telah terjadi penekanan yang amat kuat terhadap kebebasan individu dari pada tanggung jawab personal,
2. lebih mementingkan hak-hak sipil dari pada kewajiban sipil
3. adanya semacam kecenderungan dalam masyarakat yang melihat perubahan dan inovasi sebagai sesuatu yang lebih baik dari tradisi dan stabilitas di dalam kehidupan.
Merujuk firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 110; “Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT.’, maka ada empat konsep penting yang dicakup di dalamnya, yaitu konsep tentang umat yang baik; aktivitas sejarah; pentingnya kesadaran; dan etika profetik. Umat dapat dikatakan sebagai umat terbaik, jika memenuhi syarat mengerjakan tiga hal yang diungkap dalam ayat, yaitu amar ma`ruf, nahi munkar dan beriman kepada Allah SWT. Dalam hal aktivitas sejarah dapat dipahami bahwa manusia bekerja di tengah-tengah ma-nusia dalam membuat sejarah. Nilai-nilai ilahiyah (amar ma`ruf, nahi munkar dan iman) menjadi tumpuan bagi aktivitas manusia dalam membentuk sejarahnya, sehingga dapat dipahami bahwa kesadaran dalam konteks Islam selalu berorientasi pada kesadaran ilahiyah yang berbeda dengan kesadaran dalam konteks lainnya. Sedemikian rupa, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia Muslim dalam melakukan setiap aktivitas kemanusiaannya akan selalu melandasinya dengan orientasi ke-Ilahi-an. Dalam konteks inilah maka banyak filsuf Muslim yang menyebutkan bahwa moralitas manusia pada dasarnya adalah perefleksian sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia yang menjadikannya sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari dirinya.
Dalam konteks Islam, iman sebagai realisasi ketauhidan manusia memiliki implikasi dan konsekuensi terhadap penegakan nilai-nilai moral yang tinggi dan mulia. Penumbuhkembangan perilaku moral manusia selalu berkenaan dengan sejauh mana ia menyadari, bahwa perilaku itu harus ia lakukan. Kesadaran dalam hal ini adalah bukti nyata dari sebuah keyakinan mendalam seseorang atas sesuatu yang dalam bahasa agama disebut dengan iman. Manusia yang menyadari bahwa dirinya, alam jagad raya dan Tuhannya merupakan tiga bagian yang tidak dapat dilupakan begitu saja dalam segala aktivitas kehidupannya, akan selalu mengorientasikan diri dan perilakunya pada keinginan Tuhannya, yakni dengan menjalankan secara ikhlas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian terlihat, bahwa manusia tauhid akan selalu mengorientasikan tindakan-tindakannya baik bagi dirinya, masyarakat maupun alam jagad raya, pada pendekatan diri dengan Penciptanya. Dalam konteks inilah, dapat dikatakan, bahwa manusia tauhid tidak akan pernah melupakan fungsi eksistensialitas dirinya sebagai mu`abbid, khalifah Allah SWT fi al-ardh dan `immarah fi al-ardh seperti telah diungkap sebelumnya.
Mengingat tauhid merupakan dasar bagi pemunculan sikap tanpa pamrih sebagai identitas yang menunjuk pada moralitas, maka pengupayaan moralitas mestilah pula diawali dengan penanaman nilai-nilai ketauhidan ini. Hanya dengan cara demikian, maka perilaku moral yang diinginkan oleh Allah SWT sebagai "personal" yang diwakili dapat ditumbuhkembangkan dengan baik.
Manusia tauhid, tidak akan pernah memiliki keinginan apalagi melakukan segala sesuatu yang berseberangan dengan keyakinan tauhid yang ia miliki. Dalam pengertian lain dapat diungkapkan, bahwa manusia tauhid adalah manusia yang dalam segala aktivitasnya selalu menampilkan perilaku moral yang didasari pada nilai-nilai ke-Illahi-an. Allah SWT, tidak hanya sebagai orientasi kehidupanya, tetapi juga sebagai "personal" yang diwakilinya di dunia ini, segala tindakannya selalu hendak mengaplikasikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya.
Kecuali hal di atas, manusia tauhid pun selalu menginginkan sesuatu yang benar dan senantiasa menegakkan kebenaran, karena memang tidak akan ada suatu keyakinan ketauhidan tanpa kebenaran. Oleh karena itu pula manusia tauhid adalah manusia-manusia yang bertanggungjawab atas setiap apa yang diucapkan dan yang dilakukannya. Sedemikian rupa sehingga setiap perilakunya selalu disandarkan kepada nama Tuhannya yang Tinggi, karena memang ilmu yang ia peroleh bersifat relatif , tidak seperti ilmu Tuhannya yang mutlak.
Implementasi praktis dalam aktivitas kependidikan, tentunya tidak hanya bergerak pada upaya metodologis-aplikatif akan pentransferan berbagai ilmu pengetahuan dan pembentukan skill an sich yang hakekatnya akan selalu berubah dan berkembang, tetapi juga pada upaya pentransferan nilai-nilai moral ke-Ilahi-an yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah Nabi Muhamad SAW. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa pendidik-an Islam secara kategoris, tidak dapat dilepaskan dari dimensi ke-Ilahi-an sebagai wujud dari ketauhidannya. Apa pun yang dilakukan Islam termasuk persoalan moral mesti selalu terkait dengan Allah SWT.
Mengingat seluruh tingkah laku manusia yang baik ataupun yang buruk yang dilakukan berdasarkan hasil pilihan bebas manusia itu sendiri selalu berkenaan dengan rasionalitas manusia itu sendiri, sedangkan rasionalitas itu selalu bersentuhan dengan kesadaran imani seseorang seperti diuraikan di atas, maka berarti di sini kesadaran merupakan starting point bagi realisasi moral manusia. Ketika ia memutuskan bahwa suatu perbuatan itu baik dan berguna bagi dirinya, maka ia pun akan memilihnya sebagai suatu perilaku yang mesti dilakukan.
Karena memang kesadaran adalah kata kunci bagi perealisasian moral dalam setiap gerak kehidupan manusia, seperti disinggung di atas, maka implikasinya dalam proses pendidikan Islam adalah bahwa setiap upaya yang dilakukan mestilah didasari pada kesadaran pendidik untuk menumbuhkan kesadaran moral pada anak didiknya agar dengan suka rela dan tanpa paksaan selalu mengarahkan perilakunya pada dimensi moral dan senantiasa atas dasar nilai moral.
Berdasarkan tesis ini pulalah, maka pendidikan Islam yang diarahkan pada pengupayaaan pembinaan kesadaran anak didik ini dapat dilakukan melalui pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan moral melalui pendidikan dan pembinaan pada pembuatan putusan moral melalui pertimbangan-pertimbangan rasional. Hal ini sangat penting, terutama mengingat kesadaran manusia atas sesuatu selalu berhubungan dengan dapat tidaknya rasio mereka mencerna dan menerima sebuah ajaran sebagai sebuah keyakinan ontologis yang mesti diaktualisasikan dalam tindakan nyata.
Pendidikan Islam yang diorientasikan pada nilai-nilai moral dan agama merupakan suatu kebutuhan dan memiliki urgensi bagi penumbuhkembangan perilaku moral senyatanya pada anak didik. Membangkitkan nilai-nilai moral sebagai motivasi dalam segala aktivitas pendidikan dalam hal ini adalah suatu kemestian. Hal ini tidak saja mengingat bahwa upaya pendidikan selalu mengarah pada perbaikan dan perubahan, tetapi lebih dari itu adalah bahwa pendidikan bersentuhan langsung dengan penumbuh-kembangan moralitas yang merupakan suatu hal yang esensial bagi humanitas manusia. Konsekuensinya dalam pengembangan kemampuan memahami suatu ilmu pengetahuan semestinya pula diiringi dengan kemampuan pengapresiasian nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dalam konteks evaluasi pembelajaran pun selain dievaluasi kemampuan memahami suatu ilmu tidak hanya diukur dari seberapa jauh kemampuan memahami dan menguasai ilmu pengetahuan tertentu, tetapi mesti juga diiringi dengan mengapresiasikan nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu tersebut dalam tindakan nyata. Tegasnya saat ini dunia pendidikan tidak lagi hanya melahirkan orang pintar yang menguasai disiplin ilmu pengetahuan, tetapi mampu melahirkan orang yang cerdas dan brilian dalam mengapresiasikan nilai-nilai moral dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya sehingga teraktualisasi ke dalam perilaku moral yang terpuji.
Sebagai subjek dan objek moral, manusia dituntut memainkan peran proaktifnya dalam rangka menumbuh-kembangkan perilaku moral dalam setiap aktivitas kehidupannya, terlebih lagi pada aktivitas pembelajaran di sekolah yang memang memiliki fungsi untuk itu. Untuk lebih meningkatkan fungsi utama sekolah seperti ini, diperlukan adanya upaya peningkatan pendidikan melalui rekonstruksi metodologis aplikatif pembelajaran dalam upaya menumbuh-kembangkan moralitas subjek didik agar ianya menjadi landasan bagi segala tindak-tanduk dan perilakunya dalam kehidupan individu dan sosial kemasyarakatan. Hal ini penting, karena ketaqwaan sebagai lambang manusia tauhid akan terjelma dalam moralitas Islam yang senantiasa ingin berbuat yang terbaik dan selalu berjuang untuk kebaikan umat manusia.

D. Watak Globalisasi Meniscayakan Penumbuhkembangan Moralitas Pendidikan Islam;
Moralitas pendidikan Islam pada prinsipnya adalah bagaimana memberikan pembinaan dan pengembangan jiwa humanitas tertinggi melalui dunia pendidikan. Oleh karena itu, potensi psikis berupa akal, kemauan dan perasaan subjek didik mesti diarahkan untuk mampu berkreativitas dan berimajinasi dalam kehidupannya dengan mengacu pada nilai-nilai moralitas yang tinggi. Kondisi fitrah manusia sedemikian memerlukan pemeliharaan dan pengembangan melalui penyiapan berbagai perangkat pendukung lahirnya perilaku moral potensial menjadi perilaku moral aktual.
Seperti disebutkan di depan, bahwa pembentukan humanitas yang sarat dengan nuansa moralitas merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar dalam membangun peradaban masyarakat. Mengingat eksistensi sekolah memiliki korelasi signifikan dengan transformasi masyarakat, seperti telah diungkap di atas, menjadikan nilai-nilai moral sebagai identitas yang tidak dapat dilepaskan dengan jati diri manusia, tentunya upaya pembinaan dan pembangunan di bidang ini mesti mendapat tempat terdepan dalam orientasi dan proses kependidikan sekolah. Hal ini akan semakin diperlukan terutama bila dihubungkan dengan fungsi sekolah yang memiliki korelasi signifiksn dengan pemenuhan kebutuhan transformasi sosial masyarakat. Bukankah orang-orang bermoral dalam Islam adalah orang-orang yang mampu menampakkan wujud sejatinya dalam realitas yang terjelma dalam ragam tindakan kemanusiaan sebagai realisasi nyata dari wujud sifat-sifat Tuhan ke dunia? Walaupun manusia tidak mungkin sampai pada jelmaan hakiki, tetapi ia punya potensi untuk menjelmakanNya dalam kategori insani.
Dapat diambil contoh, bahwa Tuhan adalah sosok yang Maha pencipta, maka tentulah Ia menyukai orang-orang yang dalam hidupkan selalu berkarya, berbuat, dan atau beramal. Ini juga berlaku bagi nilai-nilai (sifat) ketuhanan lainnya. Jika moralitas itu dibangun dalam tataran manejeral kependidikan Islam, tentulah memiliki relasi yang kuat dengan watak globalisasi yang sarat dengan percepatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tidak memudarkan nilai-nilai Islam. Bahkan subjek didik akan memiliki kepribadian yang kokoh dalam menghadapi benturan-benturan budaya dan agama yang ada.
Berdasarkan realitas inilah maka pendidikan Islam mesti mampu menjadikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diberikan senantiasa sebagai wahana realisasi nilai-nilai moral. Hal ini sangat penting artinya terutama mengingat pengembangan watak manusia dalam menghasilkan budaya selalu bergerak dari interaksinya dengan kondisi-kondisi yang mengitarinya. Kondisi edukatif yang tertata dan terprogram akan menjadi hal yang kondusif untuk membangun peradaban masyarakat ke arah yang diinginkan. Jika sekolah tidak lagi berorientasi pada penumbuhkembangan nilai-nilai moral seperti digambarkan di depan, sama halnya sekolah telah beralih fungsi dan keluar dari esensi kemanusiaan yang sarat dengan nilai-nilai moral
Dalam konteks Islam, iman sebagai realisasi ketauhidan manusia memiliki implikasi dan konsekuensi terhadap penegakan nilai-nilai moral yang tinggi dan mulia. Penumbuhkembangan perilaku moral manusia selalu berkenaaan dengan sejauh mana ia menyadari, bahwa perilaku itu harus ia lakukan. Kesadaran dalam hal ini adalah bukti nyata dari sebuah keyakinan mendalam seseorang atas sesuatu yang dalam bahasa agama disebut dengan iman. Manusia yang menyadari bahwa dirinya, alam jagad raya dan Tuhannya merupakan tiga bagian yang tidak dapat dilupakan begitu saja dalam segala aktivitas kehidupannya, akan selalu mengorientasikan diri dan perilakunya pada keinginan Tuhannya, yakni dengan menjalankan secara ikhlas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian terlihat, bahwa manusia tauhid akan selalu mengorientasikan tindakan-tindakannya baik untuk dirinya, masyarakat maupun alam jagad raya, pada pendekatan diri dengan Penciptanya. Dalam konteks inilah, dapat dikatakan, bahwa manusia tauhid tidak akan pernah melupakan fungsi eksistensialitas dirinya sebagai mu`abbid, khalifah Allah SWT fi al-ardh dan `immarah fi al-ardh seperti telah diungkap sebelumnya.
Mengingat tauhid merupakan dasar bagi pemunculan sikap tanpa pamrih sebagai identitas yang menunjuk pada moralitas, maka pengupayaan moralitas mestilah pula diawali dengan penanaman nilai-nilai ketauhidan ini. Hanya dengan cara demikian, maka perilaku moral yang diinginkan oleh Allah SWT sebagai "personal" yang diwakili dapat ditumbuhkembangkan dengan baik.
Manusia tauhid, tidak akan pernah memiliki keinginan apalagi melakukan segala sesuatu yang berseberangan dengan keyakinan tauhid yang ia miliki. Dalam pengertian lain dapat diungkapkan, bahwa manusia tauhid adalah manusia yang dalam segala aktivitasnya selalu menampilkan perilaku moral yang didasari pada nilai-nilai ke-Illahi-an. Allah SWT, tidak hanya sebagai orientasi kehidupanya, tetapi juga sebagai "personal" yang diwakilinya di dunia ini, segala tindakannya selalu hendak mengaplikasikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya.
Kecuali hal di atas, manusia tauhid pun selalu menginginkan sesuatu yang benar dan senantiasa menegakkan kebenaran, karena memang tidak akan ada suatu keyakinan ketauhidan tanpa kebenaran. Oleh karena itu pula manusia tauhid adalah manusia-manusia yang bertanggungjawab atas setiap apa yang diucapkan dan yang dilakukannya. Sedemikian rupa sehingga setiap perilakunya selalu disandarkan kepada nama Tuhannya yang Tinggi, karena memang ilmu yang ia peroleh bersifat relatif, tidak seperti ilmu Tuhannya yang mutlak. Kondisi semacam ini pun akan bergerak maju menjadikan perbedaan sebagai sebuah rahmah untuk menemukan jati diri yang semakin kokoh dan kuat.
Pendidikan sekolah yang diorientasikan pada nilai-nilai moral dan agama merupakan suatu kebutuhan dan memiliki urgensi bagi penumbuhkembangan perilaku moral senyatanya pada subjek didik. Membangkitkan nilai-nilai moral sebagai motivasi dalam segala aktivitas pendidikan dalam hal ini adalah suatu kemestian. Hal ini tidak saja mengingat bahwa upaya pendidikan selalu mengarah pada perbaikan dan perubahan, tetapi lebih dari itu adalah bahwa pendidikan bersentuhan langsung dengan penumbuh-kembangan moralitas yang merupakan suatu hal yang esensial bagi humanitas manusia.
Konsekuensinya dalam pengembangan kemampuan memahami suatu ilmu pengetahuan semestinya pula diiringi dengan kemampuan pengapresiasian nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dalam konteks evaluasi pembelajaran pun selain dievaluasi kemampuan memahami suatu ilmu tidak hanya diukur dari seberapa jauh kemampuan memahami dan menguasai ilmu pengetahuan tertentu, tetapi mesti juga diiringi dengan mengapresiasikan nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu tersebut dalam tindakan nyata. Tegasnya saat ini sekolah tidak lagi hanya melahirkan orang pintar yang menguasai disiplin ilmu pengetahaun, tetapi mampu melahirkan orang yang cerdas dan brilian dalam mengapresiasikan nilai-nilai moral dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya sehingga teraktualisasi ke dalam perilaku moral yang terpuji.

D. Penutup
Watak humanitas yang sarat dengan nuansa moral memestikan pengembangan masyarakat pun juga mengikut sertakan nilai-nilai moral agar ianya tidak lari dari dimensi subjek dan objek pendidikan itu sendiri. dalam konteks isi dan pengem-bangan kurikulum, bahkan tulisan ini pun memberikan tawaran yang berarti dalam pembentukan strategi pembelajaran moral di kelas. Hal ini sangat diperlukan, tidak saja karena begitu pentingnya moralitas dalam diri manusia sebagai pengguna dan pengendali realitas dunia, tetapi juga mengingat arus pengembangan pengetahuan yang berjalan saat ini, dalam kerangkanya sendiri, mengisyaratkan akan penegasian nilai-nilai humanitas yang sarat moral.
Sebagai subjek dan objek moral, manusia dituntut memainkan peran proaktifnya dalam rangka menumbuhkembangkan perilaku moral dalam setiap aktivitas kehidupannya, terlebih lagi pada aktivitas pembelajaran di sekolah yang memang memiliki fungsi untuk itu. Untuk lebih meningkatkan fungsi utama sekolah seperti ini, diperlukan adanya upaya peningkatan pendidikan melalui rekonstruksi metodologis aplikatif pembelajaran dalam upaya menumbuhkembangkan moralitas subjek didik agar ianya menjadi landasan bagi segala tindak-tanduk dan perilakunya dalam kehidupan individu dan sosial kemasyarakatan, terutama dalam gonjang ganjing kehidupan di era global saat ini.
Keterpaduan moral dan pendidikan dalam berbagai konteks pengetahuan, keterampilan dan sikap yang melibatkan keseluruhan dimensi kependidikan yang ada di sekolah mesti ditata ke dalam misi pendidikan sebagai wahana penegakan dan pengembangan nilai-nilai moral. Komitmen semacam ini memestikan pendidikan Islam menjadikan moralitas tidak lagi sebagai entitas yang terpisah dalam setting pengupayaan berbagai aktivitas kependidikan yang ada, tetapi benar-benar terjelma dalam keseluruhan komponen kependidikan yang ada.
Pembentukan dan pengembangan nilai-nilai humanitas yang memang sarat dengan nuansa moral, menjadikan moralitas sebagai identitas utama manusia tidak lagi berjalan di luar diri manusia itu sendiri. Saya berasumsi bahwa moralitas dunia pendidikan Islam memberikan jawaban atas kebutuhan esensial manusia yang cenderung terabaikan saat ini, bahkan kadang kala melupakan hakekat kehidupannya yang mesti bermuara pada nilai-nilai humanitas; moral.
Penulis,
Muhmidayeli

Minggu, 29 November 2009

Epistemologi pendidikan M. Iqbal

Filsafat Khudi Muhammad Iqbal:

Sebuah Analisis Epistemik Pendidikan dalam Konteks Teori Perubahan Masyarakat

Oleh: Muhmidayeli

E-mail: muhmidayeli@yahoo.co.id

Abstrak

Pendidikan persekolahan adalah wadah strategis dalam mempercepat lahirnya ragam perubahan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kondisi semacam ini meniscayakan pendidikan dibangun di atas landasan epistemologi yang kokoh yang tentu dilandasai pada konsep ontologi dan epistemologi dalam melihat bagaimana menggiring manusia untuk berkembang ke arah kesempurnaan yang diiinginkan. Muhammad Iqbal menawarkan gerakan perubahan masyarakat dengan menekankan prinsip kebebasan dan kreativitas sebagai dasar pengembangan watak kemanusiaan yang bergerak maju ke arah kesempurnaan. Prinsip dasar ini meniscayakan pembangunan manusia dalam konteks pengalaman materi, hidup, penuh makna dan kesadaran. Oleh karena itu, pendidikan mesti diorientasikan pada pembentuhan masyarakat baru yang lebih baik dan sempurna.

Kata Kunci:

Filsafat Khudi; Epistemologi Pendidikan; Perubahan Masyarakat

A. Pendahuluan

Diskursus pembaharuan dan perubahan masyarakat dalam banyak variasi dinamika sejarah sosial dan perjuangannya akan senantiasa menjadi fokus pembicaraan para ilmuan dan praktisi sosial. Diskusi-diskusi tentang problem ini memiliki implikasi logis terhadap tata pikir dan pemahaman banyak orang tentang restrukturisasi berbagai peristiwa gerakan kemasyarakatan di berbagai bidang kehidupan yang pada gilirannya akan menciptakan konteks sosial baru bagi dinamika gerakan dan pertumbuhan mobilitas suatu masyarakat.

Dalam konteks kependidikan, gerakan perubahan suatu masyarakat dan sosial lebih diarahkan pada upaya bagaimana penyelenggaraan pendidikan diorientasikan untuk menjawab ragam persoalan dan kebutuhan masyarakat dalam gerak bangun kemajuan di berbagai sektor kehidupan. Sedemikian rupa, pendidikan mesti diselenggarakan atas dasar prinsip-prinsip epistemologi yang benar-benar yang merupakan refleksi nyata atas model gerak manusia dalam mengatur diri dan kediriannya agar dapat benar-benar berfungsi dan difungsikan sebagai penggerak potensial perubahan yang senantiasa membawanya melangkah maju.ke arah kemajuan di berbagai sektor.

Pendidikan persekolahan adalah wadah strategis dalam mempercepat lahirnya perbaikan-perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan di tengah-tengah masyarakat, baik dalam konteks pengembangan individu-individu yang bergabung dalam suatu tatanan masyarakat, maupun dalam konteks kollektivitas dan kelembagaan yang meniscayakan munculnya masyarakat baru yang lebih arif dan tanggap untuk berbuat yang mengarah pada perbaikan-perbaikan taraf hidup di berbagai lini. Atas dasar tesis inilah maka dikatakan, bahwa kualitas suatu masyarakat sangat tergantung pada kualitas lembaga pendidikan sekolah.[1] Peran lembaga pendidikan persekolahan sedemikian menjadikan eksistensinya sebagai menara gading bagi penciptaan masyarakat baru yang lebih baik dan lebih beradab dari sebelumnya.

Esensi pendidikan Islam sebagai pengupayaan perubahan ke arah yang lebih “baik”, yang mengarah pada pengembangan, menurut tujuan–tujuan yang telah ditetapkan, meniscayakan pendidikan berorientasi pada masa depan masyarakat, bukan masa sekarang, dan atau hanya sekedar pelestarian nilai-nilai semata. Dalam konteks ini, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang kaku. Hal ini mengingat di dalamnya terdapat jaringan-jaringan yang saling mempengaruhi satu dari yang lainnya yang bermuara pada sebuah peristiwa yang bergerak maju ke arah perubahan-perubahan.

Dari tesis ini dapat dikatakan bahwa, pergeseran-pergeseran di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial budaya, politik dan lain sebagainya dapat menciptakan pola dan gerakan baru dalam kehidupan masyarakat yang dalam banyak variannya sangat ditentukan oleh bagaimana anggota-anggota masyarakat bergerak ke arah perbaikannya. Pergerakan setiap unsur lapisan ini memiliki hubungan signifikan dengan bagaimana pendidikan berlangsung dalam suatu masyarakat.

Muhammad Iqbal adalah salah satu tokoh yang banyak berbicara tentang pola manusia membentuk dirinya di dunia yang akan meniscayakan pola akselerasi pengembangan dan kemajuan suatu masyarakat. Filsafat eksistensial Muhammad Iqbal banyak menawarkan cara bagaimana manusia dapat menjadi dirinya yang kamil. Bahkan ajarannya tentang bagaimana mengobati gonjang ganjing kehidupan modernitas dengan cara mengembalikan fungsi ilmu pengetahuan yang semestinya mengajari anak manusia bagaimana hidup, sedemikian rupa menjadikan dirinya mampu mengatur peradaban yang arif akan memiliki signifikansi metodologis dalam membangun masyarakat baru di era globalisasi saat ini.

Falsafah khudhi yang dibincangkannya dalam buku Asrar-i-Khudhi menawarkan beragam prinsip dasar pengembangan watak insani yang memiliki implikasi pada penataan kependidikan yang akan bermuara pada pembentukan masyarakat yang moralis yang sarat dengan kemajuan-kemajuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa masyarakat moralis identik dengan masyarakat yang penuh dengan makna kemajuan-kemajuan dalam berbagai lini kehidupan dalam konteks keseluruhan kebutuhan manusia. Sedemikian rupa, falsafah khudi Muhammad Iqbal yang membincangkan persoalan watak insani dalam membentuk diri sejati yang bermuara pada pelahiran insan kamil menjadi fokus utama dalam gerak humanitas yang akan menentukan corak bangun kemajuan suatu masyarakat. Tarnsformasi sosial dan masyarakat memiliki korelasi dengan proses pembentukan watak manusia yang digambarkan Muhammad Iqbal dalam konsep khudi-nya.

Falsafah hidup yang tertuang dalam setiap pemikiran Muhammad Iqbal menyoroti persoalan dan tujuan hidup manusia yang meniscayakan implikasi edukasi yang akan menjadi landasan bagi falsafah pendidikan yang tentu akan mempengaruhi bagi arah bangun pengembangan individu maupun kelompok dalam kehidupan masyarakat. Pengembangan teori pendidikan mana pun selalu beranjak dari asas yang mendasarinya tentang hakikat manusia dalam konteks individualitas dan sosial dalam kaitannya dengan pembentukan jati diri dan kemanusiaan. Kejelasan pandangan tentang prinsip dasar ini akan mempertegas makna, hakikat dan strategi pendidikan. Pendeknya, tidak mungkin ada teori tentang pendidikan tanpa memiliki kejelasan konsep tentang kedirian manusia dalam pembentukan watak insaninya. Persoalan ini dibahas secara khusus oleh Muhammad Iqbal dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Parsi yang berjudul Asrari Khudi (rahasia diri).

Transformasi sosial dan masyarakat dalam berbagai dimensinya memiliki hubungan strategis dengan epistemologi pendidikan yang dalam banyak varian memiliki kaitan dengan pandangan dan konep diri yang dianut. Oleh karena itu, pengkajian secara kritis epistemologi pendidikan yang dibangun oleh Muhammad Iqbal dalam kaitannya dengan perubahan suatu masyarakat diharapkan dapat sebagai wacana bagi pengembangan pola rekonstruksi pendidikan Islam yang berdimensikan pergerakan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang dicita-citakan.

B. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab pada tanggal 22 Februari 1873 dan wafat di Lahore 21 April 1938. Ia adalah seorang filsuf dan penya`ir yang sangat peduli terhadap dinamika perkembangan sosial kemasyarakatan Muslim pada masanya. Ia berasal dari keturunan Brahmana Kashmir yang telah memeluk Islam tiga abad sebelum kelahirannya.

Ayahnya bernama Nur Muhammad yang bekerja sebagai penjahit dan penyulam. Sebagai seorang muslim yang taat dan sufi, ayahnya banyak mendorong Muhammad Iqbal untuk menghafal al-Qur`an secara teratur dan memang sangat mempengaruhi perjalanan spritual Muhammad Iqbal selanjutnya.

Pendidikan dasar dan menengah didapatkannya di daerah kelahirannya, Punjab. Kendatipun Muhammad Iqbal pernah merasakan ketidakbahagiaan dalam kehidupan pribadinya ketika menikahi putri dari seorang dokter yang telah memberinya dua orang anak yang bernama Javid Muhammad Iqbal dan Munirah Banu, namun ketika mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan magister di bidang filsafat pada Goverment College di Lahore ia mampu menyeleasaikannya dalam tempo dua tahun dengan prediket cum laude. Masa pendidikannya inilah yang memberi kesempatan pertemuannya dengan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis yang mengarang buku The Preaching of Islam (1896).[2]

Setelah menamatkan pendidikannya pada perguruan ini, Muhammad Iqbal mengajar dalam bidang sejarah dan filsafat di Oriental College. Bahkan ia juga diberi kepercayaan untuk mengajar filsafat dan bahasa Inggeris di almamaternya Goverment College.[3] Pada tahun 1905 ia melanjutkan studinya ke Eropa dan memperoleh gelar doktor dalam filsafat dari Universitas Munich. Disertasi Muhammad Iqbal berjudul The Development of Metaphysics in persia. Gelar doktor lainnya, di bidang kesusasteraan didapatnya dari Universitas Punjab pada tahun 1935. Muhammad Iqbal menyelesaikan pendidikan tinggi di Scotch Mission College yang kemudian berganti nama dengan Murray College. Di sinilah kemudian Muhammad Iqbal bertemu seorang ulama besar yang bernama Sayyid Mir. Hasan yang tidak lain adalah seorang sahabat orang tuanya.yang tidak lain adalah seorang penya`ir dan ahli bahasa Urdu dan Persia. Pertemuan dengan Mir Hasan inilah kemudian menjadikan Muhammad Iqbal banyak belajar sya`ir-sya`ir yang menjadi semakin kukuh setelah ia menemukan seorang ahli sya`ir Urdhu Mirza Khan (1831-1905) dari Hyderabad.

Pada tahun 1927 ia pernah dipilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab dan pada tahun 1930 ia juga pernah dipilih sebagai Presiden sidang tahunan dari Liga Muslimin. Karena pada periode ini, ia mendukung gagasan tentang sebuah negara Islam di wilayah Timur Laut India, maka ia, oleh para pendukung negara Pakistan, dianggap sebagai pemimpin mereka.

Adapun karya-karya Muhammad Iqbal terkenal antara lain:

1. The Development of Metaphysics in Persia

2. Asrar i Khudi

3. Rumuz i Khudi

4. The Reconstruction of Religious Thought in Islam

C. Hakikat Manusia dalam Teori Ego/Khudhi Muhammad Iqbal

Beragam pandangan filsuf bergulir dalam mendudukkan bagaimana cara berada manusia di dunia. Rene Descartes umpamanya berkata bahwa ”saya berpikir, karena itu saya ada (Cogito ergo sum)”. Bergson menjelaskan ”Saya mempunyai keseimbangan, karena itu saya ada” Sartre menuturkan bahwa ”Saya merasa bersalah, karena itu saya ada”. Marx dalam hal ini pun berkata, ”Saya bekerja, maka saya ada”.[4] Kesemua pemikir ini menitikkan beratkan manusia pada satu titik urgen dari keseluruhan unsur yang ada dalam pembentukan diri manusia dan bahkan cenderung mengabaikan yang lain. Pendeknya, manusia dalam hal ini ditempatkan sebagai suatu makhluk yang menunjukkan dirinya melalui satu kekuatan utama yang menjadi penentu dalam keseluruhan sistem kediriannya.

Apa yang diutarakan oleh Rene Descartes umpamanya telah memberikan gambaran bahwa keberadaan manusia bertumpu pada pikiran, sehingga ketika pikiran tiada maka diri manusia pun tiada. Begitu juga dengan pandangan yang diutarakan oleh Marx yang menitik beratkan identitas manusia pada pekerjaan.

Sejak Rene Descartes, memaklumatkan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), pada saat itulah berawal perkembangan pemikiran Barat yang kemudian memengaruhi dunia yang cenderung membangun suatu keseluruhan dengan menjadikan ego sebagai pusatnya. Ego cogito Descartes menunjukkan bagaimana “aku” didaulat menjadi pusat bagi realitas ontologis. Ego mendapat prioritas utama yang mutlak tak tergugat. Begitu pula Jean Paul Sartre pernah mengatakan bahwa aktivitas manusia untuk mengembangkan egologi sebagai totalitas dengan mengedepankan identitas manusia pada wilayah “etre pour soi” yang ditandai dengan adanya kesadaran, kebebasan dan kreativitas.

Ketika manusia mengedepankan ego, maka ia sebenarnya tengah melakukan totalisasi, apapun yang dihadapannya akan di-utuh-kan dalam sebuah konsep yang telah ada di pikiran “aku”, sehingga apa pun itu masuk dalam pemahaman dari sudut pandang “aku”.

Sebagaimana yang diagungkan oleh kaum eksistensialis pada umumnya, Muhammad Iqbal menitik beratkan dua prinsip dasar manusia dalam menunjukkan dirinya di dunia melalui dua sifat esensialnya, yaitu kebebasan dan kreativitas. Dalam konteks ini Muhammad Iqbal menggambarkan dengan kalimat:

Hancurkan dunia sampai berkeping-keping bila tidak sesuai denganmu

Dan ciptakan dunia yang lain dari dari kedalaman wujudmu

Betapa pedihnya manusia merdeka yang hidup di dunia yang diciptakan oleh manusia lain.[5]

Puisi di atas menyiratkan sebuah keyakinan Muhammad Iqbal yang memperlihatkan keniscayaan kebebasan dalam ruang gerak kemanusiaan dalam menciptakan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan-penyempurnaan. Iqbal berkeyakinan bahwa Tuhan berfirman lewat kebebasan. Kebebasan berarti transendensi diri dan karenanya manusia dapat melampaui ruang dan waktu, sehingga ia tidak menjadi manusia berada pada masa kini, tetapi membangun masa depan.

Dalam pandangannya, Muhammad Iqbal terlihat menolak paham yang melihat masa depan sebagai sesuatu yang telah ditentukan secara kausalitas. Menurutnya masa depan seseorang atau sekelompok orang tidak dapat diprediksi dan ditentukan berdasarkan hukum-hukum yang ditentukan, baik secara psiologis, psikologis, sosial maupun historis.

Bagi Muhammad Iqbal, manusia adalah makhluk yang belum selesai. Dan karenanya, manusia harus selalu berbuat dan bekerja. Manusia adalah tujuan konstruk kehidupan di mana dirinya sebagai pusat segala aktivitas dan kreativitas yang tampak dalam bentuk perubahan-perubahan dalam ragam kehidupan masyarakat. Pendeknya, tugas penting manusia di dunia adalah berbuat dan bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Ini berarti bahwa pandangan Muhammad Iqbal menekankan bahwa suatu masyarakat harus bergerak maju dari masa ke masa.

Muhammad Iqbal berkeyakinan bahwa manusia dapat mengubah apa yang ada ke arah yang semestinya ada, karena ego manusia dapat membayangkan sebuah dunia baru yang lebih baik dan lebih sempurna dari upayanya membaca masa lalu dan mengaitkan dengan masa sekarang. Kecuali itu, ego yang dalam dirinya ada kekuatan mencoba dan mengaktualisasikan dirinya di dunia, sehingga ia dapat menggunakan seluruh lingkungannya untuk senantiasa berbuat dan berkarya sepanjang arus sejarah kehidupannya. Kondisi ego yang semacam inilah yang memunculkan gerakan perubahan ke arah realitas tertinggi pada tarap kemanusiaan.

Khudi (ego) dimaknai Muhammad Iqbal sebagai suatu kesatuan yang riil, yang nyata dan secara mantap dan tandas. Khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia. Muhammad Iqbal menolak secara tegas pandangan umum para filsuf yang berkembang baik di dunia Timur maupun Barat yang mengatakan bahwa diri manusia hanya sebagai ilusi atau refleksi dari jiwa dan tidak memiliki kepastian yang jelas.[6]

Muhammad Iqbal mengatakan, bahwa hakikat manusia adalah segenap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Apabila dirinya dapat berkembang dengan baik, maka eksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan diakui. Jika manusia tidak mengambil prakarsa dan berkeinginan untuk mengembangkan dirinya dan tidak ingin merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan mengkristal dan perlahan-perlahan akan menjadikan dirinya tereduksi kepada benda-benda mati. Oleh karena itu Muhammad Iqbal berpendapat, bahwa untuk membangun kembali umat Islam yang telah terpuruk pada kemerosotan dan kemunduran yang berpangkal pada kemerosotan humanitas, perlu menata dan membangun kembali tata sistem baru dengan mengembangkan potensi diri dan akal manusia yang akan menunjuk pada eksistensi manusia dalam memandang realitas. Suatu yang riil bukan saja bersifat rasional-idealis seperti yang ditawarkan Plato, tetapi juga sesuatu yang bersifat indrawi.[7] Dalam puisinya Muhammad Muhammad Iqbal menulis sebagai berikut:

Filsafat Plato tiada berguna

Filsafat Plato mencanangkan ketiadaan yang ada

Tiada tergugah untuk upaya

Jiwa terpukau oleh yang serba tiada

Ia tidak percaya pada alam bendawi

Dan menobatkan diri sebagai Pencipta

Idea dari dunia maya

Betapa nyaman dunia yang sarat dengan fenomena hidup

Bagi semangat yang menggejolak-menggelora

Dan betapa menyita dunia cita bagi jiwa yang mati

Berpantang dari yang nyaman

Hanya mendorong kepada pelarian

Karena tak mampu menantang badai dunia gempita

Dan insan teracuni kemabukannya sendiri

Terhuyung-huyung dan loyo

Tiada sedikitpun tergerak untuk bertindak[8]

Puisi di atas mendeskripsikan bahwa kehidupan prustrasi dan putus asa merupakan tindakan meniadakan atau menghilangkan ego. Kebebasan berkehendak dan berbuat terbatas dalam lingkup kediriannya yang sejati merupakan watak dan intensitas aktivitas ego manusia. Artinya, bahwa tujuan ego adalah bagaimana memupuk keaslian dan kekhususan diri agar dapat mencapai kesempurnaan. Hanya manusialah yang dapat mencapai individualitas yang lebih bermakna, kaya, penuh dan sempurna dengan tingkat kedirian yang tertinggi. Hal ini ditegaskannya pula dalam puisinya sebagai berikut:

Segala sesuatu dipenuhi luapan untuk menyatakan diri

Setiap atom merupakan tunas kebesaran

Hidup tanpa gejolak meramalkan kematian

Dengan menyempurnakan diri

Insan mengarahkan pandang pada Tuhan

Kekuatan individualitas mengubah biji sawi setinggi gunung

Kelemahannya menciutkan gunung sekecil biji sawi

Engkaulah semata

Realitas di Alam Semesta

Selain engkau hanyalah maya belaka[9]

Puisi di atas menegaskan kemestian manusia untuk selalu berkreativitas dan berbuat untuk bangkit menuju ke arah kesempurnaan dan keutuhan hidup. Perubahan dan perbaikan adalah bukti diri yang hakiki dalam upaya menunjukkan diri. Pendek kata, manusia dan perubahan adalah identik, dan karenanya mesti digerakkan dengan memberi peluang besar bagi ego untuk menjadi dirinya yang sejati, yakni suatu kepribadian yang berdimensikan kebebasan dan kesadaran. Kebebasan dan kesadaran sebagai lambang individualitas adalah kata kunci bagi penyempurnaan kemanusiaan.

Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa kesadaran diri dan individualitas ini adalah kata kunci bagi penyempurnaan kemanusiaan. Gerak langkah sejarah manusia selalu ditentukan oleh peran ego yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kebebasan dirinya. Individualitas adalah suatu gerak maju yang menjadi saluran segala objek dan benda. Dengan memperkuat kepribadian, ego manusia dapat menguasai lingkungan dan mendekati ego Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, sehingga manusia itu pun mencapai kesempurnaannya.[10] Jadi, percepatan perubahan sejarah dalam suatu mayarakat, sangat tergantung pada kualitas anggotanya (individu) dalam memahami dan memaknai hakikat hidup yang kesemuanya itu tergantung sejauhmana ego (khudi) memanfaatkan kebebasannya dalam bereksistensi di dunia.

Teori kebebasan Muhammad Iqbal ini memestikan ia memahami hakikat manusia sebagai segenap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Apabila dirinya dapat berkembang dengan baik, maka eksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan diakui. Jika manusia tidak mengambil prakarsa dan berkeinginan untuk mengembangkan dirinya dan tidak ingin merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan mengkristal dan perlahan-perlahan akan menjadikan dirinya tereduksi kepada benda-benda mati. Muhammad Iqbal berpendapat, bahwa untuk membangun humanitas manusia diperlukan penataan sistem pendidikan yang bermuara pada pengembangan potensi diri dan akal manusia dalam memandang realitas, tidak saja yang bersifat rasional-idealis seperti yang ditawarkan Plato, tetapi juga sesuatu yang bersifat indrawi.[11] Untuk itu, pendidikan terbaik yang sesuai dengan watak manusia tentulah pendidikan yang mengaksentuasikan aktivitasnya pada pemberikan pengetahuan kepada subjek didik melalui metode problem solving, yaitu suatu cara yang efektif untuk melatih berpikir kreatif, kritis dan inovatif. Dengan cara ini menurutnya dapat membentuk cakrawala berpikir subjek didik sedemikian rupa sehingga menjadi manusia-manusia yang tanggap akan berbagai problematika kehidupannya dalam masyarakat.[12]

D. Manusia dan Dunia Pengalaman

Seperti diuraikan di atas, Muhammad Iqbal memberikan tesis bahwa being manusia bersifat individual, bukan universal dan bahkan semua being bersifat individual. Yang membedakan being manusia dari being-being yang lainnya ada pada unsur kesadaran yang dimilikinya. Kesadaran ini adalah anugerah Tuhan untuk manusia yang diambil langsung dari jiwa kepemimpinanNya. Kesadaran manusia tidak dapat dilepaskan dari dunia yang konkret yang tidak terbatas. Bahkan pikiran manusia dimulai dari aktivitasnya yang bersentuhan dengan dunia konkret.[13] Ini berarti, bahwa manusia tidak dapat mengelakkan dirinya dari dunia pengalaman. Manusia dalam menciptakan sejarahnya bergerak dan digerakkan oleh dunia pengalamannya yang bersifat konkret.

Dalam gerak perubahan ini Muhammad Iqbal membagi ego sebagai pusat suatu aktivitas dan perubahan menjadi dua macam, yaitu ego efisien dan ego apresiatif. Ego efisien adalah ego yang bersifat praktis, "yang berhubungan dengan tata lahiriah benda-benda," sedangkan ego apresiatif adalah pusat batin pengalaman kita, ego yang kita capai pada saat-saat kita sedang bersemadi. Ajaran Muhammad Iqbal menekankan, bahwa ego efisien merupakan tahapan-tahapan dalam suatu perjalanan hidup anak manusia, sedangkan ego apresiatif ini hidup dalam perlangsungan waktu yang murni di mana sifat perubahannya tanpa urutan pergantian. Hukum kehidupan dalam maknanya yang bergerak dan berubah adalah pergerakan dari wilayah ego apresiatif menuju ego efisien.

Menurut Muhammad Iqbal, pengalaman manusia dalam gerak ego jenis apresiatif ini berlangsung di dalam kurun tiga tingkatan, yaitu tingkatan materi, tingkatan hidup dan tingkatan kesadaran.

Pengalaman manusia dalam tingkatan materi

Dalam menguraikan dunia pengalaman tingkat materi Muhammad Iqbal mengkritik konsep materi di dalam materialisme dan ilmu alam tradisional yang menyatakan bahwa materi adalah "sesuatu yang bertahan dalam waktudan bergerak dalam ruang." Di dalam kritiknya ini, ia menggunakan pendapat-pendapat dari Zeno, Einstein, Ouspensky dan Whitehead. Menurut Muhammad Iqbal, adalah Einstein dengan teori relativitasnya yang memberikan kritik paling keras terhadap konsepsi materi di dalam materialisme dan ilmu alam tradisional. Menurut Einstein, materi itu adalah bukan sesuatu yang diam dengan keadaan yang berubah-ubah, melainkan adalah suatu sistem kejadian-kejadian yang saling berhubungan. Ouspensky kemudian menambahkan satu unsur yang nampaknya tidak ada di dalam teori Enstein tersebut. Dengan menambahkan "satu dimensi yang membagi-bagi peristiwa-peristiwa di dalam tata susunan ganti-berganti," Ouspensky menambahkan unsur waktu ke dalam "sistem peristiwa-peristiwa Einstein". Sayangnya, Ouspensky terjebak dengan mengatakan bahwa waktu itu sama seperti dimensi-dimensi ruangnya Euclides. Adapun pendapat Whitehead mengenai alam, yang dikatakannya sebagai "suatu struktur peristiwa-peristiwa yang memiliki sifat mengalir terus-menerus secara kreatif," nampaknya adalah yang paling dekat dengan konsepsi Muhammad Iqbal tentang alam dan materi. Di dalam istilah Whitehead, pengertian "materi" diganti seluruhnya dengan pengertian "organisme."

Menurut Muhammad Iqbal, pengembangan manusia mesti dengan memperhitungkan kondisi-kondisi fisik yang merupakan prasyarat bagi kegiatan yang dilakukannya dengan penuh kesadaran. Muhammad Iqbal menganjurkan agar memanfaatkan sumber-sumber material guna pencapaian berbagai tujuan spritual yang paling tinggi. Tegasnya, nilai-nilai spritual tidak dapat dimiliki begitu saja tanpa bersentuhan dengan dunia materi. Dunia idea dan realita bukanlah dua dimensi yang bertentangan. Pemantapan dunia ruhani menuntut kesedian menerima dunia materi. Oleh karena itu, dunia materi mestilah dijadikan bahan dalam rangka pengembangan diri.

Muhammad Muhammad Iqbal menjelaskan dalam sya`irnya seperti berikut:

Wahai Hati tangkaplah rahasia hidup pada intinya

Realita menampakkan diri dalam penampilannya

Namun ia tumbuh dari kegelapan Bumi

Sambil menggamit pancaran sinar mentari[14]

Pengalaman manusia dalam tingkatan hidup.

Di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan hidup, Muhammad Iqbal mengkritik konsep mekanisme di dalam kehidupan. Menurut Muhammad Iqbal, dengan mengikuti pendapat dari J.S. Haldane, perbedaan antara sebuah mesin dengan sebuah organisme hidup adalah bahwa yang terakhir ini bersifat memelihara dan mereproduksi diri sendiri.

Adapun proses reproduksi dan pemeliharaan diri sendiri ini tidak bisa ditafsirkan sebagai suatu proses yang bersifat mekanis. Kemudian Muhammad Iqbal dengan menggunakan pendapat Wildon Carr, juga mengatakan bahwa konsep mekanistik di dalam kehidupan, memastikan adanya pandangan bahwa intelek itu merupakan hasil suatu evolusi, tetapi justru pandangan adanya evolusi intelek itu berkontradiksi dengan pandangan mekanistik tentang kehidupan, karena "bagaimana mungkin, intelek yang merupakan alat untuk memahami realitas itu sendiri merupakan evolusi dari sesuatu yang adanya hanya sebagai hasil abstraksi dari alat untuk pemahaman yang tidak bisa lain adalah intelek itu." Lebih jauh lagi, suatu intelek yang berevolusi akan bersifat nisbi terhadap aktivitas yang mengevolusikannya, yang menurut ilmu alam tradisional bersifat mekanistik.

Pengalaman manusia di tingkat kesadaran

Di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan kesadaran, Muhammad Iqbal menemukan bahwa manusia, merasakan dan menyadari hidupnya ada di dalam waktu. Dalam kata-kata Bergson, "saya melalui keadaan demi keadaan, saya pun tak henti-hentinya berubah,." Oleh karena itu, sama dengan kesadaran kita, "eksistensi yang sadar berarti kehidupan di dalam waktu."

Adapun jika dikaitkan pula dengan teori perubahan yang dikemukakan oleh Jacques Lacan dengan teori cermin yang menunjukkan perubahan dalam diri manusia dengan berpolakan identifikasi dan aliensi imajiner, memperlihatkan pola analisis yang memiliki kemiripan.

Psikoanalisis yang dikembangkan Jacques Lacan pada tahun 1936 menyebutkan, bahwa tahap awal perubahan manusia terlihat sebagai tahap cermin (miror stage) yang memberi konstribusi pada teori psikoanalisis dengan konsep register imajiner. Teori perubahan dalam konteks ini mengaksentuasikan proses perubahan manusia melalui identifikasi atas bayangan dirinya sendiri sebagai orang lain, sehingga seorang anak dalam tahap ini menempatkan bayangan dirinya pada orang lain dan orang lain sebagai dirinya.[15]

Ego dalam menciptakan perubahan dirinya dengan pergerakan wilayah imajiner[16] ke wilyah simbolik sebagai register,[17] ditempatkan oleh Jacques Lacan sebagai pola seseorang dalam menciptakan ikatan sosial atau keterkaitan simbolik yang dapat mengatasi karakteristik erotik-agresif dalam hubungan ego dengan ego pada register imajiner.

Oleh ego yang efisien, keadaan-keadaan yang melintasi kesadaran kita dipotong-potong, sehingga waktu yang kita rasakan dengan ego ini adalah waktu serial, yaitu waktu yang terpotong-potong, yang sering kita ekspresikan dengan kata-kata "lama," "sebentar," "panjang" atau "pendek." Adapun sebaliknya, ego yang apresiatif meleburkan dan menyatukan keadaan-keadaan yang melintasi kesadaran kita, sehingga waktu yang dirasakan dengan ego ini adalah waktu yang merupakan "kesatuan yang organis," yang disebut oleh Muhammad Iqbal dengan "duration (perlangsungan waktu) yang murni." Di dalam perlangsungan waktu yang murni, masa lampau "bergerak bersama dan berlangsung dalam masa kini," sedangkan masa depan hadir secara langsung "sebagai suatu kemungkinan yang terbuka."

Setiap saat di dalam kehidupan realitas adalah asli dan baru. Berada di dalam "duration" yang murni, tidaklah berarti "diikat oleh rantai waktu yang berurutan, melainkan menciptakannya dari ”saat ke saat”, serta merdeka dan asli sama sekali dalam penciptaan."

Sama dengan pengalaman kesadaran, alam semesta adalah "merupakan suatu gerakan kreatif yang merdeka." Apa yang dinamakan sebagai "benda-benda adalah kejadian-kejadian dalam kelanjutan alam." Alam semesta yang seolah-olah merupakan sekumpulan benda-benda, sebenarnya adalah suatu kegiatan.

Walaupun Muhammad Iqbal di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan kesadaran ini sedikit banyaknya menggunakan pendapat dari Hendri Bergson, tetapi ia juga mengkritik beberapa pendapat dari Bergson. Salah satu kritiknya yang penting adalah terhadap penyangkalan Bergson atas sifat teleologis dari realitas. Penyangkalan Bergson tersebut didasarkan atas alasan bahwa sifat teleologis akan menyebabkan waktu menjadi tidak nyata, sehingga realitas menjadi tidak kreatif dan merdeka.

Menurut Muhammad Iqbal, alasan dari penyangkalan Bergson tersebut adalah benar apabila apa yang dimaksudkan sebagai "teleologi" adalah "pelaksanaan suatu rencana dengan melihat suatu tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya." Tetapi permasalahannya adalah bahwa ada pengertian teleologi yang lain. Pengertian teleologi yang lain ini adalah gerak maju ke depan yang bersifat sadar dan kreatif. Dan ini tidak lain adalah arus dinamika manusia dalam berbuat dan berkreasi dengan dasar masa lalu dan sekarang.

Menurut Muhammad Iqbal, realitas bersifat teleologis atau bertujuan bukan dalam arti bahwa ia hanya pelaksana dari suatu tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya, tetapi "dalam arti bahwa sifatnya sangat selektif, dan menuju pada semacam pencapaian di masa-kini dengan secara aktif memelihara serta memperlengkapi masa-lalu."

Berdasarkan pembahasan Muhammad Iqbal mengenai pengalaman dalam tingkatan kesadaran ini, memperlihatkan bahwa realitas yang sebenarnya adalah suatu perlangsungan waktu yang murni, yang merupakan gerak dari pada suatu ego. Sebagai suatu ego, kodrat realitas yang bersifat rohaniah. Adapun alam, yang ditunjukkan oleh pembahasan Muhammad Iqbal mengenai pengalaman di tingkatan materi sebagai suatu struktur peristiwa-peristiwa, adalah merupakan semacam watak atau cara tata laku yang seragam dari ego tersebut. Dengan kata lain, alam adalah merupakan kegiatan kreatif dari ego tersebut.

Teori Khudi Muhammad Iqbal ini, membawa dirinya berkesimpulan bahwa "Realitas yang terakhir" adalah suatu Ego kreatif yang terarah secara rasional. Adapun untuk menekankan individualitas dari pada Ego kreatif tersebut, Al-Qur'an menyebutnya dengan nama "Allah."[18]

Lantas, bagaimana Muhammad Iqbal sampai kepada suatu konsep, bahwa manusia dapat mencapai Tuhannya lewat pengalaman? Muhammad Iqbal mencapai konsepsinya yang terakhir mengenai Tuhan melalui penelitian dan penafsiran atas pengalaman manusia.

Menurut Muhammad Iqbal, Al-Qur'an telah memberikan petunjuk bahwa pengalaman merupakan perlambang dari suatu realitas yang digambarkan sebagai "Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Terlihat dan Yang Tak Terlihat." Adapun Filsafat Muhammad Iqbal Tentang Tuhan. Di atas tadi telah dijelaskan dengan ringkas mengenai konsepsi Muhammad Iqbal tentang Tuhan secara umum, dan bagaimana ia bisa mencapai konsep tersebut melalui suatu analisa terhadap pengalaman manusia.

Isu penting berkenaan dengan Tuhan ini, Muhammad Iqbal membahas persoalan (1). Individualitas Tuhan; (2). Kreativitas Tuhan; (3). Kekekalan Tuhan; (4). Pengetahuan Tuhan, dan (5). Keakbaran Tuhan.

Dalam hubungannya dengan individualitas Tuhan, Muhammad Iqbal membahas dua hal yang berhubungan dengan konsep "individualitas" secara umum, yaitu reproduksi dan keterbatasan. Mengenai yang pertama, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa suatu individualitas yang sempurna tidak mungkin berproduksi atau dalam kata-kata Bergson, "meletakkan lawannya dalam dirinya sendiri,"karena hal itu akan berkontradiksi dengan sifat-Nya sendiri sebagai suatu individualitas yang sempurna, yaitu "tertutup sebagai suatu ego, khas dan unik." Oleh karena itu Ego yang sempurna" harus dilukiskan sebagai sesuatu yang berada di atas pengaruh antagonisme reproduksi."

Adapun mengenai hal yang kedua, Muhammad Iqbal mengkritik pandangan umum yang mengatakan bahwa suatu individualitas bersifat terbatas dalam hubungannya dengan individualitas yang lain. Pandangan seperti ini, menurut Muhammad Iqbal, muncul karena ketidakterbatasan dibayangkan secara ruang dan waktu. Padahal ketidakterbatasan secara ruang dan waktu itu tidak pernah ada, karena ruang dan waktu itu sendiri bersifat tidak mutlak, dalam artian bahwa ruang dan waktu—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya—adalah merupakan suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti. Oleh karena itu Muhammad Iqbal kemudian berkesimpulan bahwa Tuhan sebagai suatu individualitas bersifat tak terbatas, tetapi tidak secara ruang dan waktu, melainkan ketidakterbatasan-Nya itu terletak pada kemungkinan-kemungkinan batin dari aktivitas kreatif-Nya. Adapun ruang dan waktu adalah merupakan kemungkinan-kemungkinan dari Tuhan.

Mengenai kreativitas Tuhan, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan tidaklah seperti kegiatan mencipta dari sebuah pabrik, yang mana bersifat menghasilkan "sesuatu" dari "sesuatu yang lain," dan kemudian hasil penciptaan itu berdiri secara independen dari penciptanya. Adapun kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan itu adalah secara terus menerus, tidak pernah berhenti, karena keberadaan alam—yang sebenarnya adalah suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti—itu tergantung dari kegiatan penciptaan Tuhan. Di dalam paham teologi Asy'ari dinyatakan bahwa kelanjutan adanya suatu atom itu tergantung dari penciptaan aksiden-aksiden secara terus menerus di dalam atom tersebut.

Walaupun Muhammad Iqbal membenarkan beberapa hal di dalam paham teologi Asy'ari mengenai masalah penciptaan atom ini, tetapi ia mengubah atomisme Asy'ari menjadi suatu paham pluralisme rohaniah. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk atom, sebenarnya adalah suatu ego dan segala macam ego yang ada adalah merupakan pewedaran diri dari Tuhan.

Mengenai masalah kekekalan Tuhan, Muhammad Iqbal membahasnya di dalam kaitannya dengan waktu. Muhammad Iqbal mengkritik para pemikir yang mencoba untuk memahami waktu dengan menggunakan suatu metode yang obyektif, karena metode ini hanya dapat menangkap waktu yang bersifat serial dan terpotong-potong. Ia kemudian mencoba untuk memahami waktu melalui suatu analisa psikologi. Melalui analisa ini—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya—, Muhammad Iqbal mendapatkan dua macam waktu, yaitu waktu serial dan perlangsungan waktu yang murni, yang masing-masing dipahami oleh ego yang efisien dan ego yang apresiatif. Ego yang apresiatif hidup di dalam perlangsungan waktu yang murni dan merupakan suatu "perubahan tanpa urutan ganti-berganti." Apabila kita menganalogikan kehidupan Tuhan berdasarkan kehidupan ego terbatas, maka "waktu dan Ego Terakhirpun akan nampak sebagai perubahan tanpa urutan ganti-berganti." Inilah yang disebut dengan kekekalan Tuhan, yaitu kehidupan-Nya yang merupakan "perubahan tanpa urutan ganti-berganti," kehidupan-Nya di dalam perlangsungan waktu yang murni.

4. Manusia dan Prinsip Ketauhidan

Pandangan paling fundamental tentang hubungan manusia, alam dan Tuhan dalam Islam adalah prinsip ketauhidan yang memberikan isyarat kebermaknaan penyatuan dan keselarasan hubungan di antara semua unsur yang ada. Mengenai pengetahuan Tuhan, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan bukanlah merupakan pengetahuan yang diskursif, di mana pengetahuanadalah "suatu proses temporal yang bergerak disekeliling sesuatu 'yang
lain', yang dianggap ada secara per se dan berhadap-hadapan dengan ego yang mengetahui." Pengetahuan Tuhan juga bukanlah seperti yang digambarkan oleh Djalaluddin Dawani, Iraqi dan Prof. Royce, di mana pengetahuan Tuhan adalah "suatu tindak mempersepsikan yang tunggal dantak terbagi-bagi, yang membuat Tuhan dengan secara langsung tahu mengenai semesta sejarah." Pengetahuan Tuhan, menurut Muhammad Iqbal, adalah suatu bentuk pengetahuan yang aktif, di mana obyek pengetahuan bukanlah merupakan sesuatu yang terpisah dan menjadi sumber pengetahuan bagi subyek, melainkan sesuatu yang berasal dan tercipta dari pengetahuan
subyek. Pengetahuan-Nya adalah "suatu kegiatan yang didalamnya mengetahui dan mencipta adalah satu. Mengenai keakbaran Tuhan, Muhammad Iqbal menyatakan bahwa kemahakuasaan Tuhan itu berhubungan erat dengan kebijaksanaan-Nya. Kemahakuasaan Tuhan, menurut Muhammad Iqbal tidak merupakan suatu kekuasaan yang buta dan serampangan, tetapi justru "menampakkan diri dalam hal-hal yang teratur, yang baru dan tersusun." Dengan demikian, kekuasaan dan iradah Tuhan itu bersifat baik. Tetapi timbul permasalahan di sini. Apabila kekuasaan Tuhan itu bersifat baik, mengapa kejahatan itu adalah sesuatu yang nyata adanya di dunia ini? Muhammad Iqbal menjawab hal ini dengan menghubungkannya kepada konsep kebebasan memilih dari manusia.

Menurut Muhammad Iqbal, Tuhan menganugerahkan kemerdekaan untuk memilih kepada manusia, sehingga manusia bisa memilih apa yang "baik" dan apa yang "sebaliknya dari baik." Pilihan manusia terhadap sesuatu yang "sebaliknya dari baik" itulah yang dinamakan "kejahatan." Konsep "kebaikan" dan "kejahatan" itu sendiri nampaknya hanya berlaku pada manusia. Kedua konsep tersebut bukanlah sesuatu yang terpisah satu sama lain, tetapi terletak di dalam keseluruhan yang sama, dan harus dipahami di dalam hubungan satu sama lain. Adapun di dalam Al-Qur'an, menurut Muhammad Iqbal, terdapat suatu meliorisme, "yang mengakui adanya suatu alam semesta yang tumbuh, dan dijiwai oleh harapan bahwa pada akhirnya manusia akan mengalahkan kejahatan. Pendeknya, Tuhan mengajari dan menunjuki manusia lewat kebebasan.

E. Pendidikan berwawasan Perubahan Masyarakat

Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa tujuan pendidikan adalah mampu membangun dunia bagi masyarakat dengan menggunakan kemampuan akal, indra dan intuisi. Oleh karena itu ketiga aspek ini mesti tertuang dalam kurikulum pendidikan itu. Pendidikan harus menjadikan subjek didiknya mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya sebagai wahana bagi perealisasian nilai-nilai spritual.[19] Pendidikan menurutnya mesti mampu memandang situasi aktual dengan tidak melihat manusia secara sebahagian-bagian. Pendidikan baru harus mampu menjadikan ilmu-ilmu pengetahuan sebagai wahana bagi realisasi nilai-nilai spritual. Untuk itu perlu adanya upaya integrasi intelektual dan cinta, sebab hidup bukanlah rutinitas, tetapi seni yang kreatif, konstruktif dan inovatif.

Muhammad Iqbal dalam hal ini mengungkapkan, bahwa pendidikan terbaik yang sesuai dengan watak manusia adalah pendidikan yang mengaksentuasikan aktivitasnya pada pemberikan pengetahuan kepada subjek didik melalui metode problem solving, yakni suatu cara yang efektif untuk melatih berpikir kreatif, kritis dan inovatif. Dengan cara ini menurutnya dapat membentuk cakrawala berpikir subjek didik sedemikian rupa sehingga menjadi manusia-manusia yang tanggap akan berbagai problematika kehidupannya dalam masyarakat.[20]

Untuk menentukan jenis dan corak pendidikan sangat tergantung pada cara pandang seseorang atau sekelompok orang tentang watak sejarah yang dapat melahirkan perkembangan dan kemajuan individu dan masyarakat ke arah kesempurnaan. Muhammad Iqbal dalam hal ini memandang bahwa sejarah adalah watak kehidupan yang dapat mengungkap kembali serta merekonstruksi pengalaman masa lalu untuk menemukan pola dan strategi baru dalam mengadakan perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan dalam diri individu ataupun sosial. Dalam hal ini Muhammad Iqbal mengungkap dengan sya`irnya seperti berikut:

Apakah gerangan sejarah itu

Wahai kelana, yang asing bagi dirinya sendiri

Bukan sekedar kisah, bukan cerita ataupun fabel

Sejarah itu mampu menggugah kesadaran pada dirimu

Tangkas dalam bertindak, cermat dalam melacak

Sejarah itu mampu mempertajam tilikan

Laksana mengasah pedang pada gurinda

Dan kemudian mengujimu di kancah wajah duniamu

Pandanglah dengan tajam

Kilatan sinar dalam apinya terpendam

Tantanglah hari esok

Yang hari itu tergolek

Kilatan sjarah penaka bintang

Penunjuk arah ke masa Bangsa gemilang

Menerangi malam ini dan malam-malam masa silam

Mata yang terbiasa menatap kemilau masa lampau

Niscaya bisa menciptakannya kembali di masa kini

Gumulilah sejarah dan tumbuhkembangkanlah dengan tabah

Galilah kehidupan dari detik-detik yang telah lalu

Hari ini lahir di pangkuan hari kemaren

Hari ini menonggak hari esok

Bila engkau ingin meraih kehidupan nan abadi

Jangan putuskan pautan dulu, kini dan kelak

Hidup adalah menangkap gelombang zaman

Yang terus beriak dan bergerak

Bagaikan anggur yang membuih meruah

Dalam gelas si haus melimpah[21]

Mengingat tujuan pendidikan mestilah pula diorientasikan untuk membangun dunia bagi masyarakat dengan menggunakan kemampuan akal, indra dan intuisi. Ketiga aspek ini mesti tertuang dalam kurikulum pendidikan. Hal ini menjadi penting mengingat ilmu pengetahuan yang diperoleh subjek didik di lembaga pendidikan adalah sebagai wahana bagi perealisasian nilai-nilai spritual. Untuk itu perlu adanya upaya integrasi intelektual dan cinta sedemikian ruga agar pencarian ilmu pengetahuan benar-benar dilakukan dengan penuh kesadaran dan kenikmatan, sebab hidup bukanlah rutinitas, tetapi seni yang kreatif, konstruktif dan inovatif.

Muhammad Iqbal dalam hal ini percaya, bahwa gagasan semata tidak akan memberikan pengaruh apa-apa bagi gerak maju kesempurnaan manusia. Suatu gagasan memerlukan penjabaran ke dalam bentuk tindakan nyata, karena memang amal perbuatanlah yang akan membentuk kualitas kemanusiaan. Muhammad Iqbal menegaskan, bahwa hidup sesungguhnya adalah melakukan segala sesuatu yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Islam dalam hal ini memiliki aturan-aturan yang disusun sedemikian rupa, sehingga individu dan masyarakat mana pun yang melaksanakannya akan dapat memperoleh kemajuan yang paling besar dalam kehidupannya menuju pada kesempurnaan.manusia.[22]

Hal yang sama juga diungkapkan oleh John Dewey yang mengungkapkan bahwa ide-ide dan gagasan-gagasan mestilah sesuatu yang dapat diterapkan dalam tindakan-tindakan yang berguna bagi pemecahan berbagai problema yang muncul dalam masyarakat.[23]

Menurut Muhammad Iqbal untuk menciptakan masyarakat baru melalui rekostruksi pendidikan mesti dengan memberikan kesadaran kokoh untuk menanamkan pemahaman bagi pemuda akan pentingnya kecerdasan guna merebut kepentingan individu, melalui prinsip idealisme dan spritualisme.[24] Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa kesadaran diri dan individualitas merupakan kata kunci bagi penyempurnaan kemanusiaan.

Gerak sejarah manusia selalu ditentukan oleh peran ego yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kebebasan dirinya. Individualitas adalah suatu gerak maju yang menjadi saluran segala objek dan benda. Dengan memperkuat kepribadian, ego manusia dapat menguasai lingkungan dan mendekati ego Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, sehingga manusia itu pun mencapai kesempurnaannya.[25] Jadi, perubahan sejarah, sangat tergantung pada kualitas individu dalam memahami dan memaknai hakikat hidup. Kondisi ini dalam banyak varian sangat tergantung pada proses pemanusiaan yang diselenggarakan secara efektif dan efisien memang memacu penciptaan sejarah dalam ragam situasi masyarakat.

Penutup

Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa filsafat khudi Muhammad Iqbal menggambarkan pembentukan jati diri manusia dalam konteks dunia pengalaman manusia. Muhammad Iqbal menekankan, bahwa setiap manusia adalah pribadi yang berdiri sendiri yang membutuhkan pengaktualisasiannya sendiri agar dapat menjadi kepribadian yang sempurna dan utama. Kepribadian yang sempurna bermuara pada penciptaan sifat-sifat Tuhan ke dalam ego yang sejati. Diskursusnya tentang pengalaman indrawi, rasional dan intuisi adalah pengalaman riil ego dalam merealisasikan dirinya di dunia dalam kerangka penciptaan dunia baru yang lebih baik dari sebelumnya meniscayakan menataan pendidikan berwawasan masa depan dengan mempertimbangkan masa lalu dan melihat masa sekarang.

---------

DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, Dr. Wahid ”Unsur-Unsur Eksistensialis dalam Pemikiran Muhammad Iqbal” dalam al-Hikmah Jurnal Pencerahan Pemikiran Islam, Bandung, Maret – Juni 1990

Beilharz, Peter., Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Terj. Sigit Jatmiko, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Cantwell Smith, Wilfred., Modern Islam in India; A Social Analysis, London: Victor Gollancz, 1946.

Capleston, Frederick S.J., A History of Philosophy, Paulist Press, New Jersey, Vol. VIII, 1966.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994

Edwards, Paul (ed), The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing Co., Inc., New York, Vol. 5 & 6, 1967.

Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 2, Bandung: Mizan, 2002.

Iqbal, Muhammad The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Jakarta: Tinta Mas, 1966

.........., Asrar-i Khudi, Terj. Bahrum Rangkuti, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.

.

May, Lini S., Iqbal His Life and Time, Lahore: Ashraf Press, 1974

Muhmidayeli, ”Moralitas Kependidikan....” dalam al-Fikra Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5 No. 1 Jan-Juni 2006

Muthahhari, Murtadha Masyarakat dan Sejarah; Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, Terj. M. Hashem, Cet. III, Bandung: Mizan, 1992,

Saiyidin, K.G. B.A., M.Ed, Percikikan Muhammad Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, terjemahan M.I. Soelaeman, Bandung: Diponegoro, 1981.




[1] Dalam konteks inilah dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan dan kemajuan-kemajuan dalam masyarakat meniscayakan penataan dunia pendidikan sekolah yang bernuansakan progresivitas humanitas, baik dalam hubungannya dengan masyarakat, alam realitas lainnya maupun Tuhan sebagai realitas tertinggi dan abadi. Lihat lebih lanjut Muhmidayeli, ”Moralitas Kependidikan....” dalam al-Fikra Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5 No. 1 Jan-Juni 2006, h. 1-2.

[2]Disadur dari dua buah sumber utama, yaitu buku yang ditulis oleh Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) dan buku karya John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 2, (Bandung: Mizan, 2002). Dua buku ini penulis anggap cukup refresentatif untuk menggambarkan sosok Muhammad Muhammad Iqbal dalam konteks sejarah pemikiran dan konteks sosio-kultural tempat di mana ia dibesarkan yang diperkirakan turut mempengaruhi model berpikir dan cara pandangnya dalam memandang realitas. Dapat dilihat pada Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India; A Social Analysis, (London: Victor Gollancz, 1946) p. 101.

[3] LIni S. May, Iqbal His Life and Time (Lahore: Ashraf Press, 1974), p. 61

[4] Dikutip dari Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah; Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, Terj. M. Hashem, Cet. III, Mizan, Bandung, 1992, h. 101.

[5] Sajak Muhammad Iqbal yang dikutip dari tulisan Dr. Wahid Akhtar, ”Unsur-Unsur Eksistensialis dalam Pemikiran Muhammad Iqbal” dalam al-Hikmah Jurnal Pencerahan Pemikiran Islam, Bandung, Maret – Juni 1990

[6] Muhammad Muhammad Iqbal tidak sepakat dengan pemikiran Plato dan idealisme pada umumnya yang menganggap bahwa ego manusia hanyalah bayangan jiwanya yang merupakan bagian dari Jiwa Yang Abadi, sehingga ego manusia senantiasa berjuang untuk dapat bersatu padu dengan induknya. Bagi Igbal, pandangan semacam ini tidak dapat dijadikan cita moral dan agama. Baginya, tujuan ego selalu berjuang untuk mewujudukan dan mengaktualisasikan dirinya dalam realitasnya, sehingga menjadi kepribadian yang mantap dan kukuh sebagai manusia. Dapat dilihat dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Tinta Mas, Jakarta, 1966, h. 4

[7] Muhammad Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi, Terj. Bahrum Rangkuti, Bulan Bintang, Jakarta, t.t., h. 119.

[8] Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi, 35-36 yang dikutip dari K.G. Saiyidin, B.A., M.Ed, Percikikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, terjemahan M.I. Soelaeman, (Bandung: Diponegoro, 1981), p. 29.

[9] Puisi Muhammad Iqbal yang diambil dari catatan K.G. Saiyidin, B.A., M.Ed, Percikikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, terjemahan M.I. Soelaeman, Diponegoro, Bandung, 1981, h. 26.

[10] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Tinta Mas, Jakarta, 1966, h. xx

[11] Muhammad Iqbal, Asrar I Khudi, Terj. Bahrum Rangkuti, Bulan Bintang, Jakarta, t.t., h. 119.

[12] Lihat Ibid., h. 145.

[13] Ibid., h. 131

[14] Muhammad Muhammad Iqbal seperti dikutip K.G.Saiyidain dari ”Payam-i-Masyriq”, Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan, , Terj. M.I. Soelaeman, Diponegoro, Bandung, 1981, h. 64

[15] Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Terj. Sigit Jatmiko, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 247-248.

[16] Wilayah imajiner yang dimaksudkannya di sini adalah bahwa seseorang dalam melakukan perubahan bergerak berdasarkan suatu imaji yang merupakan bayangan terhadap dirinya.

[17] Wilayah simbolik sebagai register yang dimaksudkan di sini aalah suatu bentuk pola yang mengkombinasikan antara konsep linguistik tentang ujaran dengan dealektika tuan-hamba yang dikembangkan oleh Hegel.

[18] Konsepsi Muhammad Iqbal tentang Tuhan ini, begitu pula dengan filsafatnya secara keseluruhan, menurut M.M. Syarif, dapat dibagi menjadi tiga periode. Pada periode yang pertama, yang berlangsung dari tahun 1901 sampai kira-kira tahun 1908, Tuhan diyakini oleh Muhammad Iqbal sebagai suatu "Keindahan Abadi, yang ada tanpa tergantung pada dan mendahului segala sesuatu, dankarena itu menampakkan diri dalam semuanya itu." Tuhan juga adalah penyebab gerak segala sesuatu. Adapun seluruh kemaujudan (eksistensi) selain Tuhan bersifat fana. Pada periode yang kedua, yang berlangsung kira-kira dari tahun 1908 sampai 1920, konsepsinya mengenai Tuhan dibimbing oleh filsafatnya tentang pribadi (philosophy of the self). Tuhan adalah "Pribadi Mutlak, Ego Tertinggi," suatu Kemauan Abadi yang Esa. Keindahan pada periode ini direduksi menjadi suatu sifat Tuhan. Kemudian ia menyatakan bahwa Tuhan tidak menyatakan dirinya di dalam dunia yang terinderai, melainkan di dalam pribadi terbatas—hal ini mungkin merupakan implikasi dari pada konsepsinya tentang dunia yang terinderai, yang dikatakannya sebagai ciptaan dari pribadi terbatas, bentukan dari hasrat-hasrat manusia. Oleh karena itu, maka usaha untuk mencari dan mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan menemukan Tuhan, seseorang tidak boleh terserap ke dalam Tuhan dan membiarkan dirinya menjadi tiada, tetapi sebaliknya ia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya. Periode yang ketiga, yang berlangsung kira-kira dari tahun 1920 sampai dengan meninggalnya Muhammad Iqbal pada tahun 1938, merupakan masa kematangan dari pemikiran Muhammad Iqbal. Konsepsi Tuhan sebagai suatu pribadi masih menonjol, tetapi filsafat perubahannya lebih menonjol lagi. Pada periode ini, secara umum Tuhan digambarkan oleh Muhammad Iqbal sebagai suatu Ego kreatif yang terarah secara rasional.

[19] Smith Wilfred Cantwel, Op. Cit., h. 146.

[20] Lihat Ibid., h. 145.

[21] Muhammad Muhammad Iqbal seperti dikutip K.G.Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan, , Terj. M.I. Soelaeman, Diponegoro, Bandung, 1981, h. 79

[22] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Tinta Mas, Jakarta, 1966, h. 6.

[23] Lihat lebih lanjut, Paul Edwards (ed), The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing Co., Inc., New York, Vol. 5 & 6, 1967, h. 428-429. Lihat pula Frederick S.J.Capleston, A History of Philosophy, Paulist Press, New Jersey, Vol. VIII, 1966, h. 359-360.

[24] Smith Wilfred Cantwel, Modern Islam in India: A Social Analysis, Swaran Printing Press, Delhi, 1979, h. 146.

[25] Muhammad Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Op. Cit., h. xx