Minggu, 29 November 2009

Epistemologi pendidikan M. Iqbal

Filsafat Khudi Muhammad Iqbal:

Sebuah Analisis Epistemik Pendidikan dalam Konteks Teori Perubahan Masyarakat

Oleh: Muhmidayeli

E-mail: muhmidayeli@yahoo.co.id

Abstrak

Pendidikan persekolahan adalah wadah strategis dalam mempercepat lahirnya ragam perubahan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kondisi semacam ini meniscayakan pendidikan dibangun di atas landasan epistemologi yang kokoh yang tentu dilandasai pada konsep ontologi dan epistemologi dalam melihat bagaimana menggiring manusia untuk berkembang ke arah kesempurnaan yang diiinginkan. Muhammad Iqbal menawarkan gerakan perubahan masyarakat dengan menekankan prinsip kebebasan dan kreativitas sebagai dasar pengembangan watak kemanusiaan yang bergerak maju ke arah kesempurnaan. Prinsip dasar ini meniscayakan pembangunan manusia dalam konteks pengalaman materi, hidup, penuh makna dan kesadaran. Oleh karena itu, pendidikan mesti diorientasikan pada pembentuhan masyarakat baru yang lebih baik dan sempurna.

Kata Kunci:

Filsafat Khudi; Epistemologi Pendidikan; Perubahan Masyarakat

A. Pendahuluan

Diskursus pembaharuan dan perubahan masyarakat dalam banyak variasi dinamika sejarah sosial dan perjuangannya akan senantiasa menjadi fokus pembicaraan para ilmuan dan praktisi sosial. Diskusi-diskusi tentang problem ini memiliki implikasi logis terhadap tata pikir dan pemahaman banyak orang tentang restrukturisasi berbagai peristiwa gerakan kemasyarakatan di berbagai bidang kehidupan yang pada gilirannya akan menciptakan konteks sosial baru bagi dinamika gerakan dan pertumbuhan mobilitas suatu masyarakat.

Dalam konteks kependidikan, gerakan perubahan suatu masyarakat dan sosial lebih diarahkan pada upaya bagaimana penyelenggaraan pendidikan diorientasikan untuk menjawab ragam persoalan dan kebutuhan masyarakat dalam gerak bangun kemajuan di berbagai sektor kehidupan. Sedemikian rupa, pendidikan mesti diselenggarakan atas dasar prinsip-prinsip epistemologi yang benar-benar yang merupakan refleksi nyata atas model gerak manusia dalam mengatur diri dan kediriannya agar dapat benar-benar berfungsi dan difungsikan sebagai penggerak potensial perubahan yang senantiasa membawanya melangkah maju.ke arah kemajuan di berbagai sektor.

Pendidikan persekolahan adalah wadah strategis dalam mempercepat lahirnya perbaikan-perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan di tengah-tengah masyarakat, baik dalam konteks pengembangan individu-individu yang bergabung dalam suatu tatanan masyarakat, maupun dalam konteks kollektivitas dan kelembagaan yang meniscayakan munculnya masyarakat baru yang lebih arif dan tanggap untuk berbuat yang mengarah pada perbaikan-perbaikan taraf hidup di berbagai lini. Atas dasar tesis inilah maka dikatakan, bahwa kualitas suatu masyarakat sangat tergantung pada kualitas lembaga pendidikan sekolah.[1] Peran lembaga pendidikan persekolahan sedemikian menjadikan eksistensinya sebagai menara gading bagi penciptaan masyarakat baru yang lebih baik dan lebih beradab dari sebelumnya.

Esensi pendidikan Islam sebagai pengupayaan perubahan ke arah yang lebih “baik”, yang mengarah pada pengembangan, menurut tujuan–tujuan yang telah ditetapkan, meniscayakan pendidikan berorientasi pada masa depan masyarakat, bukan masa sekarang, dan atau hanya sekedar pelestarian nilai-nilai semata. Dalam konteks ini, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang kaku. Hal ini mengingat di dalamnya terdapat jaringan-jaringan yang saling mempengaruhi satu dari yang lainnya yang bermuara pada sebuah peristiwa yang bergerak maju ke arah perubahan-perubahan.

Dari tesis ini dapat dikatakan bahwa, pergeseran-pergeseran di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial budaya, politik dan lain sebagainya dapat menciptakan pola dan gerakan baru dalam kehidupan masyarakat yang dalam banyak variannya sangat ditentukan oleh bagaimana anggota-anggota masyarakat bergerak ke arah perbaikannya. Pergerakan setiap unsur lapisan ini memiliki hubungan signifikan dengan bagaimana pendidikan berlangsung dalam suatu masyarakat.

Muhammad Iqbal adalah salah satu tokoh yang banyak berbicara tentang pola manusia membentuk dirinya di dunia yang akan meniscayakan pola akselerasi pengembangan dan kemajuan suatu masyarakat. Filsafat eksistensial Muhammad Iqbal banyak menawarkan cara bagaimana manusia dapat menjadi dirinya yang kamil. Bahkan ajarannya tentang bagaimana mengobati gonjang ganjing kehidupan modernitas dengan cara mengembalikan fungsi ilmu pengetahuan yang semestinya mengajari anak manusia bagaimana hidup, sedemikian rupa menjadikan dirinya mampu mengatur peradaban yang arif akan memiliki signifikansi metodologis dalam membangun masyarakat baru di era globalisasi saat ini.

Falsafah khudhi yang dibincangkannya dalam buku Asrar-i-Khudhi menawarkan beragam prinsip dasar pengembangan watak insani yang memiliki implikasi pada penataan kependidikan yang akan bermuara pada pembentukan masyarakat yang moralis yang sarat dengan kemajuan-kemajuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa masyarakat moralis identik dengan masyarakat yang penuh dengan makna kemajuan-kemajuan dalam berbagai lini kehidupan dalam konteks keseluruhan kebutuhan manusia. Sedemikian rupa, falsafah khudi Muhammad Iqbal yang membincangkan persoalan watak insani dalam membentuk diri sejati yang bermuara pada pelahiran insan kamil menjadi fokus utama dalam gerak humanitas yang akan menentukan corak bangun kemajuan suatu masyarakat. Tarnsformasi sosial dan masyarakat memiliki korelasi dengan proses pembentukan watak manusia yang digambarkan Muhammad Iqbal dalam konsep khudi-nya.

Falsafah hidup yang tertuang dalam setiap pemikiran Muhammad Iqbal menyoroti persoalan dan tujuan hidup manusia yang meniscayakan implikasi edukasi yang akan menjadi landasan bagi falsafah pendidikan yang tentu akan mempengaruhi bagi arah bangun pengembangan individu maupun kelompok dalam kehidupan masyarakat. Pengembangan teori pendidikan mana pun selalu beranjak dari asas yang mendasarinya tentang hakikat manusia dalam konteks individualitas dan sosial dalam kaitannya dengan pembentukan jati diri dan kemanusiaan. Kejelasan pandangan tentang prinsip dasar ini akan mempertegas makna, hakikat dan strategi pendidikan. Pendeknya, tidak mungkin ada teori tentang pendidikan tanpa memiliki kejelasan konsep tentang kedirian manusia dalam pembentukan watak insaninya. Persoalan ini dibahas secara khusus oleh Muhammad Iqbal dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Parsi yang berjudul Asrari Khudi (rahasia diri).

Transformasi sosial dan masyarakat dalam berbagai dimensinya memiliki hubungan strategis dengan epistemologi pendidikan yang dalam banyak varian memiliki kaitan dengan pandangan dan konep diri yang dianut. Oleh karena itu, pengkajian secara kritis epistemologi pendidikan yang dibangun oleh Muhammad Iqbal dalam kaitannya dengan perubahan suatu masyarakat diharapkan dapat sebagai wacana bagi pengembangan pola rekonstruksi pendidikan Islam yang berdimensikan pergerakan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang dicita-citakan.

B. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab pada tanggal 22 Februari 1873 dan wafat di Lahore 21 April 1938. Ia adalah seorang filsuf dan penya`ir yang sangat peduli terhadap dinamika perkembangan sosial kemasyarakatan Muslim pada masanya. Ia berasal dari keturunan Brahmana Kashmir yang telah memeluk Islam tiga abad sebelum kelahirannya.

Ayahnya bernama Nur Muhammad yang bekerja sebagai penjahit dan penyulam. Sebagai seorang muslim yang taat dan sufi, ayahnya banyak mendorong Muhammad Iqbal untuk menghafal al-Qur`an secara teratur dan memang sangat mempengaruhi perjalanan spritual Muhammad Iqbal selanjutnya.

Pendidikan dasar dan menengah didapatkannya di daerah kelahirannya, Punjab. Kendatipun Muhammad Iqbal pernah merasakan ketidakbahagiaan dalam kehidupan pribadinya ketika menikahi putri dari seorang dokter yang telah memberinya dua orang anak yang bernama Javid Muhammad Iqbal dan Munirah Banu, namun ketika mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan magister di bidang filsafat pada Goverment College di Lahore ia mampu menyeleasaikannya dalam tempo dua tahun dengan prediket cum laude. Masa pendidikannya inilah yang memberi kesempatan pertemuannya dengan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis yang mengarang buku The Preaching of Islam (1896).[2]

Setelah menamatkan pendidikannya pada perguruan ini, Muhammad Iqbal mengajar dalam bidang sejarah dan filsafat di Oriental College. Bahkan ia juga diberi kepercayaan untuk mengajar filsafat dan bahasa Inggeris di almamaternya Goverment College.[3] Pada tahun 1905 ia melanjutkan studinya ke Eropa dan memperoleh gelar doktor dalam filsafat dari Universitas Munich. Disertasi Muhammad Iqbal berjudul The Development of Metaphysics in persia. Gelar doktor lainnya, di bidang kesusasteraan didapatnya dari Universitas Punjab pada tahun 1935. Muhammad Iqbal menyelesaikan pendidikan tinggi di Scotch Mission College yang kemudian berganti nama dengan Murray College. Di sinilah kemudian Muhammad Iqbal bertemu seorang ulama besar yang bernama Sayyid Mir. Hasan yang tidak lain adalah seorang sahabat orang tuanya.yang tidak lain adalah seorang penya`ir dan ahli bahasa Urdu dan Persia. Pertemuan dengan Mir Hasan inilah kemudian menjadikan Muhammad Iqbal banyak belajar sya`ir-sya`ir yang menjadi semakin kukuh setelah ia menemukan seorang ahli sya`ir Urdhu Mirza Khan (1831-1905) dari Hyderabad.

Pada tahun 1927 ia pernah dipilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab dan pada tahun 1930 ia juga pernah dipilih sebagai Presiden sidang tahunan dari Liga Muslimin. Karena pada periode ini, ia mendukung gagasan tentang sebuah negara Islam di wilayah Timur Laut India, maka ia, oleh para pendukung negara Pakistan, dianggap sebagai pemimpin mereka.

Adapun karya-karya Muhammad Iqbal terkenal antara lain:

1. The Development of Metaphysics in Persia

2. Asrar i Khudi

3. Rumuz i Khudi

4. The Reconstruction of Religious Thought in Islam

C. Hakikat Manusia dalam Teori Ego/Khudhi Muhammad Iqbal

Beragam pandangan filsuf bergulir dalam mendudukkan bagaimana cara berada manusia di dunia. Rene Descartes umpamanya berkata bahwa ”saya berpikir, karena itu saya ada (Cogito ergo sum)”. Bergson menjelaskan ”Saya mempunyai keseimbangan, karena itu saya ada” Sartre menuturkan bahwa ”Saya merasa bersalah, karena itu saya ada”. Marx dalam hal ini pun berkata, ”Saya bekerja, maka saya ada”.[4] Kesemua pemikir ini menitikkan beratkan manusia pada satu titik urgen dari keseluruhan unsur yang ada dalam pembentukan diri manusia dan bahkan cenderung mengabaikan yang lain. Pendeknya, manusia dalam hal ini ditempatkan sebagai suatu makhluk yang menunjukkan dirinya melalui satu kekuatan utama yang menjadi penentu dalam keseluruhan sistem kediriannya.

Apa yang diutarakan oleh Rene Descartes umpamanya telah memberikan gambaran bahwa keberadaan manusia bertumpu pada pikiran, sehingga ketika pikiran tiada maka diri manusia pun tiada. Begitu juga dengan pandangan yang diutarakan oleh Marx yang menitik beratkan identitas manusia pada pekerjaan.

Sejak Rene Descartes, memaklumatkan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), pada saat itulah berawal perkembangan pemikiran Barat yang kemudian memengaruhi dunia yang cenderung membangun suatu keseluruhan dengan menjadikan ego sebagai pusatnya. Ego cogito Descartes menunjukkan bagaimana “aku” didaulat menjadi pusat bagi realitas ontologis. Ego mendapat prioritas utama yang mutlak tak tergugat. Begitu pula Jean Paul Sartre pernah mengatakan bahwa aktivitas manusia untuk mengembangkan egologi sebagai totalitas dengan mengedepankan identitas manusia pada wilayah “etre pour soi” yang ditandai dengan adanya kesadaran, kebebasan dan kreativitas.

Ketika manusia mengedepankan ego, maka ia sebenarnya tengah melakukan totalisasi, apapun yang dihadapannya akan di-utuh-kan dalam sebuah konsep yang telah ada di pikiran “aku”, sehingga apa pun itu masuk dalam pemahaman dari sudut pandang “aku”.

Sebagaimana yang diagungkan oleh kaum eksistensialis pada umumnya, Muhammad Iqbal menitik beratkan dua prinsip dasar manusia dalam menunjukkan dirinya di dunia melalui dua sifat esensialnya, yaitu kebebasan dan kreativitas. Dalam konteks ini Muhammad Iqbal menggambarkan dengan kalimat:

Hancurkan dunia sampai berkeping-keping bila tidak sesuai denganmu

Dan ciptakan dunia yang lain dari dari kedalaman wujudmu

Betapa pedihnya manusia merdeka yang hidup di dunia yang diciptakan oleh manusia lain.[5]

Puisi di atas menyiratkan sebuah keyakinan Muhammad Iqbal yang memperlihatkan keniscayaan kebebasan dalam ruang gerak kemanusiaan dalam menciptakan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan-penyempurnaan. Iqbal berkeyakinan bahwa Tuhan berfirman lewat kebebasan. Kebebasan berarti transendensi diri dan karenanya manusia dapat melampaui ruang dan waktu, sehingga ia tidak menjadi manusia berada pada masa kini, tetapi membangun masa depan.

Dalam pandangannya, Muhammad Iqbal terlihat menolak paham yang melihat masa depan sebagai sesuatu yang telah ditentukan secara kausalitas. Menurutnya masa depan seseorang atau sekelompok orang tidak dapat diprediksi dan ditentukan berdasarkan hukum-hukum yang ditentukan, baik secara psiologis, psikologis, sosial maupun historis.

Bagi Muhammad Iqbal, manusia adalah makhluk yang belum selesai. Dan karenanya, manusia harus selalu berbuat dan bekerja. Manusia adalah tujuan konstruk kehidupan di mana dirinya sebagai pusat segala aktivitas dan kreativitas yang tampak dalam bentuk perubahan-perubahan dalam ragam kehidupan masyarakat. Pendeknya, tugas penting manusia di dunia adalah berbuat dan bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Ini berarti bahwa pandangan Muhammad Iqbal menekankan bahwa suatu masyarakat harus bergerak maju dari masa ke masa.

Muhammad Iqbal berkeyakinan bahwa manusia dapat mengubah apa yang ada ke arah yang semestinya ada, karena ego manusia dapat membayangkan sebuah dunia baru yang lebih baik dan lebih sempurna dari upayanya membaca masa lalu dan mengaitkan dengan masa sekarang. Kecuali itu, ego yang dalam dirinya ada kekuatan mencoba dan mengaktualisasikan dirinya di dunia, sehingga ia dapat menggunakan seluruh lingkungannya untuk senantiasa berbuat dan berkarya sepanjang arus sejarah kehidupannya. Kondisi ego yang semacam inilah yang memunculkan gerakan perubahan ke arah realitas tertinggi pada tarap kemanusiaan.

Khudi (ego) dimaknai Muhammad Iqbal sebagai suatu kesatuan yang riil, yang nyata dan secara mantap dan tandas. Khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia. Muhammad Iqbal menolak secara tegas pandangan umum para filsuf yang berkembang baik di dunia Timur maupun Barat yang mengatakan bahwa diri manusia hanya sebagai ilusi atau refleksi dari jiwa dan tidak memiliki kepastian yang jelas.[6]

Muhammad Iqbal mengatakan, bahwa hakikat manusia adalah segenap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Apabila dirinya dapat berkembang dengan baik, maka eksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan diakui. Jika manusia tidak mengambil prakarsa dan berkeinginan untuk mengembangkan dirinya dan tidak ingin merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan mengkristal dan perlahan-perlahan akan menjadikan dirinya tereduksi kepada benda-benda mati. Oleh karena itu Muhammad Iqbal berpendapat, bahwa untuk membangun kembali umat Islam yang telah terpuruk pada kemerosotan dan kemunduran yang berpangkal pada kemerosotan humanitas, perlu menata dan membangun kembali tata sistem baru dengan mengembangkan potensi diri dan akal manusia yang akan menunjuk pada eksistensi manusia dalam memandang realitas. Suatu yang riil bukan saja bersifat rasional-idealis seperti yang ditawarkan Plato, tetapi juga sesuatu yang bersifat indrawi.[7] Dalam puisinya Muhammad Muhammad Iqbal menulis sebagai berikut:

Filsafat Plato tiada berguna

Filsafat Plato mencanangkan ketiadaan yang ada

Tiada tergugah untuk upaya

Jiwa terpukau oleh yang serba tiada

Ia tidak percaya pada alam bendawi

Dan menobatkan diri sebagai Pencipta

Idea dari dunia maya

Betapa nyaman dunia yang sarat dengan fenomena hidup

Bagi semangat yang menggejolak-menggelora

Dan betapa menyita dunia cita bagi jiwa yang mati

Berpantang dari yang nyaman

Hanya mendorong kepada pelarian

Karena tak mampu menantang badai dunia gempita

Dan insan teracuni kemabukannya sendiri

Terhuyung-huyung dan loyo

Tiada sedikitpun tergerak untuk bertindak[8]

Puisi di atas mendeskripsikan bahwa kehidupan prustrasi dan putus asa merupakan tindakan meniadakan atau menghilangkan ego. Kebebasan berkehendak dan berbuat terbatas dalam lingkup kediriannya yang sejati merupakan watak dan intensitas aktivitas ego manusia. Artinya, bahwa tujuan ego adalah bagaimana memupuk keaslian dan kekhususan diri agar dapat mencapai kesempurnaan. Hanya manusialah yang dapat mencapai individualitas yang lebih bermakna, kaya, penuh dan sempurna dengan tingkat kedirian yang tertinggi. Hal ini ditegaskannya pula dalam puisinya sebagai berikut:

Segala sesuatu dipenuhi luapan untuk menyatakan diri

Setiap atom merupakan tunas kebesaran

Hidup tanpa gejolak meramalkan kematian

Dengan menyempurnakan diri

Insan mengarahkan pandang pada Tuhan

Kekuatan individualitas mengubah biji sawi setinggi gunung

Kelemahannya menciutkan gunung sekecil biji sawi

Engkaulah semata

Realitas di Alam Semesta

Selain engkau hanyalah maya belaka[9]

Puisi di atas menegaskan kemestian manusia untuk selalu berkreativitas dan berbuat untuk bangkit menuju ke arah kesempurnaan dan keutuhan hidup. Perubahan dan perbaikan adalah bukti diri yang hakiki dalam upaya menunjukkan diri. Pendek kata, manusia dan perubahan adalah identik, dan karenanya mesti digerakkan dengan memberi peluang besar bagi ego untuk menjadi dirinya yang sejati, yakni suatu kepribadian yang berdimensikan kebebasan dan kesadaran. Kebebasan dan kesadaran sebagai lambang individualitas adalah kata kunci bagi penyempurnaan kemanusiaan.

Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa kesadaran diri dan individualitas ini adalah kata kunci bagi penyempurnaan kemanusiaan. Gerak langkah sejarah manusia selalu ditentukan oleh peran ego yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kebebasan dirinya. Individualitas adalah suatu gerak maju yang menjadi saluran segala objek dan benda. Dengan memperkuat kepribadian, ego manusia dapat menguasai lingkungan dan mendekati ego Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, sehingga manusia itu pun mencapai kesempurnaannya.[10] Jadi, percepatan perubahan sejarah dalam suatu mayarakat, sangat tergantung pada kualitas anggotanya (individu) dalam memahami dan memaknai hakikat hidup yang kesemuanya itu tergantung sejauhmana ego (khudi) memanfaatkan kebebasannya dalam bereksistensi di dunia.

Teori kebebasan Muhammad Iqbal ini memestikan ia memahami hakikat manusia sebagai segenap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Apabila dirinya dapat berkembang dengan baik, maka eksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan diakui. Jika manusia tidak mengambil prakarsa dan berkeinginan untuk mengembangkan dirinya dan tidak ingin merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan mengkristal dan perlahan-perlahan akan menjadikan dirinya tereduksi kepada benda-benda mati. Muhammad Iqbal berpendapat, bahwa untuk membangun humanitas manusia diperlukan penataan sistem pendidikan yang bermuara pada pengembangan potensi diri dan akal manusia dalam memandang realitas, tidak saja yang bersifat rasional-idealis seperti yang ditawarkan Plato, tetapi juga sesuatu yang bersifat indrawi.[11] Untuk itu, pendidikan terbaik yang sesuai dengan watak manusia tentulah pendidikan yang mengaksentuasikan aktivitasnya pada pemberikan pengetahuan kepada subjek didik melalui metode problem solving, yaitu suatu cara yang efektif untuk melatih berpikir kreatif, kritis dan inovatif. Dengan cara ini menurutnya dapat membentuk cakrawala berpikir subjek didik sedemikian rupa sehingga menjadi manusia-manusia yang tanggap akan berbagai problematika kehidupannya dalam masyarakat.[12]

D. Manusia dan Dunia Pengalaman

Seperti diuraikan di atas, Muhammad Iqbal memberikan tesis bahwa being manusia bersifat individual, bukan universal dan bahkan semua being bersifat individual. Yang membedakan being manusia dari being-being yang lainnya ada pada unsur kesadaran yang dimilikinya. Kesadaran ini adalah anugerah Tuhan untuk manusia yang diambil langsung dari jiwa kepemimpinanNya. Kesadaran manusia tidak dapat dilepaskan dari dunia yang konkret yang tidak terbatas. Bahkan pikiran manusia dimulai dari aktivitasnya yang bersentuhan dengan dunia konkret.[13] Ini berarti, bahwa manusia tidak dapat mengelakkan dirinya dari dunia pengalaman. Manusia dalam menciptakan sejarahnya bergerak dan digerakkan oleh dunia pengalamannya yang bersifat konkret.

Dalam gerak perubahan ini Muhammad Iqbal membagi ego sebagai pusat suatu aktivitas dan perubahan menjadi dua macam, yaitu ego efisien dan ego apresiatif. Ego efisien adalah ego yang bersifat praktis, "yang berhubungan dengan tata lahiriah benda-benda," sedangkan ego apresiatif adalah pusat batin pengalaman kita, ego yang kita capai pada saat-saat kita sedang bersemadi. Ajaran Muhammad Iqbal menekankan, bahwa ego efisien merupakan tahapan-tahapan dalam suatu perjalanan hidup anak manusia, sedangkan ego apresiatif ini hidup dalam perlangsungan waktu yang murni di mana sifat perubahannya tanpa urutan pergantian. Hukum kehidupan dalam maknanya yang bergerak dan berubah adalah pergerakan dari wilayah ego apresiatif menuju ego efisien.

Menurut Muhammad Iqbal, pengalaman manusia dalam gerak ego jenis apresiatif ini berlangsung di dalam kurun tiga tingkatan, yaitu tingkatan materi, tingkatan hidup dan tingkatan kesadaran.

Pengalaman manusia dalam tingkatan materi

Dalam menguraikan dunia pengalaman tingkat materi Muhammad Iqbal mengkritik konsep materi di dalam materialisme dan ilmu alam tradisional yang menyatakan bahwa materi adalah "sesuatu yang bertahan dalam waktudan bergerak dalam ruang." Di dalam kritiknya ini, ia menggunakan pendapat-pendapat dari Zeno, Einstein, Ouspensky dan Whitehead. Menurut Muhammad Iqbal, adalah Einstein dengan teori relativitasnya yang memberikan kritik paling keras terhadap konsepsi materi di dalam materialisme dan ilmu alam tradisional. Menurut Einstein, materi itu adalah bukan sesuatu yang diam dengan keadaan yang berubah-ubah, melainkan adalah suatu sistem kejadian-kejadian yang saling berhubungan. Ouspensky kemudian menambahkan satu unsur yang nampaknya tidak ada di dalam teori Enstein tersebut. Dengan menambahkan "satu dimensi yang membagi-bagi peristiwa-peristiwa di dalam tata susunan ganti-berganti," Ouspensky menambahkan unsur waktu ke dalam "sistem peristiwa-peristiwa Einstein". Sayangnya, Ouspensky terjebak dengan mengatakan bahwa waktu itu sama seperti dimensi-dimensi ruangnya Euclides. Adapun pendapat Whitehead mengenai alam, yang dikatakannya sebagai "suatu struktur peristiwa-peristiwa yang memiliki sifat mengalir terus-menerus secara kreatif," nampaknya adalah yang paling dekat dengan konsepsi Muhammad Iqbal tentang alam dan materi. Di dalam istilah Whitehead, pengertian "materi" diganti seluruhnya dengan pengertian "organisme."

Menurut Muhammad Iqbal, pengembangan manusia mesti dengan memperhitungkan kondisi-kondisi fisik yang merupakan prasyarat bagi kegiatan yang dilakukannya dengan penuh kesadaran. Muhammad Iqbal menganjurkan agar memanfaatkan sumber-sumber material guna pencapaian berbagai tujuan spritual yang paling tinggi. Tegasnya, nilai-nilai spritual tidak dapat dimiliki begitu saja tanpa bersentuhan dengan dunia materi. Dunia idea dan realita bukanlah dua dimensi yang bertentangan. Pemantapan dunia ruhani menuntut kesedian menerima dunia materi. Oleh karena itu, dunia materi mestilah dijadikan bahan dalam rangka pengembangan diri.

Muhammad Muhammad Iqbal menjelaskan dalam sya`irnya seperti berikut:

Wahai Hati tangkaplah rahasia hidup pada intinya

Realita menampakkan diri dalam penampilannya

Namun ia tumbuh dari kegelapan Bumi

Sambil menggamit pancaran sinar mentari[14]

Pengalaman manusia dalam tingkatan hidup.

Di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan hidup, Muhammad Iqbal mengkritik konsep mekanisme di dalam kehidupan. Menurut Muhammad Iqbal, dengan mengikuti pendapat dari J.S. Haldane, perbedaan antara sebuah mesin dengan sebuah organisme hidup adalah bahwa yang terakhir ini bersifat memelihara dan mereproduksi diri sendiri.

Adapun proses reproduksi dan pemeliharaan diri sendiri ini tidak bisa ditafsirkan sebagai suatu proses yang bersifat mekanis. Kemudian Muhammad Iqbal dengan menggunakan pendapat Wildon Carr, juga mengatakan bahwa konsep mekanistik di dalam kehidupan, memastikan adanya pandangan bahwa intelek itu merupakan hasil suatu evolusi, tetapi justru pandangan adanya evolusi intelek itu berkontradiksi dengan pandangan mekanistik tentang kehidupan, karena "bagaimana mungkin, intelek yang merupakan alat untuk memahami realitas itu sendiri merupakan evolusi dari sesuatu yang adanya hanya sebagai hasil abstraksi dari alat untuk pemahaman yang tidak bisa lain adalah intelek itu." Lebih jauh lagi, suatu intelek yang berevolusi akan bersifat nisbi terhadap aktivitas yang mengevolusikannya, yang menurut ilmu alam tradisional bersifat mekanistik.

Pengalaman manusia di tingkat kesadaran

Di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan kesadaran, Muhammad Iqbal menemukan bahwa manusia, merasakan dan menyadari hidupnya ada di dalam waktu. Dalam kata-kata Bergson, "saya melalui keadaan demi keadaan, saya pun tak henti-hentinya berubah,." Oleh karena itu, sama dengan kesadaran kita, "eksistensi yang sadar berarti kehidupan di dalam waktu."

Adapun jika dikaitkan pula dengan teori perubahan yang dikemukakan oleh Jacques Lacan dengan teori cermin yang menunjukkan perubahan dalam diri manusia dengan berpolakan identifikasi dan aliensi imajiner, memperlihatkan pola analisis yang memiliki kemiripan.

Psikoanalisis yang dikembangkan Jacques Lacan pada tahun 1936 menyebutkan, bahwa tahap awal perubahan manusia terlihat sebagai tahap cermin (miror stage) yang memberi konstribusi pada teori psikoanalisis dengan konsep register imajiner. Teori perubahan dalam konteks ini mengaksentuasikan proses perubahan manusia melalui identifikasi atas bayangan dirinya sendiri sebagai orang lain, sehingga seorang anak dalam tahap ini menempatkan bayangan dirinya pada orang lain dan orang lain sebagai dirinya.[15]

Ego dalam menciptakan perubahan dirinya dengan pergerakan wilayah imajiner[16] ke wilyah simbolik sebagai register,[17] ditempatkan oleh Jacques Lacan sebagai pola seseorang dalam menciptakan ikatan sosial atau keterkaitan simbolik yang dapat mengatasi karakteristik erotik-agresif dalam hubungan ego dengan ego pada register imajiner.

Oleh ego yang efisien, keadaan-keadaan yang melintasi kesadaran kita dipotong-potong, sehingga waktu yang kita rasakan dengan ego ini adalah waktu serial, yaitu waktu yang terpotong-potong, yang sering kita ekspresikan dengan kata-kata "lama," "sebentar," "panjang" atau "pendek." Adapun sebaliknya, ego yang apresiatif meleburkan dan menyatukan keadaan-keadaan yang melintasi kesadaran kita, sehingga waktu yang dirasakan dengan ego ini adalah waktu yang merupakan "kesatuan yang organis," yang disebut oleh Muhammad Iqbal dengan "duration (perlangsungan waktu) yang murni." Di dalam perlangsungan waktu yang murni, masa lampau "bergerak bersama dan berlangsung dalam masa kini," sedangkan masa depan hadir secara langsung "sebagai suatu kemungkinan yang terbuka."

Setiap saat di dalam kehidupan realitas adalah asli dan baru. Berada di dalam "duration" yang murni, tidaklah berarti "diikat oleh rantai waktu yang berurutan, melainkan menciptakannya dari ”saat ke saat”, serta merdeka dan asli sama sekali dalam penciptaan."

Sama dengan pengalaman kesadaran, alam semesta adalah "merupakan suatu gerakan kreatif yang merdeka." Apa yang dinamakan sebagai "benda-benda adalah kejadian-kejadian dalam kelanjutan alam." Alam semesta yang seolah-olah merupakan sekumpulan benda-benda, sebenarnya adalah suatu kegiatan.

Walaupun Muhammad Iqbal di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan kesadaran ini sedikit banyaknya menggunakan pendapat dari Hendri Bergson, tetapi ia juga mengkritik beberapa pendapat dari Bergson. Salah satu kritiknya yang penting adalah terhadap penyangkalan Bergson atas sifat teleologis dari realitas. Penyangkalan Bergson tersebut didasarkan atas alasan bahwa sifat teleologis akan menyebabkan waktu menjadi tidak nyata, sehingga realitas menjadi tidak kreatif dan merdeka.

Menurut Muhammad Iqbal, alasan dari penyangkalan Bergson tersebut adalah benar apabila apa yang dimaksudkan sebagai "teleologi" adalah "pelaksanaan suatu rencana dengan melihat suatu tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya." Tetapi permasalahannya adalah bahwa ada pengertian teleologi yang lain. Pengertian teleologi yang lain ini adalah gerak maju ke depan yang bersifat sadar dan kreatif. Dan ini tidak lain adalah arus dinamika manusia dalam berbuat dan berkreasi dengan dasar masa lalu dan sekarang.

Menurut Muhammad Iqbal, realitas bersifat teleologis atau bertujuan bukan dalam arti bahwa ia hanya pelaksana dari suatu tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya, tetapi "dalam arti bahwa sifatnya sangat selektif, dan menuju pada semacam pencapaian di masa-kini dengan secara aktif memelihara serta memperlengkapi masa-lalu."

Berdasarkan pembahasan Muhammad Iqbal mengenai pengalaman dalam tingkatan kesadaran ini, memperlihatkan bahwa realitas yang sebenarnya adalah suatu perlangsungan waktu yang murni, yang merupakan gerak dari pada suatu ego. Sebagai suatu ego, kodrat realitas yang bersifat rohaniah. Adapun alam, yang ditunjukkan oleh pembahasan Muhammad Iqbal mengenai pengalaman di tingkatan materi sebagai suatu struktur peristiwa-peristiwa, adalah merupakan semacam watak atau cara tata laku yang seragam dari ego tersebut. Dengan kata lain, alam adalah merupakan kegiatan kreatif dari ego tersebut.

Teori Khudi Muhammad Iqbal ini, membawa dirinya berkesimpulan bahwa "Realitas yang terakhir" adalah suatu Ego kreatif yang terarah secara rasional. Adapun untuk menekankan individualitas dari pada Ego kreatif tersebut, Al-Qur'an menyebutnya dengan nama "Allah."[18]

Lantas, bagaimana Muhammad Iqbal sampai kepada suatu konsep, bahwa manusia dapat mencapai Tuhannya lewat pengalaman? Muhammad Iqbal mencapai konsepsinya yang terakhir mengenai Tuhan melalui penelitian dan penafsiran atas pengalaman manusia.

Menurut Muhammad Iqbal, Al-Qur'an telah memberikan petunjuk bahwa pengalaman merupakan perlambang dari suatu realitas yang digambarkan sebagai "Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Terlihat dan Yang Tak Terlihat." Adapun Filsafat Muhammad Iqbal Tentang Tuhan. Di atas tadi telah dijelaskan dengan ringkas mengenai konsepsi Muhammad Iqbal tentang Tuhan secara umum, dan bagaimana ia bisa mencapai konsep tersebut melalui suatu analisa terhadap pengalaman manusia.

Isu penting berkenaan dengan Tuhan ini, Muhammad Iqbal membahas persoalan (1). Individualitas Tuhan; (2). Kreativitas Tuhan; (3). Kekekalan Tuhan; (4). Pengetahuan Tuhan, dan (5). Keakbaran Tuhan.

Dalam hubungannya dengan individualitas Tuhan, Muhammad Iqbal membahas dua hal yang berhubungan dengan konsep "individualitas" secara umum, yaitu reproduksi dan keterbatasan. Mengenai yang pertama, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa suatu individualitas yang sempurna tidak mungkin berproduksi atau dalam kata-kata Bergson, "meletakkan lawannya dalam dirinya sendiri,"karena hal itu akan berkontradiksi dengan sifat-Nya sendiri sebagai suatu individualitas yang sempurna, yaitu "tertutup sebagai suatu ego, khas dan unik." Oleh karena itu Ego yang sempurna" harus dilukiskan sebagai sesuatu yang berada di atas pengaruh antagonisme reproduksi."

Adapun mengenai hal yang kedua, Muhammad Iqbal mengkritik pandangan umum yang mengatakan bahwa suatu individualitas bersifat terbatas dalam hubungannya dengan individualitas yang lain. Pandangan seperti ini, menurut Muhammad Iqbal, muncul karena ketidakterbatasan dibayangkan secara ruang dan waktu. Padahal ketidakterbatasan secara ruang dan waktu itu tidak pernah ada, karena ruang dan waktu itu sendiri bersifat tidak mutlak, dalam artian bahwa ruang dan waktu—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya—adalah merupakan suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti. Oleh karena itu Muhammad Iqbal kemudian berkesimpulan bahwa Tuhan sebagai suatu individualitas bersifat tak terbatas, tetapi tidak secara ruang dan waktu, melainkan ketidakterbatasan-Nya itu terletak pada kemungkinan-kemungkinan batin dari aktivitas kreatif-Nya. Adapun ruang dan waktu adalah merupakan kemungkinan-kemungkinan dari Tuhan.

Mengenai kreativitas Tuhan, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan tidaklah seperti kegiatan mencipta dari sebuah pabrik, yang mana bersifat menghasilkan "sesuatu" dari "sesuatu yang lain," dan kemudian hasil penciptaan itu berdiri secara independen dari penciptanya. Adapun kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan itu adalah secara terus menerus, tidak pernah berhenti, karena keberadaan alam—yang sebenarnya adalah suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti—itu tergantung dari kegiatan penciptaan Tuhan. Di dalam paham teologi Asy'ari dinyatakan bahwa kelanjutan adanya suatu atom itu tergantung dari penciptaan aksiden-aksiden secara terus menerus di dalam atom tersebut.

Walaupun Muhammad Iqbal membenarkan beberapa hal di dalam paham teologi Asy'ari mengenai masalah penciptaan atom ini, tetapi ia mengubah atomisme Asy'ari menjadi suatu paham pluralisme rohaniah. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk atom, sebenarnya adalah suatu ego dan segala macam ego yang ada adalah merupakan pewedaran diri dari Tuhan.

Mengenai masalah kekekalan Tuhan, Muhammad Iqbal membahasnya di dalam kaitannya dengan waktu. Muhammad Iqbal mengkritik para pemikir yang mencoba untuk memahami waktu dengan menggunakan suatu metode yang obyektif, karena metode ini hanya dapat menangkap waktu yang bersifat serial dan terpotong-potong. Ia kemudian mencoba untuk memahami waktu melalui suatu analisa psikologi. Melalui analisa ini—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya—, Muhammad Iqbal mendapatkan dua macam waktu, yaitu waktu serial dan perlangsungan waktu yang murni, yang masing-masing dipahami oleh ego yang efisien dan ego yang apresiatif. Ego yang apresiatif hidup di dalam perlangsungan waktu yang murni dan merupakan suatu "perubahan tanpa urutan ganti-berganti." Apabila kita menganalogikan kehidupan Tuhan berdasarkan kehidupan ego terbatas, maka "waktu dan Ego Terakhirpun akan nampak sebagai perubahan tanpa urutan ganti-berganti." Inilah yang disebut dengan kekekalan Tuhan, yaitu kehidupan-Nya yang merupakan "perubahan tanpa urutan ganti-berganti," kehidupan-Nya di dalam perlangsungan waktu yang murni.

4. Manusia dan Prinsip Ketauhidan

Pandangan paling fundamental tentang hubungan manusia, alam dan Tuhan dalam Islam adalah prinsip ketauhidan yang memberikan isyarat kebermaknaan penyatuan dan keselarasan hubungan di antara semua unsur yang ada. Mengenai pengetahuan Tuhan, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan bukanlah merupakan pengetahuan yang diskursif, di mana pengetahuanadalah "suatu proses temporal yang bergerak disekeliling sesuatu 'yang
lain', yang dianggap ada secara per se dan berhadap-hadapan dengan ego yang mengetahui." Pengetahuan Tuhan juga bukanlah seperti yang digambarkan oleh Djalaluddin Dawani, Iraqi dan Prof. Royce, di mana pengetahuan Tuhan adalah "suatu tindak mempersepsikan yang tunggal dantak terbagi-bagi, yang membuat Tuhan dengan secara langsung tahu mengenai semesta sejarah." Pengetahuan Tuhan, menurut Muhammad Iqbal, adalah suatu bentuk pengetahuan yang aktif, di mana obyek pengetahuan bukanlah merupakan sesuatu yang terpisah dan menjadi sumber pengetahuan bagi subyek, melainkan sesuatu yang berasal dan tercipta dari pengetahuan
subyek. Pengetahuan-Nya adalah "suatu kegiatan yang didalamnya mengetahui dan mencipta adalah satu. Mengenai keakbaran Tuhan, Muhammad Iqbal menyatakan bahwa kemahakuasaan Tuhan itu berhubungan erat dengan kebijaksanaan-Nya. Kemahakuasaan Tuhan, menurut Muhammad Iqbal tidak merupakan suatu kekuasaan yang buta dan serampangan, tetapi justru "menampakkan diri dalam hal-hal yang teratur, yang baru dan tersusun." Dengan demikian, kekuasaan dan iradah Tuhan itu bersifat baik. Tetapi timbul permasalahan di sini. Apabila kekuasaan Tuhan itu bersifat baik, mengapa kejahatan itu adalah sesuatu yang nyata adanya di dunia ini? Muhammad Iqbal menjawab hal ini dengan menghubungkannya kepada konsep kebebasan memilih dari manusia.

Menurut Muhammad Iqbal, Tuhan menganugerahkan kemerdekaan untuk memilih kepada manusia, sehingga manusia bisa memilih apa yang "baik" dan apa yang "sebaliknya dari baik." Pilihan manusia terhadap sesuatu yang "sebaliknya dari baik" itulah yang dinamakan "kejahatan." Konsep "kebaikan" dan "kejahatan" itu sendiri nampaknya hanya berlaku pada manusia. Kedua konsep tersebut bukanlah sesuatu yang terpisah satu sama lain, tetapi terletak di dalam keseluruhan yang sama, dan harus dipahami di dalam hubungan satu sama lain. Adapun di dalam Al-Qur'an, menurut Muhammad Iqbal, terdapat suatu meliorisme, "yang mengakui adanya suatu alam semesta yang tumbuh, dan dijiwai oleh harapan bahwa pada akhirnya manusia akan mengalahkan kejahatan. Pendeknya, Tuhan mengajari dan menunjuki manusia lewat kebebasan.

E. Pendidikan berwawasan Perubahan Masyarakat

Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa tujuan pendidikan adalah mampu membangun dunia bagi masyarakat dengan menggunakan kemampuan akal, indra dan intuisi. Oleh karena itu ketiga aspek ini mesti tertuang dalam kurikulum pendidikan itu. Pendidikan harus menjadikan subjek didiknya mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya sebagai wahana bagi perealisasian nilai-nilai spritual.[19] Pendidikan menurutnya mesti mampu memandang situasi aktual dengan tidak melihat manusia secara sebahagian-bagian. Pendidikan baru harus mampu menjadikan ilmu-ilmu pengetahuan sebagai wahana bagi realisasi nilai-nilai spritual. Untuk itu perlu adanya upaya integrasi intelektual dan cinta, sebab hidup bukanlah rutinitas, tetapi seni yang kreatif, konstruktif dan inovatif.

Muhammad Iqbal dalam hal ini mengungkapkan, bahwa pendidikan terbaik yang sesuai dengan watak manusia adalah pendidikan yang mengaksentuasikan aktivitasnya pada pemberikan pengetahuan kepada subjek didik melalui metode problem solving, yakni suatu cara yang efektif untuk melatih berpikir kreatif, kritis dan inovatif. Dengan cara ini menurutnya dapat membentuk cakrawala berpikir subjek didik sedemikian rupa sehingga menjadi manusia-manusia yang tanggap akan berbagai problematika kehidupannya dalam masyarakat.[20]

Untuk menentukan jenis dan corak pendidikan sangat tergantung pada cara pandang seseorang atau sekelompok orang tentang watak sejarah yang dapat melahirkan perkembangan dan kemajuan individu dan masyarakat ke arah kesempurnaan. Muhammad Iqbal dalam hal ini memandang bahwa sejarah adalah watak kehidupan yang dapat mengungkap kembali serta merekonstruksi pengalaman masa lalu untuk menemukan pola dan strategi baru dalam mengadakan perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan dalam diri individu ataupun sosial. Dalam hal ini Muhammad Iqbal mengungkap dengan sya`irnya seperti berikut:

Apakah gerangan sejarah itu

Wahai kelana, yang asing bagi dirinya sendiri

Bukan sekedar kisah, bukan cerita ataupun fabel

Sejarah itu mampu menggugah kesadaran pada dirimu

Tangkas dalam bertindak, cermat dalam melacak

Sejarah itu mampu mempertajam tilikan

Laksana mengasah pedang pada gurinda

Dan kemudian mengujimu di kancah wajah duniamu

Pandanglah dengan tajam

Kilatan sinar dalam apinya terpendam

Tantanglah hari esok

Yang hari itu tergolek

Kilatan sjarah penaka bintang

Penunjuk arah ke masa Bangsa gemilang

Menerangi malam ini dan malam-malam masa silam

Mata yang terbiasa menatap kemilau masa lampau

Niscaya bisa menciptakannya kembali di masa kini

Gumulilah sejarah dan tumbuhkembangkanlah dengan tabah

Galilah kehidupan dari detik-detik yang telah lalu

Hari ini lahir di pangkuan hari kemaren

Hari ini menonggak hari esok

Bila engkau ingin meraih kehidupan nan abadi

Jangan putuskan pautan dulu, kini dan kelak

Hidup adalah menangkap gelombang zaman

Yang terus beriak dan bergerak

Bagaikan anggur yang membuih meruah

Dalam gelas si haus melimpah[21]

Mengingat tujuan pendidikan mestilah pula diorientasikan untuk membangun dunia bagi masyarakat dengan menggunakan kemampuan akal, indra dan intuisi. Ketiga aspek ini mesti tertuang dalam kurikulum pendidikan. Hal ini menjadi penting mengingat ilmu pengetahuan yang diperoleh subjek didik di lembaga pendidikan adalah sebagai wahana bagi perealisasian nilai-nilai spritual. Untuk itu perlu adanya upaya integrasi intelektual dan cinta sedemikian ruga agar pencarian ilmu pengetahuan benar-benar dilakukan dengan penuh kesadaran dan kenikmatan, sebab hidup bukanlah rutinitas, tetapi seni yang kreatif, konstruktif dan inovatif.

Muhammad Iqbal dalam hal ini percaya, bahwa gagasan semata tidak akan memberikan pengaruh apa-apa bagi gerak maju kesempurnaan manusia. Suatu gagasan memerlukan penjabaran ke dalam bentuk tindakan nyata, karena memang amal perbuatanlah yang akan membentuk kualitas kemanusiaan. Muhammad Iqbal menegaskan, bahwa hidup sesungguhnya adalah melakukan segala sesuatu yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Islam dalam hal ini memiliki aturan-aturan yang disusun sedemikian rupa, sehingga individu dan masyarakat mana pun yang melaksanakannya akan dapat memperoleh kemajuan yang paling besar dalam kehidupannya menuju pada kesempurnaan.manusia.[22]

Hal yang sama juga diungkapkan oleh John Dewey yang mengungkapkan bahwa ide-ide dan gagasan-gagasan mestilah sesuatu yang dapat diterapkan dalam tindakan-tindakan yang berguna bagi pemecahan berbagai problema yang muncul dalam masyarakat.[23]

Menurut Muhammad Iqbal untuk menciptakan masyarakat baru melalui rekostruksi pendidikan mesti dengan memberikan kesadaran kokoh untuk menanamkan pemahaman bagi pemuda akan pentingnya kecerdasan guna merebut kepentingan individu, melalui prinsip idealisme dan spritualisme.[24] Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa kesadaran diri dan individualitas merupakan kata kunci bagi penyempurnaan kemanusiaan.

Gerak sejarah manusia selalu ditentukan oleh peran ego yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kebebasan dirinya. Individualitas adalah suatu gerak maju yang menjadi saluran segala objek dan benda. Dengan memperkuat kepribadian, ego manusia dapat menguasai lingkungan dan mendekati ego Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, sehingga manusia itu pun mencapai kesempurnaannya.[25] Jadi, perubahan sejarah, sangat tergantung pada kualitas individu dalam memahami dan memaknai hakikat hidup. Kondisi ini dalam banyak varian sangat tergantung pada proses pemanusiaan yang diselenggarakan secara efektif dan efisien memang memacu penciptaan sejarah dalam ragam situasi masyarakat.

Penutup

Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa filsafat khudi Muhammad Iqbal menggambarkan pembentukan jati diri manusia dalam konteks dunia pengalaman manusia. Muhammad Iqbal menekankan, bahwa setiap manusia adalah pribadi yang berdiri sendiri yang membutuhkan pengaktualisasiannya sendiri agar dapat menjadi kepribadian yang sempurna dan utama. Kepribadian yang sempurna bermuara pada penciptaan sifat-sifat Tuhan ke dalam ego yang sejati. Diskursusnya tentang pengalaman indrawi, rasional dan intuisi adalah pengalaman riil ego dalam merealisasikan dirinya di dunia dalam kerangka penciptaan dunia baru yang lebih baik dari sebelumnya meniscayakan menataan pendidikan berwawasan masa depan dengan mempertimbangkan masa lalu dan melihat masa sekarang.

---------

DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, Dr. Wahid ”Unsur-Unsur Eksistensialis dalam Pemikiran Muhammad Iqbal” dalam al-Hikmah Jurnal Pencerahan Pemikiran Islam, Bandung, Maret – Juni 1990

Beilharz, Peter., Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Terj. Sigit Jatmiko, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Cantwell Smith, Wilfred., Modern Islam in India; A Social Analysis, London: Victor Gollancz, 1946.

Capleston, Frederick S.J., A History of Philosophy, Paulist Press, New Jersey, Vol. VIII, 1966.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994

Edwards, Paul (ed), The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing Co., Inc., New York, Vol. 5 & 6, 1967.

Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 2, Bandung: Mizan, 2002.

Iqbal, Muhammad The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Jakarta: Tinta Mas, 1966

.........., Asrar-i Khudi, Terj. Bahrum Rangkuti, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.

.

May, Lini S., Iqbal His Life and Time, Lahore: Ashraf Press, 1974

Muhmidayeli, ”Moralitas Kependidikan....” dalam al-Fikra Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5 No. 1 Jan-Juni 2006

Muthahhari, Murtadha Masyarakat dan Sejarah; Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, Terj. M. Hashem, Cet. III, Bandung: Mizan, 1992,

Saiyidin, K.G. B.A., M.Ed, Percikikan Muhammad Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, terjemahan M.I. Soelaeman, Bandung: Diponegoro, 1981.




[1] Dalam konteks inilah dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan dan kemajuan-kemajuan dalam masyarakat meniscayakan penataan dunia pendidikan sekolah yang bernuansakan progresivitas humanitas, baik dalam hubungannya dengan masyarakat, alam realitas lainnya maupun Tuhan sebagai realitas tertinggi dan abadi. Lihat lebih lanjut Muhmidayeli, ”Moralitas Kependidikan....” dalam al-Fikra Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5 No. 1 Jan-Juni 2006, h. 1-2.

[2]Disadur dari dua buah sumber utama, yaitu buku yang ditulis oleh Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) dan buku karya John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 2, (Bandung: Mizan, 2002). Dua buku ini penulis anggap cukup refresentatif untuk menggambarkan sosok Muhammad Muhammad Iqbal dalam konteks sejarah pemikiran dan konteks sosio-kultural tempat di mana ia dibesarkan yang diperkirakan turut mempengaruhi model berpikir dan cara pandangnya dalam memandang realitas. Dapat dilihat pada Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India; A Social Analysis, (London: Victor Gollancz, 1946) p. 101.

[3] LIni S. May, Iqbal His Life and Time (Lahore: Ashraf Press, 1974), p. 61

[4] Dikutip dari Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah; Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, Terj. M. Hashem, Cet. III, Mizan, Bandung, 1992, h. 101.

[5] Sajak Muhammad Iqbal yang dikutip dari tulisan Dr. Wahid Akhtar, ”Unsur-Unsur Eksistensialis dalam Pemikiran Muhammad Iqbal” dalam al-Hikmah Jurnal Pencerahan Pemikiran Islam, Bandung, Maret – Juni 1990

[6] Muhammad Muhammad Iqbal tidak sepakat dengan pemikiran Plato dan idealisme pada umumnya yang menganggap bahwa ego manusia hanyalah bayangan jiwanya yang merupakan bagian dari Jiwa Yang Abadi, sehingga ego manusia senantiasa berjuang untuk dapat bersatu padu dengan induknya. Bagi Igbal, pandangan semacam ini tidak dapat dijadikan cita moral dan agama. Baginya, tujuan ego selalu berjuang untuk mewujudukan dan mengaktualisasikan dirinya dalam realitasnya, sehingga menjadi kepribadian yang mantap dan kukuh sebagai manusia. Dapat dilihat dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Tinta Mas, Jakarta, 1966, h. 4

[7] Muhammad Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi, Terj. Bahrum Rangkuti, Bulan Bintang, Jakarta, t.t., h. 119.

[8] Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi, 35-36 yang dikutip dari K.G. Saiyidin, B.A., M.Ed, Percikikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, terjemahan M.I. Soelaeman, (Bandung: Diponegoro, 1981), p. 29.

[9] Puisi Muhammad Iqbal yang diambil dari catatan K.G. Saiyidin, B.A., M.Ed, Percikikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, terjemahan M.I. Soelaeman, Diponegoro, Bandung, 1981, h. 26.

[10] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Tinta Mas, Jakarta, 1966, h. xx

[11] Muhammad Iqbal, Asrar I Khudi, Terj. Bahrum Rangkuti, Bulan Bintang, Jakarta, t.t., h. 119.

[12] Lihat Ibid., h. 145.

[13] Ibid., h. 131

[14] Muhammad Muhammad Iqbal seperti dikutip K.G.Saiyidain dari ”Payam-i-Masyriq”, Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan, , Terj. M.I. Soelaeman, Diponegoro, Bandung, 1981, h. 64

[15] Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Terj. Sigit Jatmiko, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 247-248.

[16] Wilayah imajiner yang dimaksudkannya di sini adalah bahwa seseorang dalam melakukan perubahan bergerak berdasarkan suatu imaji yang merupakan bayangan terhadap dirinya.

[17] Wilayah simbolik sebagai register yang dimaksudkan di sini aalah suatu bentuk pola yang mengkombinasikan antara konsep linguistik tentang ujaran dengan dealektika tuan-hamba yang dikembangkan oleh Hegel.

[18] Konsepsi Muhammad Iqbal tentang Tuhan ini, begitu pula dengan filsafatnya secara keseluruhan, menurut M.M. Syarif, dapat dibagi menjadi tiga periode. Pada periode yang pertama, yang berlangsung dari tahun 1901 sampai kira-kira tahun 1908, Tuhan diyakini oleh Muhammad Iqbal sebagai suatu "Keindahan Abadi, yang ada tanpa tergantung pada dan mendahului segala sesuatu, dankarena itu menampakkan diri dalam semuanya itu." Tuhan juga adalah penyebab gerak segala sesuatu. Adapun seluruh kemaujudan (eksistensi) selain Tuhan bersifat fana. Pada periode yang kedua, yang berlangsung kira-kira dari tahun 1908 sampai 1920, konsepsinya mengenai Tuhan dibimbing oleh filsafatnya tentang pribadi (philosophy of the self). Tuhan adalah "Pribadi Mutlak, Ego Tertinggi," suatu Kemauan Abadi yang Esa. Keindahan pada periode ini direduksi menjadi suatu sifat Tuhan. Kemudian ia menyatakan bahwa Tuhan tidak menyatakan dirinya di dalam dunia yang terinderai, melainkan di dalam pribadi terbatas—hal ini mungkin merupakan implikasi dari pada konsepsinya tentang dunia yang terinderai, yang dikatakannya sebagai ciptaan dari pribadi terbatas, bentukan dari hasrat-hasrat manusia. Oleh karena itu, maka usaha untuk mencari dan mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan menemukan Tuhan, seseorang tidak boleh terserap ke dalam Tuhan dan membiarkan dirinya menjadi tiada, tetapi sebaliknya ia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya. Periode yang ketiga, yang berlangsung kira-kira dari tahun 1920 sampai dengan meninggalnya Muhammad Iqbal pada tahun 1938, merupakan masa kematangan dari pemikiran Muhammad Iqbal. Konsepsi Tuhan sebagai suatu pribadi masih menonjol, tetapi filsafat perubahannya lebih menonjol lagi. Pada periode ini, secara umum Tuhan digambarkan oleh Muhammad Iqbal sebagai suatu Ego kreatif yang terarah secara rasional.

[19] Smith Wilfred Cantwel, Op. Cit., h. 146.

[20] Lihat Ibid., h. 145.

[21] Muhammad Muhammad Iqbal seperti dikutip K.G.Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan, , Terj. M.I. Soelaeman, Diponegoro, Bandung, 1981, h. 79

[22] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Tinta Mas, Jakarta, 1966, h. 6.

[23] Lihat lebih lanjut, Paul Edwards (ed), The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing Co., Inc., New York, Vol. 5 & 6, 1967, h. 428-429. Lihat pula Frederick S.J.Capleston, A History of Philosophy, Paulist Press, New Jersey, Vol. VIII, 1966, h. 359-360.

[24] Smith Wilfred Cantwel, Modern Islam in India: A Social Analysis, Swaran Printing Press, Delhi, 1979, h. 146.

[25] Muhammad Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Op. Cit., h. xx