Minggu, 20 Desember 2009

SILABUS Filsafat Pendidikan Islam

MATA KULIAH : FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
KOMPONEN : MATA KULIAH KEILMUAN DAN KETERAMPILAN (MKK)
FAKULTAS : TARBIYAH
JURUSAN : Pendidikan Kimia
PROGRAM : S1
SEMESTER : IV
BOBOT : 2 SKS

B. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mata kuliah ini memberikan diskusinya tentang berbagai problem yang berkenaan dengan pendidikan Islam melalui pendekatan filsafat praktis guna untuk mencarikan pemecahannya secara mendalam, sistematis, logis, metodis dan komprehensif, sehingga terbentuk pengetahuan ideal tentang pendidikan Islam. Oleh karena itu, diskusi-diskusi penting dalam mata kuliah ini mencakup permasalahan tentang konsepsi manusia, pendidikan dan nilai dalam konteks Islam sebagai pemahaman awal yang akan menjadi landasan bagi pemikiran system stategi dan tehnik pendidikan yang dapat ditempuh untuk mengembangkan sumber daya manusia yang tidak lain adalah inti dari aktivitas kependidikan itu sendiri. Mata kuliah ini juga memperkenalkan aliran-aliran dalam filsafat pendidikan sebagai model berpikir filsafat dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan. Kecuali itu, karena kegiatan kependidikan dalam lembaga pendidikan bukanlah suatu badan yang berdiri sendiri, maka dalam diskusi mata kuliah ini juga dibicarakan bagaimana keterkaitan pendidikan dengan ideology politik negara yang akan tercermin dalam peraturan-peraturan dan perundang-undangan pendidikan.

C. TUJUAN

Mata kuliah ini bertujuan untuk melatih mahasiswa berpikir logis, sistematis dan mendalam tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan Islam, sehingga memiliki pemahaman yang tajam tentang dunia pendidikan Islam dan terlatih menggunakan tata pikir filsafat untuk melahirkan pemikiran yang kreatif, konstruktif dan inovatif.

D. TOPIK INTI
1. Mengenal Kawasan Filsafat Pendidikan Islam
2. Epistemologi Pendidikan Islam
3. Nilai dan Pendidikan Islam
a. Hakikat Nilai dalam Islam
b. Etika dan Pendidikan
c. Estetika dan Pendidikan
4. Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia
a. Idealisme-Rasionalistis
b. Realisme
c. Pragmatisme-Eksprimentalisme
d. Eksistensialisme
e. Islam
5. Aliran-Aliran dalam Filsafat Pendidikan
a. Progresivisme
b. Essensialisme
c. Perenialisme
d. Rekonstrusionisme

E. STRATEGI PEMBELAJARAN
1.Metode
Metode yang digunakan dalam pembelajaran mata kuliah ini adalah metode ceramah dan diskusi/dialog yang divariasikan dengan pemberian contoh dan tugas melalui model berpikir filsafat. Penekanaan penggunaan metode dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk mengembangkan pola berpikir analisis-kritis, kreatif, reflektif dan inovatif terhadap berbagai problem pendidikan.

2. Media
Untuk membantu pelaksanaan pembelajaran selain menggunakan media yang lazim digunakan di kelas, juga dengan menggunakan OHP.

F. EVALUASI
Evaluasi yang digunakan adalah tes lisan, tulisan, studi kasus.

G. REFRENSI POKOK

Muhmidayeli., Filsafat Pendidikan Islam, Aditya Medya, Yogyakarta, 2005
Muhmidayeli., Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia., Program Pas casarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P, Pekanbaru, 2007
John S. Brubacher, Modern Philosophy of Education, Mc.Graw Hill Publishing Company, New York, 1978.
George F. Kneller, Introduction To The Philosophy of Education, John Wiley & Sons, Inc, New York, 1971.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992.
Al-Syaibany, Omar Muhammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
`Ali Khalil Abu al-`Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1980
Abdul Rahman Shalih, Educational Theory; A Qur`anic Outlook, Ummul Qura` University, Makkah, 1982.
Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Al-fabeta, Bandung, 2003.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta, 1990.
Imam Barnadib, Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Direkto0rat Perguruan Tinggi, Jakarta, 1988.
Titus, H. Hornorld, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, Terj. Rasyidi, Bulan Bintang

REFRENSI PENUNJANG
Muhmidayeli, Pemikiran Etika Ibn Miskawaih dan J.J. Rousseau,
Sir Thomson Gudfrey, A Modern Philosophy of Education, George Allen  Unwin, London, 1975.
Kingsley Price, Education and Philosophical Thought
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, IKIP Yogyakarta, Yogyakarta, 1985.
Muhammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1986.
Hasan bin `Ali al-Hijaziy, Manhaj Tarbiyah Ibn Qayyum, edisi terjemahan, Pustaka, Bandung, 2001.
Zulkarnaini, Filasafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.
Richard Pratte, Contemporary Theories of Education, Educational Publishers, Scranton, 1971.
Sayyed Husein Nasr, Tradisional Islam in The Modern World, Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung.
………. Knowledge and The Sacred, Terj. Suharsono, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.
Mortimer J. Adler, The Conflict in Education.
----------, The Crisis in Contemporary Education.
B.Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan,, Kota Kembang, Yogyakarta, 1993.
Arthur K. Ellis dkk., Introduction To The Foundations of Education, Prentice Hall, New Jersey, 1986.
Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, Mac Millan Publishing, Co. Inc., New York, 1974.
Theodore Bramel, Philophies of Education in Cultural Perspektive, HO. It Renehart and Wiston, 1955.
Jamaludin dkk., Filsafat Pendidikan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.
Muhammad Iqbal, Asrar I Khudi, Terj. Bahrum Rangkuti, Bulan Bintang, Jakarta, t.t.
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Terj. Ali Audah dkk., Tinta Mas, Jakarta, 1966.
John Dewey, Budaya dan Kebebasan, Terj. A.Rahman Zainuddin, Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Steven M. Chan (ed), New Studies in The Philosophy of John Dewey, The University Press of New England, New Hamesphire, 1977.
Sidney Hook, Sosok Filsuf Humanis Demokrat dalam Tradisi Pragmatisme, Terj. I. Gatot dan Avi Mahaningtyas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.

Rabu, 09 Desember 2009

Pendidikan Islam era Global

PENDIDIKAN ISLAM DI DUNIA GLOBAL; SEBUAH TELAAH EPISTEMIK TERHADAP MORALITAS KEPENDIDIKAN

Oleh: Muhmidayeli*
E-mail: muhmidayeli@yahoo.co.id

Abstrak
Pendidikan Islam sebagai wadah perubahan dan kebaikan dapat dikatakan sebagai sarana rekayasa individual dan sosial ke arah pembangunan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, maka penyesuaian misi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat merupakan suatu kemestian. Era globalisasi yang berdampak pada benturan budaya dan agama tentu mesti direspon dengan gerak upaya pendidikan sehingga pendidikan benar-benar dapat menjadi wadah rekayasa dan perubahan sosial kemasyarakatan sesuai dengan ruh Islam itu sendiri..
Iman sebagai implementasi praktis dari jiwa ketauhidan dalam Islam meniscayakan adanya rencana aksi kependidikan yang tidak hanya bergerak pada upaya metodologis-aplikatif akan pentransferan berbagai ilmu pengetahuan dan pembentukan skill an sich, tetapi juga pada upaya pentransferan nilai-nilai moral ke-Ilahi-an yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah Nabi Muhamad SAW.
Moralitas kependidikan Islam yang berdimensikan nilai-nilai ke-Ilahi-an sebagai wujud dari jiwa ketauhidan ini, secara kategoris akan menjelmakan manusia-manusia yang kuat dalam iman, ilmu dan amal sebagai lambang jiwa produktivitas manusia yang dapat menopang dinamika kehidupan alam global. Moralitas kependidikan Islam ini mesti ditata dalam konteks pembentukan kepribadian yang cerdas, tangkas dan penuh dedikasi mencari kebenaran Islami agar semangat pengembangan intelektual terarah untuk menjadikan dirinya sebagai insan muttaqin.

Kata Kunci
Pendidikan Islam, globalisasi, epistemologi pendidikan, moralitas pendidikkan

A. Pendahuluan
Firman Allah SWT dalam al-Qur`an surah al-Nahl ayat 78 memberi petunjuk pentingnya proses panjang untuk mengisi kemanusiaan. Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa manusia tidak akan dapat menjadi manusia utuh yang memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemudahan kehidupannya, jika ia belum mampu memaksimalkan fungsi instrumen-instrumen jasmani dan ruhaninya. Hanya dengan cara demikian seseorang menjadi lebih baik dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan sebagai lambang bagi dirinya. Hal yang sedemikian itu memerlukan pengkondisian yang terarah dan tertata rapi, sehingga dua potensi manusia itu dapat berkembang dan terbina untuk melahirkan berbagai pengetahuan yang akan membentuk pemikirannya yang selanjutnya menjadi sikap diri yang menunjuk pada jati diri manusia itu sendiri. Upaya pengaturan kondisi inilah yang menjadi karakter utama pendidikan Islam.
Untuk membangun pendidikan Islam seperti ini menjadikan pengupayaaan pembinaan kesadaran subjek-subjek didik ini dapat dilakukan melalui pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan moral melalui pendidikan dan pembinaan pada pembuatan putusan moral melalui pertimbangan-pertimbangan rasional. Hal ini sangat penting, terutama mengingat kesadaran manusia atas sesuatu selalu berhubungan dengan dapat tidaknya rasio mereka mencerna dan menerima sebuah ajaran sebagai sebuah keyakinan ontologis yang mesti diaktualisasikan dalam tindakan senyatanya.
Era globalisasi yang sarat dengan dinamika kehidupan yang begitu cepat secara langsung atau tidak akan mempengaruhi model berpikir dan cara orang dalam mengambil sikap hidup. Hal yang paling terdepan dapat membentuk pola itu, adalah peran dan pola pendidikan yang berlangsung. Pendidikan Islam dengan jiwa pembangunan humanitas yang ditawarkan pada hakikatnya akan mampu menjadikan kepribadian yang kokoh dan tangguh dalam membuat keputusan humanitas. Hal ini tidak saja pola dan corak yang dibangun atas nilai moral sebagai bagian utama kemanusian, tetapi juga pemahaman moralitas sebagai ekspresi nilai-nilai ketauhidan yang tampil dalam wujud prilaku paripuna kemanusiaan. Jika ini ditata dan dikembangkan dalam konteks kekinian, maka pendidikan Islam akan menjadi tumpuan harapan penyelamatan jiwa kemanusiaan yang mungkin kosong akibat kebingungan dan kehampaan nilai yang muncul akibat gaya hidup yang ditawarkan dalam konteks gl;obalisasi saat ini.
Tulisan ini mencoba menelaah secara epistemik moralitas kependidikan Islam guna menjawab kebutuhan masyarakat global yang cenderung mengabaikan persoalan yang bernuansakan etis, baik yang esoterik.maupun yang eksoterik.

B. Pendidikan Islam sebagai Rekayasa Masyarakat Moralis
Esensi pendidikan dalam usaha persekolahan tidak lain adalah pengupayaan perubahan ke arah yang lebih “baik”, sehingga jika tanpa ada perubahan dan kebaikan yang mengarah pada pengembangan, menurut tujuan–tujuan yang telah ditetapkan, sama artinya proses kependidikan yang berlangsung tanpa makna dan nilai. Esensinya yang sedemikian, meniscayakan pendidikan berorientasi pada masa depan, bukan masa sekarang, dan atau hanya sekedar pelestarian nilai-nilai semata.
Sebagai wadah perubahan dan kebaikan yang bermuatan pengembangan tentunya pendidikan persekolahan dapat dikatakan sebagai sarana rekayasa individual dan sosial, pengembangan kemanusian ke arah pembangunan kehidupan masyarakat yang lebih baik yang menjadi lambang bagi entitasnya. Oleh karena itu, maka penyesuaian misi pendidikan Islam dengan kebutuhan masyarakat yang terlibat di dalam aktivitasnya merupakan suatu kemestian. Tanpa itu, maka apa yang dilakukan dunia pendidikan tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan masyarakat itu sendiri dan ini berarti upaya pendidikan menjadi sia-sia dan atau tanpa makna, yang pada gilirannya akan dapat menghilangkan fungsi utama sekolah seperti diungkap di atas. Di sinilah letak pentingnya sekolah mesti mengikutkan misi pengembangan dan pembangunan masyarakat, sehingga sekolah mesti benar-benar dapat menjadi wadah rekayasa dan perubahan sosial kemasyarakatan.
Dikatakan sebagai agen rekayasa dan perubahan sosial masyarakat, karena di sekolah terjadi suatu proses yang mana seseorang menginternalisasikan norma dan nilai yang memiliki korelasi dengan kehidupan masa depan. Proses internalisasi ini berlanjut dalam nilai dan perilaku, baik di tengah-tengah keluarga maupun dalam pergaulan. Yang paling penting di sini adalah bahwa sekolah dianggap sebagai area yang paling utama dalam proses rekayasa dan perubahan dari pada lembaga keluarga dan lingkungan. Jadi, sekolah merupakan instrumen yang paling penting dan efektif untuk percepatan pembangunan dan pengembangan suatu masyarakat. Yang lebih penting lagi adalah bahwa sistem sekolah hanya mampu menghasilkan tujuan ideal jika misi sekolah berkorelasi dengan kebijakan pemerintah yang akan menggiring masyarakat pada akselerasi pembangunan dan pengembangan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan persekolahan sebagai lembaga pembinaan dan penanaman nilai-nilai humanitas mesti memiliki korelasi yang positif dengan proses modernisasi dan transformasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendidikan merupakan sarana penting yang sangat diperlukan dalam proses perubahan sistem sosial, ekonomi dan politik.
Kemestian untuk mengikutkan pendidikan dalam program modernisasi, karena memang baik dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, pendidikan me-miliki kaitan yang signifikan dengan kualitas suatu masyarakat. Kesadaran akan eksistensi pendidikan seperti ini-lah, maka para pakar pendidikan selalu mengadakan pembaharuan-pembaharuan di bidang pendidikan agar segala aktivitas yang dilakukan di dalamnya benar-benar dapat menjawab personalan-persoalan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Jadi dapat dikatakan, bahwa lembaga pendidikan merupakan hal yang strategis untuk pengembangan suatu masyarakat ke arah yang lebih baik, sehingga tidak-lah berlebihan jika dikatakan bahwa kemajuan moderni-tas suatu bangsa dan negara ditentukan oleh kualitas pendidikan. Karena posisinya yang centre of excellence dalam membangun peradaban suatu masyarakat, maka adalah suatu kemestian untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga rekayasa masyarakat ke arah yang lebih baik.
Sekalipun sekolah sebagai lembaga rekayasa dan perubahan masyarakat, ternyata harapan tersebut belum memuaskan, boleh jadi hal ini lebih dikarenakan sekolah kurang lagi mampu menjalankan fungsionalitas internalisasi nilai-nilai kepada anak didiknya. Hal ini dikarenakan sekolah dalam konteks ini lebih terseret pada pengembangan kognisi dari pada pengembangan kreativitas yang akan dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang bernilai etis.
Diakui memang bahwa peranan pendidikan perse-kolahan seperti ini agak sedikit membawa ketegangan akan fungsi institusi sosial ini sebagai promotor perubahan social dan sebagai sarana bagi terciptanya struktur sosial. Namun bila dilakukan dengan tetap berpedoman pada kesepakatan nasional yang telah terujud dalam suatu bentuk perundang-undangan, maka dua fungsi pendidikan dan sekolah seperti diutarakan di atas justru semakin mempermudah fungsionalisasi institusi sosial ini. Kesulitan dan ketegangan akan tumbuh subur manakala pendidikan persekolahan terjebak dalam kepentingan kelompok dan sikap promordialistik.
Sebagai ujung tombak bangunan peradaban manusia, pendidikan sekolah selalu berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan pembangunan manusia dalam berbagai aspeknya. Pembangunan kualitas sumber daya manusia banyak bertumpu pada kualitas pendidikan sekolah. Persoalannya adalah bahwa dalam penyelenggaraannya tidaklah berdiri sendiri, karena ada banyak varian yang bergelayut di atasnya, baik dari subjek, maupun dari varian lain yang berada di luar dirinya. Pengendalian kesemuanya tergantung pada keikutsertaan semua pihak dalam jalinan kerjasama yang harmonis dalam menata dan membangun pendidikan persekolahan yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan percepatan perubahan dan perbaikan masyarakat ke arah yang lebih baik.

C. Moralitas sebagai Penyangga Utama Pembangunan Masyarakat Global
Moralitas adalah lambang humanitas tertinggi, karena memang ia diciptakan untuk itu. Oleh karena itu, potensi psikis berupa akal, kemauan dan perasaan agar ia mampu berkreativitas dan berimajinasi dalam kehidupannya mesti senantiasa diarahkan pada nilai-nilai moralitas yang tinggi. Kondisi fitrah manusia sedemikian ini memerlukan pemeliharaan dan pengembangan melalui penyiapan berbagai perangkat pendukung bagi lahirnya perilaku moral potensial menjadi perilaku moral aktual.
Firman Allah SWT dalam al-Qur`an surah al-Nahl ayat 78 memberi petunjuk betapa pentingnya proses panjang untuk mengisi kemanusiaan. Ayat ini memberikan pemahaman bahwa manusia tidak akan dapat menjadi manusia yang utuh memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemudahan kehidupannya, jika ia belum mampu memaksimalkan fungsi instrumen-instrumen jasmani dan ruhaninya. Hanya dengan cara demikian seseorang menjadi lebih baik dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan sebagai lambang bagi dirinya. Hal seperti ini memerlukan pengkondisian yang terarah dan tertata rapi, sehingga dua potensi manusia itu dapat berkembang dan terbina untuk melahirkan berbagai pengetahuan yang akan membentuk pemikirannya, selanjutnya menjadi sikap diri yang menunjuk pada jati diri manusia itu sendiri. Upaya pengaturan kondisi inilah yang disebut dengan pendidikan.
Pendidikan dalam hal ini dapat dilihat sebagai pengupayaan manusia sejatinya, disengaja, terarah dan tertata sedemikian rupa menuju pembentukan manusia-manusia yang ideal bagi kehidupannya, atau dengan kata lain, pendidikan tidak lain adalah segala pengupayaan yang dilakukan secara sadar dan terarah untuk menjadikan manusia sebagai manusia yang baik dan ideal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan penyediaan kondisi yang baik untuk menjadikan perilaku-perilaku potensial yang dianugerahkan kepada manusia tidak lagi sebatas kecenderung-an manusiawi an sich, tetapi benar-benar aktual dalam realita kehidupannya. Jika demikian, pendidikan adalah suatu kemestian bagi pemanusiaan manusia
Sedemikian berartinya pendidikan bagi pemanusiaan manusia, maka sudah semestinya pendidikan ditata dan dipersiapkan sebaik-baiknya sehingga cita-cita “pemanusiaan” dapat diwujudkan sejatinya. Perbaikan-perbaikan dalam kehidupan sebagai bukti nyata adanya aktivitas pendidikan akan hanya merupakan sebutan saja jika pengupayaannya tidak ditaja dengan terencana, sistematis dan terpadu.
Mengingat esensi kemanusiaan sepenuhnya berada pada yang ruhaniah, maka pengembangan kemanusiaan semestinya pulalah diarahkan pada pengembangan ruhaniah manusia yang sarat dengan moralitas. Pengembangan manusia dalam konteks jasmaniah dan material semata-mata untuk mendukung kemanusiaan yang sesungguhnya lebih berdimensikan ruhaniah.
Pendidikan adalah tugas bersama manusia dalam merealisasikan misi kemanusiaan. Oleh karena itu pendidikan mesti diatur berdasarkan hubungan intersubjektif dan interrelasional, sehingga semua komponen benar-benar berjalan secara fungsional struktural dalam kerangka yang jelas dan terarah pada peraihan tujuan-tujuan yang diinginkan. Pendeknya pendidikan adalah usaha sadar bersama yang secara fungsional struktural melaksanakan tugas-tugasnya menuju terciptanya manusia-manusia ideal, yakni manusia yang memiliki kepribadian moralis, baik fungsinya sebagai mu`abbid, khalifah fi al-ardh dan `immarah fi al-ardh.
Mengingat Islam memandang bahwa tujuan kemanusiaan sarat nilai dan moral seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, maka menfungsikan sekolah sebagai usaha aplikatif-kolektif untuk mewujudkan penumbuh-kembangan perilaku moral subjek didik hendaklah menjadi orientasi bagi setiap aktivitas kependidikannya. Jack R. Fraenkel dalam hal ini menyebutkan, bahwa pendidikan moral mesti berlangsung pada setiap waktu di sekolah, tidak saja dalam kurikulum, tetapi juga dalam interaksi keseharian di sekolah, baik antara siswa dengan guru maupun dengan staf sekolah.
Kendatipun dalam sejarah lahirnya pendidikan sekolah tidak lain adalah dalam rangka penumbuhkembangan perilaku moral, namun di era sekarang semangatnya kurang terasa atau bahkan ditinggalkan.
Robert L Ebel Mengungkapkan, bahwa beberapa penyebab ketepinggiran perhatian pendidikan sekolah terhadap penumbuhkembangan perilaku moral subjek didiknya diantaranya:
1. bahwa dalam masyarakat telah terjadi penekanan yang amat kuat terhadap kebebasan individu dari pada tanggung jawab personal,
2. lebih mementingkan hak-hak sipil dari pada kewajiban sipil
3. adanya semacam kecenderungan dalam masyarakat yang melihat perubahan dan inovasi sebagai sesuatu yang lebih baik dari tradisi dan stabilitas di dalam kehidupan.
Merujuk firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 110; “Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT.’, maka ada empat konsep penting yang dicakup di dalamnya, yaitu konsep tentang umat yang baik; aktivitas sejarah; pentingnya kesadaran; dan etika profetik. Umat dapat dikatakan sebagai umat terbaik, jika memenuhi syarat mengerjakan tiga hal yang diungkap dalam ayat, yaitu amar ma`ruf, nahi munkar dan beriman kepada Allah SWT. Dalam hal aktivitas sejarah dapat dipahami bahwa manusia bekerja di tengah-tengah ma-nusia dalam membuat sejarah. Nilai-nilai ilahiyah (amar ma`ruf, nahi munkar dan iman) menjadi tumpuan bagi aktivitas manusia dalam membentuk sejarahnya, sehingga dapat dipahami bahwa kesadaran dalam konteks Islam selalu berorientasi pada kesadaran ilahiyah yang berbeda dengan kesadaran dalam konteks lainnya. Sedemikian rupa, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia Muslim dalam melakukan setiap aktivitas kemanusiaannya akan selalu melandasinya dengan orientasi ke-Ilahi-an. Dalam konteks inilah maka banyak filsuf Muslim yang menyebutkan bahwa moralitas manusia pada dasarnya adalah perefleksian sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia yang menjadikannya sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari dirinya.
Dalam konteks Islam, iman sebagai realisasi ketauhidan manusia memiliki implikasi dan konsekuensi terhadap penegakan nilai-nilai moral yang tinggi dan mulia. Penumbuhkembangan perilaku moral manusia selalu berkenaan dengan sejauh mana ia menyadari, bahwa perilaku itu harus ia lakukan. Kesadaran dalam hal ini adalah bukti nyata dari sebuah keyakinan mendalam seseorang atas sesuatu yang dalam bahasa agama disebut dengan iman. Manusia yang menyadari bahwa dirinya, alam jagad raya dan Tuhannya merupakan tiga bagian yang tidak dapat dilupakan begitu saja dalam segala aktivitas kehidupannya, akan selalu mengorientasikan diri dan perilakunya pada keinginan Tuhannya, yakni dengan menjalankan secara ikhlas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian terlihat, bahwa manusia tauhid akan selalu mengorientasikan tindakan-tindakannya baik bagi dirinya, masyarakat maupun alam jagad raya, pada pendekatan diri dengan Penciptanya. Dalam konteks inilah, dapat dikatakan, bahwa manusia tauhid tidak akan pernah melupakan fungsi eksistensialitas dirinya sebagai mu`abbid, khalifah Allah SWT fi al-ardh dan `immarah fi al-ardh seperti telah diungkap sebelumnya.
Mengingat tauhid merupakan dasar bagi pemunculan sikap tanpa pamrih sebagai identitas yang menunjuk pada moralitas, maka pengupayaan moralitas mestilah pula diawali dengan penanaman nilai-nilai ketauhidan ini. Hanya dengan cara demikian, maka perilaku moral yang diinginkan oleh Allah SWT sebagai "personal" yang diwakili dapat ditumbuhkembangkan dengan baik.
Manusia tauhid, tidak akan pernah memiliki keinginan apalagi melakukan segala sesuatu yang berseberangan dengan keyakinan tauhid yang ia miliki. Dalam pengertian lain dapat diungkapkan, bahwa manusia tauhid adalah manusia yang dalam segala aktivitasnya selalu menampilkan perilaku moral yang didasari pada nilai-nilai ke-Illahi-an. Allah SWT, tidak hanya sebagai orientasi kehidupanya, tetapi juga sebagai "personal" yang diwakilinya di dunia ini, segala tindakannya selalu hendak mengaplikasikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya.
Kecuali hal di atas, manusia tauhid pun selalu menginginkan sesuatu yang benar dan senantiasa menegakkan kebenaran, karena memang tidak akan ada suatu keyakinan ketauhidan tanpa kebenaran. Oleh karena itu pula manusia tauhid adalah manusia-manusia yang bertanggungjawab atas setiap apa yang diucapkan dan yang dilakukannya. Sedemikian rupa sehingga setiap perilakunya selalu disandarkan kepada nama Tuhannya yang Tinggi, karena memang ilmu yang ia peroleh bersifat relatif , tidak seperti ilmu Tuhannya yang mutlak.
Implementasi praktis dalam aktivitas kependidikan, tentunya tidak hanya bergerak pada upaya metodologis-aplikatif akan pentransferan berbagai ilmu pengetahuan dan pembentukan skill an sich yang hakekatnya akan selalu berubah dan berkembang, tetapi juga pada upaya pentransferan nilai-nilai moral ke-Ilahi-an yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah Nabi Muhamad SAW. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa pendidik-an Islam secara kategoris, tidak dapat dilepaskan dari dimensi ke-Ilahi-an sebagai wujud dari ketauhidannya. Apa pun yang dilakukan Islam termasuk persoalan moral mesti selalu terkait dengan Allah SWT.
Mengingat seluruh tingkah laku manusia yang baik ataupun yang buruk yang dilakukan berdasarkan hasil pilihan bebas manusia itu sendiri selalu berkenaan dengan rasionalitas manusia itu sendiri, sedangkan rasionalitas itu selalu bersentuhan dengan kesadaran imani seseorang seperti diuraikan di atas, maka berarti di sini kesadaran merupakan starting point bagi realisasi moral manusia. Ketika ia memutuskan bahwa suatu perbuatan itu baik dan berguna bagi dirinya, maka ia pun akan memilihnya sebagai suatu perilaku yang mesti dilakukan.
Karena memang kesadaran adalah kata kunci bagi perealisasian moral dalam setiap gerak kehidupan manusia, seperti disinggung di atas, maka implikasinya dalam proses pendidikan Islam adalah bahwa setiap upaya yang dilakukan mestilah didasari pada kesadaran pendidik untuk menumbuhkan kesadaran moral pada anak didiknya agar dengan suka rela dan tanpa paksaan selalu mengarahkan perilakunya pada dimensi moral dan senantiasa atas dasar nilai moral.
Berdasarkan tesis ini pulalah, maka pendidikan Islam yang diarahkan pada pengupayaaan pembinaan kesadaran anak didik ini dapat dilakukan melalui pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan moral melalui pendidikan dan pembinaan pada pembuatan putusan moral melalui pertimbangan-pertimbangan rasional. Hal ini sangat penting, terutama mengingat kesadaran manusia atas sesuatu selalu berhubungan dengan dapat tidaknya rasio mereka mencerna dan menerima sebuah ajaran sebagai sebuah keyakinan ontologis yang mesti diaktualisasikan dalam tindakan nyata.
Pendidikan Islam yang diorientasikan pada nilai-nilai moral dan agama merupakan suatu kebutuhan dan memiliki urgensi bagi penumbuhkembangan perilaku moral senyatanya pada anak didik. Membangkitkan nilai-nilai moral sebagai motivasi dalam segala aktivitas pendidikan dalam hal ini adalah suatu kemestian. Hal ini tidak saja mengingat bahwa upaya pendidikan selalu mengarah pada perbaikan dan perubahan, tetapi lebih dari itu adalah bahwa pendidikan bersentuhan langsung dengan penumbuh-kembangan moralitas yang merupakan suatu hal yang esensial bagi humanitas manusia. Konsekuensinya dalam pengembangan kemampuan memahami suatu ilmu pengetahuan semestinya pula diiringi dengan kemampuan pengapresiasian nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dalam konteks evaluasi pembelajaran pun selain dievaluasi kemampuan memahami suatu ilmu tidak hanya diukur dari seberapa jauh kemampuan memahami dan menguasai ilmu pengetahuan tertentu, tetapi mesti juga diiringi dengan mengapresiasikan nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu tersebut dalam tindakan nyata. Tegasnya saat ini dunia pendidikan tidak lagi hanya melahirkan orang pintar yang menguasai disiplin ilmu pengetahuan, tetapi mampu melahirkan orang yang cerdas dan brilian dalam mengapresiasikan nilai-nilai moral dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya sehingga teraktualisasi ke dalam perilaku moral yang terpuji.
Sebagai subjek dan objek moral, manusia dituntut memainkan peran proaktifnya dalam rangka menumbuh-kembangkan perilaku moral dalam setiap aktivitas kehidupannya, terlebih lagi pada aktivitas pembelajaran di sekolah yang memang memiliki fungsi untuk itu. Untuk lebih meningkatkan fungsi utama sekolah seperti ini, diperlukan adanya upaya peningkatan pendidikan melalui rekonstruksi metodologis aplikatif pembelajaran dalam upaya menumbuh-kembangkan moralitas subjek didik agar ianya menjadi landasan bagi segala tindak-tanduk dan perilakunya dalam kehidupan individu dan sosial kemasyarakatan. Hal ini penting, karena ketaqwaan sebagai lambang manusia tauhid akan terjelma dalam moralitas Islam yang senantiasa ingin berbuat yang terbaik dan selalu berjuang untuk kebaikan umat manusia.

D. Watak Globalisasi Meniscayakan Penumbuhkembangan Moralitas Pendidikan Islam;
Moralitas pendidikan Islam pada prinsipnya adalah bagaimana memberikan pembinaan dan pengembangan jiwa humanitas tertinggi melalui dunia pendidikan. Oleh karena itu, potensi psikis berupa akal, kemauan dan perasaan subjek didik mesti diarahkan untuk mampu berkreativitas dan berimajinasi dalam kehidupannya dengan mengacu pada nilai-nilai moralitas yang tinggi. Kondisi fitrah manusia sedemikian memerlukan pemeliharaan dan pengembangan melalui penyiapan berbagai perangkat pendukung lahirnya perilaku moral potensial menjadi perilaku moral aktual.
Seperti disebutkan di depan, bahwa pembentukan humanitas yang sarat dengan nuansa moralitas merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar dalam membangun peradaban masyarakat. Mengingat eksistensi sekolah memiliki korelasi signifikan dengan transformasi masyarakat, seperti telah diungkap di atas, menjadikan nilai-nilai moral sebagai identitas yang tidak dapat dilepaskan dengan jati diri manusia, tentunya upaya pembinaan dan pembangunan di bidang ini mesti mendapat tempat terdepan dalam orientasi dan proses kependidikan sekolah. Hal ini akan semakin diperlukan terutama bila dihubungkan dengan fungsi sekolah yang memiliki korelasi signifiksn dengan pemenuhan kebutuhan transformasi sosial masyarakat. Bukankah orang-orang bermoral dalam Islam adalah orang-orang yang mampu menampakkan wujud sejatinya dalam realitas yang terjelma dalam ragam tindakan kemanusiaan sebagai realisasi nyata dari wujud sifat-sifat Tuhan ke dunia? Walaupun manusia tidak mungkin sampai pada jelmaan hakiki, tetapi ia punya potensi untuk menjelmakanNya dalam kategori insani.
Dapat diambil contoh, bahwa Tuhan adalah sosok yang Maha pencipta, maka tentulah Ia menyukai orang-orang yang dalam hidupkan selalu berkarya, berbuat, dan atau beramal. Ini juga berlaku bagi nilai-nilai (sifat) ketuhanan lainnya. Jika moralitas itu dibangun dalam tataran manejeral kependidikan Islam, tentulah memiliki relasi yang kuat dengan watak globalisasi yang sarat dengan percepatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tidak memudarkan nilai-nilai Islam. Bahkan subjek didik akan memiliki kepribadian yang kokoh dalam menghadapi benturan-benturan budaya dan agama yang ada.
Berdasarkan realitas inilah maka pendidikan Islam mesti mampu menjadikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diberikan senantiasa sebagai wahana realisasi nilai-nilai moral. Hal ini sangat penting artinya terutama mengingat pengembangan watak manusia dalam menghasilkan budaya selalu bergerak dari interaksinya dengan kondisi-kondisi yang mengitarinya. Kondisi edukatif yang tertata dan terprogram akan menjadi hal yang kondusif untuk membangun peradaban masyarakat ke arah yang diinginkan. Jika sekolah tidak lagi berorientasi pada penumbuhkembangan nilai-nilai moral seperti digambarkan di depan, sama halnya sekolah telah beralih fungsi dan keluar dari esensi kemanusiaan yang sarat dengan nilai-nilai moral
Dalam konteks Islam, iman sebagai realisasi ketauhidan manusia memiliki implikasi dan konsekuensi terhadap penegakan nilai-nilai moral yang tinggi dan mulia. Penumbuhkembangan perilaku moral manusia selalu berkenaaan dengan sejauh mana ia menyadari, bahwa perilaku itu harus ia lakukan. Kesadaran dalam hal ini adalah bukti nyata dari sebuah keyakinan mendalam seseorang atas sesuatu yang dalam bahasa agama disebut dengan iman. Manusia yang menyadari bahwa dirinya, alam jagad raya dan Tuhannya merupakan tiga bagian yang tidak dapat dilupakan begitu saja dalam segala aktivitas kehidupannya, akan selalu mengorientasikan diri dan perilakunya pada keinginan Tuhannya, yakni dengan menjalankan secara ikhlas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian terlihat, bahwa manusia tauhid akan selalu mengorientasikan tindakan-tindakannya baik untuk dirinya, masyarakat maupun alam jagad raya, pada pendekatan diri dengan Penciptanya. Dalam konteks inilah, dapat dikatakan, bahwa manusia tauhid tidak akan pernah melupakan fungsi eksistensialitas dirinya sebagai mu`abbid, khalifah Allah SWT fi al-ardh dan `immarah fi al-ardh seperti telah diungkap sebelumnya.
Mengingat tauhid merupakan dasar bagi pemunculan sikap tanpa pamrih sebagai identitas yang menunjuk pada moralitas, maka pengupayaan moralitas mestilah pula diawali dengan penanaman nilai-nilai ketauhidan ini. Hanya dengan cara demikian, maka perilaku moral yang diinginkan oleh Allah SWT sebagai "personal" yang diwakili dapat ditumbuhkembangkan dengan baik.
Manusia tauhid, tidak akan pernah memiliki keinginan apalagi melakukan segala sesuatu yang berseberangan dengan keyakinan tauhid yang ia miliki. Dalam pengertian lain dapat diungkapkan, bahwa manusia tauhid adalah manusia yang dalam segala aktivitasnya selalu menampilkan perilaku moral yang didasari pada nilai-nilai ke-Illahi-an. Allah SWT, tidak hanya sebagai orientasi kehidupanya, tetapi juga sebagai "personal" yang diwakilinya di dunia ini, segala tindakannya selalu hendak mengaplikasikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya.
Kecuali hal di atas, manusia tauhid pun selalu menginginkan sesuatu yang benar dan senantiasa menegakkan kebenaran, karena memang tidak akan ada suatu keyakinan ketauhidan tanpa kebenaran. Oleh karena itu pula manusia tauhid adalah manusia-manusia yang bertanggungjawab atas setiap apa yang diucapkan dan yang dilakukannya. Sedemikian rupa sehingga setiap perilakunya selalu disandarkan kepada nama Tuhannya yang Tinggi, karena memang ilmu yang ia peroleh bersifat relatif, tidak seperti ilmu Tuhannya yang mutlak. Kondisi semacam ini pun akan bergerak maju menjadikan perbedaan sebagai sebuah rahmah untuk menemukan jati diri yang semakin kokoh dan kuat.
Pendidikan sekolah yang diorientasikan pada nilai-nilai moral dan agama merupakan suatu kebutuhan dan memiliki urgensi bagi penumbuhkembangan perilaku moral senyatanya pada subjek didik. Membangkitkan nilai-nilai moral sebagai motivasi dalam segala aktivitas pendidikan dalam hal ini adalah suatu kemestian. Hal ini tidak saja mengingat bahwa upaya pendidikan selalu mengarah pada perbaikan dan perubahan, tetapi lebih dari itu adalah bahwa pendidikan bersentuhan langsung dengan penumbuh-kembangan moralitas yang merupakan suatu hal yang esensial bagi humanitas manusia.
Konsekuensinya dalam pengembangan kemampuan memahami suatu ilmu pengetahuan semestinya pula diiringi dengan kemampuan pengapresiasian nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dalam konteks evaluasi pembelajaran pun selain dievaluasi kemampuan memahami suatu ilmu tidak hanya diukur dari seberapa jauh kemampuan memahami dan menguasai ilmu pengetahuan tertentu, tetapi mesti juga diiringi dengan mengapresiasikan nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu tersebut dalam tindakan nyata. Tegasnya saat ini sekolah tidak lagi hanya melahirkan orang pintar yang menguasai disiplin ilmu pengetahaun, tetapi mampu melahirkan orang yang cerdas dan brilian dalam mengapresiasikan nilai-nilai moral dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya sehingga teraktualisasi ke dalam perilaku moral yang terpuji.

D. Penutup
Watak humanitas yang sarat dengan nuansa moral memestikan pengembangan masyarakat pun juga mengikut sertakan nilai-nilai moral agar ianya tidak lari dari dimensi subjek dan objek pendidikan itu sendiri. dalam konteks isi dan pengem-bangan kurikulum, bahkan tulisan ini pun memberikan tawaran yang berarti dalam pembentukan strategi pembelajaran moral di kelas. Hal ini sangat diperlukan, tidak saja karena begitu pentingnya moralitas dalam diri manusia sebagai pengguna dan pengendali realitas dunia, tetapi juga mengingat arus pengembangan pengetahuan yang berjalan saat ini, dalam kerangkanya sendiri, mengisyaratkan akan penegasian nilai-nilai humanitas yang sarat moral.
Sebagai subjek dan objek moral, manusia dituntut memainkan peran proaktifnya dalam rangka menumbuhkembangkan perilaku moral dalam setiap aktivitas kehidupannya, terlebih lagi pada aktivitas pembelajaran di sekolah yang memang memiliki fungsi untuk itu. Untuk lebih meningkatkan fungsi utama sekolah seperti ini, diperlukan adanya upaya peningkatan pendidikan melalui rekonstruksi metodologis aplikatif pembelajaran dalam upaya menumbuhkembangkan moralitas subjek didik agar ianya menjadi landasan bagi segala tindak-tanduk dan perilakunya dalam kehidupan individu dan sosial kemasyarakatan, terutama dalam gonjang ganjing kehidupan di era global saat ini.
Keterpaduan moral dan pendidikan dalam berbagai konteks pengetahuan, keterampilan dan sikap yang melibatkan keseluruhan dimensi kependidikan yang ada di sekolah mesti ditata ke dalam misi pendidikan sebagai wahana penegakan dan pengembangan nilai-nilai moral. Komitmen semacam ini memestikan pendidikan Islam menjadikan moralitas tidak lagi sebagai entitas yang terpisah dalam setting pengupayaan berbagai aktivitas kependidikan yang ada, tetapi benar-benar terjelma dalam keseluruhan komponen kependidikan yang ada.
Pembentukan dan pengembangan nilai-nilai humanitas yang memang sarat dengan nuansa moral, menjadikan moralitas sebagai identitas utama manusia tidak lagi berjalan di luar diri manusia itu sendiri. Saya berasumsi bahwa moralitas dunia pendidikan Islam memberikan jawaban atas kebutuhan esensial manusia yang cenderung terabaikan saat ini, bahkan kadang kala melupakan hakekat kehidupannya yang mesti bermuara pada nilai-nilai humanitas; moral.
Penulis,
Muhmidayeli