Selasa, 17 Maret 2009

Fungsionalisasi Peran Masyarakat dalam Peningkatan Mutu Pendidikan

Oleh: Muhmidayeli[*]
E-mail: muhmidayeli@yahoo.co.id


I. Pendahuluan
Perubahan, perbaikan dan kemajuan dalam suatu masyarakat selalu tertumpu pada bagaimana dunia pendidikan mengupayakan. Pendidikan dalam bahasa sosiologi dikatakan sebagai wadah yang tepat untuk menggerakkan masyarakat ke arah pola perubahan yang diinginkan dan karenanya mesti ditata dan dikelola sesuai dengan irama gerak perubahan yang diinginkan.
Sebagai ujung tombak bangunan peradaban manusia, fungsi sekolah selalu berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan pembangunan anak manusia dalam berbagai aspeknya. Sedemikian rupa pendidikan diorientasikan pada pengembangan watak kemanusiaan dalam berbagai wilayah kebutuhan dalam berbagai jenis tingkatannya. Dalam paradigma ini, pendidikan mesti menjadi agen perubahan terdepan untuk percepatan pembangunan sumber daya manusia yang akan bergerak di segala sektor kehidupan.
Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan agama sebagai salah satu kebutuhan humanitas pembangunan kualitas sumber daya manusia saat ini banyak bertumpu pada kualitas sekolah. Persoalannya adalah bahwa dalam penyelenggaraannya tidaklah berdiri sendiri, karena ada banyak varian yang bergelayut di atasnya, baik dari subjek, maupun dari varian lain yang berada di luar dirinya. Pengendalian kesemuanya tergantung pada keikut-sertaan semua pihak dalam jalinan kerjasama yang harmonis.
Transformasi sosial dalam bidang agama dan moral tergantung pada orientasi, sistem dan strategi yang ditempuh oleh lembaga pendidikan, utamanya pendidikan formal yang secara niscaya lebih terencana, terprogram dan tertata secara rapi ke arah tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu memfungsikan berbagai komponen masyarakat sebagai pemilik pendidikan adalah suatu kemestian, jika tidak ingin pendidikan yang diselenggarakan terasing dari dirinya.
Pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan yang terencana dan tersistematisasi, dalam penyelenggaraan pembelajarannya selalu mendapat sorotan karena dianggap kurang efektif dan tidak tepat sasaran. Hal ini tidak saja dikarenakan praktik akademik pembelajarannya yang memang lebih mengutamakan pencapaian ranah kognitif, dan ada kesan ranah afektif dan psikomotor sebagai pinalitas tercapai tidaknya tujuan pendidikan belum tersentuh secara baik. Hal ini semakin dipersulit lagi dengan adanya sistem manajerial pendidikan yang sentralistik yang tidak memberikan rongga gerak bagi sekolah untuk membuat kreasi dan aksi yang berpusat pada problem dan kebutuhannya.
Kompleksitas problem kependidikan agama seperti ini, akan semakin rumit lagi bila dikaitkan dengan kondisi kehidupan masyarakat saat ini yang memang sangat kompleks. Hal ini juga akan semakin memperberat tantangan pembinaan pendidikan agama di madrasah/sekolah yang memang berorientasi tidak saja pada aspek kebutuhan fisiologis subjek didiknya tetapi juga bagaimana ia dapat mengimplementasikan nilai-nilai luhur agama dan keberagamaan sebagai pemenuhan kebutuhan ruhaninya yang memang menjadi karakteristik dan bahkan menjadi muara bagi semua gerak langkah aktivitasnya.
Diakui memang bahwa saat ini telah terjadi perubahan besar dalam kehidupan umat manusia, tidak saja dalam lapangan sosial budaya, sains dan teknologi, bahkan juga dalam lapangan agama. Khusus dalam lapangan ini, perubahan apresiasi dan persepsi umat terhadap nilai-nilai agama. Agama dengan nilai-nilai dogmatis-imperatifnya yang telah diterima selama ini sangat terbuka kemungkinan untuk dipertanyakan dan dikritisi yang bahkan tidak jarang akan bermuara pada penegasian dan pengabaian ajaran-ajaran agama dalam kehidupan keseharian umat.
Pembinaan pendidikan agama di madrasah ataupun sekolah adalah juru kunci terbentuknya pola pikir dan perilaku yang bernuansakan relijius. Hal ini karena memang eksistensinya dapat membentuk pola perilaku anak manusia yang akan terimplikasi dalam sikap dan tingkah laku kesehariannya.. Di sisnilah letak pentingnya dunia persekolahan mestilah dapat menjawab kebutuhan manusia, tidak saja yang berdimensi pragmatis, tetapi juga idealis, tidak saja bercorakkan yang profan, tetapi juga yang sakral, tidak saja sarat dengan muatan pengetahuan, tetapi juga moral, baik untuk kepentingan individu maupun sosial, yang mencakup kepentingan kehidupan sekarang dan mendatang.
Kondisi kehidupan kontemporer saat ini memperlihatkan perubahan yang amat cepat hampir diseluruh aspek kehidupan, yang tidak jarang menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan masyarakat, termasuk goncangan dalam sikap keagamaan dan nilai moralitasnya. Bila pembinaan pendidikan agama di madrasah maupun di sekolah-sekolah sebagai lembaga yang akan memenuhi tuntutan jasmani dan ruhani anak manusia kurang responsif dengan kondisi ini, maka keberadaannya akan sangat dipertanyakan dan mungkin dijauhi oleh masyarakat.
Tulisan ini terfokus pembahasannya tentang bagaimana memfungsionalisasikan masyarakat dalam peningkatan kualitas sekolah, utamanya dalam pembinaan pendidikan agama. Hal ini sangat penting didiskusikan mengingat pembinaan pendidikan agama bukanlah semata-mata tugas sekolah, tetapi adalah juga tugas dan tanggung jawab bersama.

II. Sekolah dan Perubahan Masyarakat; Sebuah kemestian kerjasama
Semakin derasnya perubahan-perubahan sosial sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan tugas-tugas kependidikan agama semakin berat, bahkan sebahagian ahli pendidikan Islam akhir-akhir ini merasa khawatir jangan-jangan format pembinaan pendidikan Agama Islam yang tengah berlangsung saat ini tidak dapat menjawab pemenuhan kebutuhan humanitas manusia, baik sebagai makhluk individual dan sosial, maupun sebagai mu`abbid, khalifah fi al-ardh dan `imarah fi al-ardh.
Mengingat madrasah sebagai agen transformasi sosial yang secara niscaya akan melahirkan suatu peradaban baru yang mengacu pada perbaikan dan kemajuan, maka dalam berbagai aktivitasnya ia mesti menjadi bagian yang integral dengan masyarakatnya. Hal ini tidak dapat dielakkan terutama karena memang suatu kebudayaan lahir selalu berdasarkan pada pola adaptasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan lingkungan masyarakatnya. Apa pun yang dilakukan manusia dalam kehidupan kesehariannya selalu bekenaan dengan pembentukan kebudayaannya. Oleh karena itu, pendidikan secara efisiensi mesti mengacu pada kepentingan rekonstruksi masyarakat. Pendidikan mesti diarahkan untuk memampukan subjek-subjek didik membangun dunia bagi masyarakat melalui pendayagunaan kemampuan akal, indra dan intuisi, sehingga pendidikan harus menjadikan subjek didiknya yang mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya sebagai wahana bagi perealisasian nilai-nilai spritual.
Pendidikan sebagai suatu lembaga masyarakat tentulah diarahkan pada upaya rekayasa sosial, sehingga segala aktivitasnya pun senantiasa merupakan solusi bagi berbagai problem kehidupan dalam masyarakat. Sekolah dalam hal ini menjadi agen perubahan sosial, politik dan ekonomi yang primer. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti memiliki komitmen untuk menciptakan masyarakat baru yang sarat dengan nilai-nilai dasar budaya dan sosial ekonomi yang akan membentuk harmonisasi suatu masyarakat. Pendidikan dalam hal ini mesti diarahkan pada perubahan pola pikir masyarakat, sehingga teknologi-teknologi yang begitu besar lebih dijadikan sebagai sumber kreativitas dari pada untuk menghancurkan. Transformasi sosial merupakan suatu keniscayaan dan ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan.[1] John Dewey (1859-1952 M) dalam hal ini mengatakan, bahwa education as recontruction.[2] Ini berarti bahwa pendidikan persekolahan adalah wadah yang tepat untuk membangun masyarakat baru yang lebih maju dan dapat bersaing di tengah-tengah peradaban dunia.
Jika demikian, pendidikan sekolah ataupun madrasah yang merupakan usaha sadar bersama setiap individu terkait, secara fungsional struktural mesti melaksanakan tugas-tugasnya secara seksama dan terarah menuju terciptanya manusia-manusia ideal, yakni manusia yang memiliki kepribadian moralis, baik fungsinya sebagai mu`abbid, khalifah fi al-ardh dan `immarah fi al-ardh yang memang menjadi lambang sejati manusia di dunia.
Kecuali itu, mengingat pendidikan adalah tugas bersama manusia dalam merealisasikan misi kemanusiaan seperti ini, maka sudah selayiknya pula pendidikan persekolahan diatur berdasarkan hubungan intersubjektif dan interrelasional, sehingga semua komponen benar-benar berjalan secara fungsional struktural dalam kerangka yang jelas dan terarah pada peraihan tujuan-tujuan yang diinginkan.
Madrasah/sekolah adalah agen perubahan besar yang memiliki arti strategis bagi pembangunan suatu masyarakat dan oleh karenanya ia mesti dikelola secara baik dan terprogram secara bersama-sama antar berbagai komponen lapisan masyarakat. Hal ini sangat penting, terutama dalam upaya pembinaan pendidikan agama dan moral.
Membangkitkan nilai-nilai agama dan moral adalah suatu kemestian namun pelaksanaannya dalam pembelajaran di sekolah bukanlah mudah. Hal ini tidak saja karena cakupannya yang luas, tetapi juga karena memang identitasnya mesti melalui pembiasaan-pembiasaan yang sukar dijangkau oleh persekolahan yang semata-mata mengandalkan unsur formalistik belaka. Pendeknya, kemampuan memahami anak didik dalam pengetahuan agama yang semestinya diiringi dengan kemampuan pengapresiasian nilai-nilainya ada dalam berbagai aktivitas jarang terrealisasi dengan baik. konsekuensinya dalam evaluasi pembelajaran pun selain dievaluasi kemampuan memahami suatu ilmu hanya diukur dari seberapa jauh kemampuan memahami dan menguasai ilmu pengetahuan tertentu, pada hal mesti juga diiringi dengan melihat apresiasi nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu tersebut dalam tindakan nyata.
Saat ini pendidikan sekolah diharapkan tidak lagi hanya melahirkan orang pintar yang menguasai ragam disiplin ilmu pengetahaun, tetapi hendaknya mampu melahirkan orang yang cerdas dan brilian dalam mengapresiasikan nilai-nilai agama dan moral dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya sehingga teraktualisasi ke dalam perilaku nyata yang terpuji. Pembinaan pendidikan agama adalah sesuatu yang mesti mendapat perhatian tersendiri, terutama karena eksistensinya yang memang diorientasikan pada pembangunan kepribadian bangsa yang diharapkan. Agama dan moral dalam nuansa era globalisasi saat ini mesti dimaknai dalam konteks yang luas, sehingga eksistensinya bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan Tuhannya, tetapi meliputi dirinya dan masyarakat, alam dan dunia dalam kaitannya dengan Yang Maha Pencipta. Dengan pemahaman seperti ini akan memperlihatkan bahwa orang yang beragama dan bermoral akan memperlihatkan kemajuannya dalam berbagai lini kehidupan.
Sehubungan hal di atas, pembenahan penyelenggaraan pendidikan agama mutlak dilakukan, baik dalam akademik-pembelajaran maupun dalam mengatur strategi antisipatif dan kooperatif dengan melibatkan ragam unsur masyarakat sebagai pemilik persekolahan. Hal ini sangat urgen, terutama karena berkaitan langsung dengan efektivitas aktivitas pembinaan pendidikan agama di madrasah ataupun di sekolah.[3]
Problem pembinaan pendidikan agama seperti digambarkan di atas, menjadikan lembaga pendidikan mesti membuat alinan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat. Jalinan kerjasama dengan berbagai komponen yang dilakukan semestinya tidak saja dalam hal partisipasi penyediaan dana pendidikan saja seperti yang dipahami kebanyakan orang, tetapi lebih dari itu, bahwa masyarakat dilibatkan dalam berbagai suasana yang akan menghasilkan kualitas pendidikan yang menjadi harapan bersama, keluarga, sekolah dan masyarakat. Perubahan paradigma manajemen pendidikan dari sentralistik ke desentralistik menjadikan peluang kerjasama keluarga, sekolah dan masyarakat ini akan lebih mudah terwujud. Yang terpenting di sini adalah bagaimana menciptakan situasi yang kondusif untuk terciptanya suasana hubungan ini berjalan dengan harmonis. Untuk itu dibutuhkan suasana komunikatif yang tinggi antara ketiga komponen ini, karena memang tanpa itu, hubungan kerjasama akan menjadi tinggal lambang atan atau omong kosong belaka.
Keniscayaan harmonisasi hubungan keluarga, sekolah dan masyarakat seperti ini tidak saja karena ketiga unsur ini sama-sama memiliki kepentingan terhadap jalannya proses pendidikan, tetapi lebih dari itu di mana ketiga unsur ini sama-sama bertanggungjawab atas jalannya proses itu. Dan oleh karena itu pulalah, maka keterlibatan ketiga unsur ini mestilah disertai dengan keterlibatan mental dan emosional, riil dan bertanggungjawab.
Keaktifan masyarakat dalam mendukung proses kependidikan di sekolah ini, tidak saja mengingat sekolah adalah wadah transformasi sosial dalam berbagai varian, tetapi juga disebabkan oleh karena sekolah akan dapat menjawab keinginan dan tuntutan masyarakat. Keaktifan ini akan dapat membuahkan berbagai pengetahuan, pemahaman , keterampilan dan sikap bagi masyarakat yang secara niscaya tentu akan membentuk pola pikir dan gaya hidup yang merupakan lambang bagi suatu transformasi sosial. oleh karena itu, sudah sepantasnya masyarakat sebagai pengguna produk kependidikan sekolah turut berpartisifasi dalam membina dan memperlancar proses kependidikan di sekolah agar ianya efektif dalam fungsi dan tugasnya. Kualitas pendidikan di sekolah, pada prinsipnya adalah tanggungjawab bersama anggota masyarakat dalam berbagai lapisan.[4]
Hal ini semakin kuat pula dengan adanya P.P No. 39 tahun 1992 bab 2 pasal 2 yang menyatakan, bahwa partisipasi masyarakat dengan mendayagunakan segala kekuatan potensialnya sangat dibutuhkan dalam rangka menciptakan, memelihara dan meningkatkan kualitas pendidikan.[5] Berdasarkan ini pulalah dituntut adanya saling keterbukaan antar komponen agar permaslahan hakiki mencuat dan pemecahannya pun akan mudah dilakukan.
Masyarakat sebagai pendamping personil kependidikan di sekolah, dapat menunjukkan partisipasinya dalam bentuk aktivitas-aktivitas sebagaimana yang diungkap dalam pasal 4 bab 3 P.P no. 39 tahun 1992 sebagai berikut:
1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah pada semua jenjang pendidikan kecuali pendidikan kedinasan.
2. pengadaan dan pemberian tenaga pendidikan
3. bantuan tenaga ahli
4. pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan pinjaman, beasiswa dan bentuk-bentuk lain sejenis
5. pengadaan atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diselenggarakan oleh pemerintah
6. pengadaan dan bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk kegiatan belajar mengajar
7. memberikan kesempatan magang atau latihan kerja
8. memberikan bantuan ruangan gedung dan tanah untuk belajar mengajar
9. bantuan manajemen bagi penyelengaraan satuan pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional
10. memberikan bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan atau penyelenggaraan pembangunan pendidikan
11. memberikan bantuan dan kerjasama dengan kegiatan penelitian dan pengembangan pendidikan
12. keikutsertaan dalam program pendidikan atau penelitian yang diselenggarakan oleh pemerintah di dalam atau di luar negeri.

III. Bentuk Kerja Sama Sekolah dan Masyarakat dalam Pendidikan Agama
Komite sekolah/madrasah atau dewan sekolah adalah bentuk organisasi independen dalam lingkup suatu sistem dalam sistem persekolahan yang dibentuk untuk mencarikan solusi atas berbagai problem kependidikan yang terkait dengan upaya-upaya yang layik untuk dilakukan dalam proses peningkatan kualitas sekolah agar menjadi sekolah yang unggul dalam berbagai aspek yang berkenaan dengan kependidikan. Komite sekolah dan dewan sekolah pada prinsipnya didirikan dengan dasar pemikiran bahwa sekolah tidak lain adalah bagian yang tidak terlepaskan dari unsur penting lainnya dalam masyarakat. Oleh karena itu, apa pun yang dilakukan sekolah mestilah dari dan untuk masyarakat, sehingga melibatkan masyarakat dalam memikirkan persoalaan kependididkan merupakan suatu keniscayaan, seperti yang telah disinggung di depan.
Mengingat sekolah adalah milik masyarakat seperti diuraikan di atas, maka ketergantungannya pada pihak luar tidak dapat dielakkan. Hal yang perlu dicatat adalah bagaimana ketergantungan ini jangan sampai menjadikannya menghambat kreativitas dan inovasi dalam diri sekolah itu sendiri, sehingga sekolah tidak lagi dilihat sebagai objek kepentingan orang perorang atau kelompok tertentu yang akan dapat menjadikan sekolah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga penanaman nilai-nilai. Yang lebih penting lagi adalah bahwa sekolah mesti dipandang sebagai wadah transformasi sosial yang meniscayakan keterkaitannya pada unsur-unsur masyarakat.
Dengan demikian, sekolah yang pada umumnya terkait dengan suatu badan yang terikat dengan kultur dan birokrasi, mestilah diupayakan untuk tidak bertolak dan atau menyalahi prinsip-prinsip dan fungsi dasar MBS. Hal ini sangat diperlukan mengingat dalam sistem MBS menghendaki keterlibatan penuh semua elemen masyarakat sekolah untuk menciptakan suasana kerja sama yang bermuara pada kemajuan dan peningkatan kualitas sekolah.
Kecuali itu, pengelola sekolah mesti benar-benar menyadari bahwa peran pimpinan sekolah adalah juga bagaimana memaksimalkan potensi masyarakat dalam meningkatkan kualitas sekolah yang dipimpinnya. Inti penting dari kepemimpinan kepala sekolah adalah bagaimana mengoptimalkan semua elemen terkait agar fungsional dalam mewujudkan visi dan misi sekolah secara baik guna melahirkan sekolah yang berkualitas.[6]
Dari sisi dapat dilihat, bahwa komite sekolah merupakan sesuatu yang sangat penting, karena melalui komite ini dapat dibangun sinergi antara pengelola sekolah dengan masyarakat dengan berbagai unsur dan pemerintah sehingga terbangun tanggungjawab bersama dalam membangun hubungan interdepensi sekolah dan masyarakat secara baik. Dengan cara demikian sekolah tidak lagi terasing dari pemiliknya, masyarakat..
Persoalan yang sering muncul kemudian adalah anggapan yang menyebutkan bahwa komite madrasah mestilah terdiri dari orang tua siswa karena memang eksistensinya berhubungan langsung dengan kepentingan mereka. Hal ini lumrah terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena masih dangkalnya pemahaman masyarakat akan arti pentingnya suatu lembaga pendidikan bagi kepentingannya. Ini semakin ditunjang pula oleh karena kondisi sosial ekonomi yang masih rendah yang akan menjadikan perhatiannya tertuju semata-mata untuk sektor ini.[7]
Asumsi seperti ini muncul, mengingat hukum kausalitas yang dimunculkan akibat proses yang dilakukan sekolah yang secara nyata terlihat bahwa pengguna jasa pendidikan sekolah seolah-olah orang tua saja. Pada hal, komite sekolah bukanlah suatu badan organisasi penunjang finansial terhadap efektivitas proses akademik dan hal lain yang bergelayut di dalamnya saja, tetapi lebih dari itu, meliputi segala aspek yang akan menyokong terwujudnya realisasi tujuan-tujuan yang telah digariskan dengan standar yang optimal. Oleh karena itu, komite madrasah mestilah terdiri dari orang-orang yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas keberlangsungan proses kependidikan di sekolah dan ianya memang mengerti dan memiliki kompetensi dalam dan dengan persoalan kependidikan.
Sebagai suatu bentuk badan partisipasi masyarakat yang peduli dan legal dalam tanggung jawab kemajuan proses pendidikan persekolahan, komite sekolah di samping sebagai wadah perantara sekolah dan masyarakat, komite sekolah juga turut bertanggung jawab atas efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas kependidikan sekolah. Hal ini berarti, bahwa komite sekolah tidak saja berfungsi sebagai penyedia dana seperti dipahami umum, namun sesungguhnya lebih dari itu, bahwa ia mesti juga dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, baik dalam aspek perencanaan, penyelenggaraan program, perolehan manfaat, bahkan evaluasi dan pengendalian program sekolah. Pendeknya, komite sekolah pada prinsipnya adalah wujud kepedulian semua anggota masyarakat akan kualitas pendidikan, sekaligus juga menunjukkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendidikan persekolahan sebagai wahana transformasi sosial dalam berbagai bidangnya, seperti politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Kesadaran masyarakat akan makna pendidikan ini adalah akar tunggang bagi pembangunan peradaban manusia yang tentu juga akan mempercepat lahirnya masyarakat madani yang diidamkan semua orang.
Berdasarkan hal di atas, optimalisasi fungsi masyarakat untuk kemajuan sekolah/madrasah sesungguhnya merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan sekolah. Hal ini tidak saja karena sekolah merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari keluarga dan masyarakat seperti yang telah dijelaskan di muka, tetapi lebih dari itu bahwa perjalanan proses pendidikannya mesti dipikirkan dan diaktualisasikan secara profesional agar eksistensi sekolah benar-benar dapat menjawab persoalan masyarakat, dan ia pun tidak terasing bagi masyarakat pemiliknya.
Dalam konteks ini, Mulyasa[8] menyebutkn bahwa agar partisifasi masyarakat dalam hubungan sekolah/madrasah, perlu adanya pemahaman masyarakat yang baik terhadap fungsi dan peran masyarakat dalam membangun kemajuan-kemajuan di era globalisasi. Hal ini akan tampak dalam hubungan kerja samanya dalam:
mengembangkan pemahaman masyarakat terhadap sekolah
menilai program sekolah
mempersatukan visi orang tua untuk memenuhi kebutuhan peserta didik
mengembangkan kesadaran kesadaran masyarakat akan arti pentingnya peran sekolah di era global
membangun kepercayaan masyarakat pada sekolah
menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan dan peningkatan mutu sekolah.
Adapun tugas dan fungsi komite sekolah secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.
1. menyelenggarakan rapat-rapat komite sesuai program yang ditetapkan;
2. bersama-sama sekolah merumuskan dan menetapkan visi dan misi
3. bersama-sama sekolah menyusun standar pelayanan pembelajaran
4. bersama-sama sekolah menyusun rencana strategis pengembangan sekolah
5. bersama-sama sekolah menyusun dan menetapkan rencana program sekolah tahunan, termasuk dalam menyusun anggaran perbelanjaan pembelajaran
6. membahas dan turut menetapkan pemberian tambahan kesejahteraan berupa uang honorarium yang diperoleh dari masyarakat kepada kepala sekolah, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
7. bersama-sama sekolah mengembangkan potensi ke arah prestasi unggulan baik akademis maupun yang bersifat non akademis
8. menghimpun dan menggali sumber dana untuk meningkatkan kualitas madrasah
9. mengelola kontribusi masyarakat berupa material dan non material yang diberikan pada sekolah
10. mengevaluasi program sekolah secara proporsional sesuai kesepakatan dengan pihak sekolah meliputi pengawasan, penggunaan sarana dan prasarana, pengawasan dan penggunaan keuangan secara berkala dan berkesenambungan
11. mengidentifikasi berbagai permasalahan dan memecahkannya besama-sama dengan pihak sekolah
12. memberi respon terhadap kurikulum yang dikembangkan secara tersdandar nasional maupun lokal
13. memberikan motivasi, penghargaan material maupun non material kepada tenaga kependidikan atau kepada orang berjasa pada sekolah secara proporsional sesuai dengan kaedah profesional pendidik atau tenaga kependidikan sekolah
14. memberikan otonomi profesional kepada pendidik mata pelajaran dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikannya sesuai dengan kaedah kompetensi guru
15. membangun kerjasama dengan pihak luar yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan proses dan hasil pendidikan.
16. memantau kualitas proses pelayanan dan hasil pendidikan di madrasah
17. mengkaji laporan pertanggung jawaban pelaksanaan program yang dikonsultasikan oleh kepada sekolah
18. menyampaikan usul kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan madrasah.[9]
Dari tugas dan fungsi komite sekolah di atas tercermin tuntutan yang sangat serius dalam bekerja serta peka terhadap dinamika sosial masyarakat dan mampu membuat antisifasi kondisi mendatang. Jika komite madrasah memang terdiri dari anggota masyarakat yang memiliki komitmen kuat terhadap kemajuan pendidikan madrasah dalam segala aspeknya baik akademis maupun non akademis, tentulah ia akan berfungsi sebagai badan yang benar-benar peduli dengan kemajuan pendidikan sekolah, bahkan ia juga berperan aktif dalam keseluruhan gerak kemajuan pendidikan madrasah itu sendiri.

IV. Penutup
Pembinaan pendidikan agama sesungguhnya merupakan tugas bersama semua orang agar ianya benar-benar mencapai sasaran, yaitu membentuk kepribadian yang benar-benar kukuh dalam menjalankan nilai-nilai keagamaan itu dalam kehidupan kesehariannya.
Pendidikan agama di sekolah dan madrasah pada hakikatnya adalah bagaimana menghantarkan subjek didik ke pintu gerbang terbentuknya kepribadian itu. Bagaimana subjek didik hidup dan menghidup-suburkan nilai-nilai itu di dalam dirinya tergantung pada pelatihan-pelatihan terus menerus yang selalu sekolah mengalami kesulitan dalam pembinaan dan pengawasannya. Padahal hal terpenting dalam keseluruhan proses kependidikan agama itu, tidak lain adalah bagaimana subjek didik mengimplementasikan nilai-nilai yang diterimanya di kelas dalam kehidupan kesehariannya.
Kepribadian secara utuh hanya mungkin dibangun melalui lingkungan. Jika lingkungan rumah dan teman-teman subjek didik tidak mendukung materi pembelajaran agama di sekolah, maka apa yang telah dibangun di sekolah tidak berkelanjutan dan memang tidak dibiasakan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini akan semakin dilematis jika di sekolah pun subjek didik tidak mampu terhantar sampai ke pintu gerbang kepribadian muslim, yaitu memiliki akhlak mulia yang dalam segala aspeknya sangat terkait dengan kualitas iman subjek didik. Ini sesuai dengan sabda Nabi: bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya.
Kondisi proses pembelajaran disekolah dan juga madrasah kurang mendukung pembentukan kepribadian muslim yang diinginkan, terutama mengingat:
1. Materi pendidikan agama di madrasah yang berkisar 30 % dari keseluruhan materi pembelajaran dan di sekolah yang hanya sekelumit saja dari jumlah jam pelajaran yang ditawarkan kepada mereka.
Adanya input silang yang menjadikan tingkat dasar kepribadian yang sangat tidak linier.
Kurangnya kreativitas guru dalam menciptakan suasana pembelajaran yang harmonis yang menjadikan subjek didik mencintai materi pendidikan agama.
Tingkat profesionalitas guru yang berbeda-beda. Dan lain-lain sebagainya
Pembentukan kepribadian muslim sebagai cita-cita pendidikan agama Islam sebenarnya adalah upaya sadar bersama antara semua komponen lapisan masyarakat untuk mengubah sikap ke arah kecenderungan terhadap nilai-nilai keislaman. Dan oleh karena itu, fungsionalisasi komite sekolah sebagai lembaga yang peduli dengan persoalan kependidikan di sekolah dalam peningkatan kualitas pembinaan pendidikan agama diharapkan. Dengan fungsinya membantu para pendidik dalam meraih tujuan dan bahkan dalam perumusan dan strategi pembinaannya, menjadikan kehadiran komite sekolah di sini dapat membantu tugas guru dalam membentuk kepribadian muslim sebagai tujuan pendidikan agama itu.
Paling tidak ada beberapa peran yang dapat dilakukan oleh komite sekolah dalam meningkatkan pembinaan pendidikan di sekolah dan atau di madrasah, yaitu:
1. Bersama-sama pendidik dan sekolah merumuskan langkah-langkah pemecahan masalah kependidikan agama
2. Mengkondisikan refresing akademik tenaga pendidik agar ianya memiliki wawasan dan bahan analogis bagi dirinya dalam mendidik.
Bersama-sama pendidik dan sekolah menggerakan gerakan moral di sekolah dan di lingkungan rumah
Bersama-sama pendidik dan sekolah memberikan penyadaran pada orang tua dalam pengawasan upaya pembiasaan kepribadian.
Bersama-sama pendidik dan sekolah mengupayakan proses pembelajaran yang harmonis agar subjek didik suka dan tertarik mempelajari agama Islam dan mengamalkannya.
V
Lahirnya sekolah dan madrasah secara filosofis dan historis tidak lain adalah untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Dan oleh karena itu, eksistensinya tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Masyarakat mestilah menjadi bagian terdepan dalam menyokong segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan madrasah. Oleh karena itu hubungan interdependensi keluarga, sekolah dan masyarakat tidak dapat dielakkan begitu saja jika menginginkan madrasah tidak terasing bagi pemiliknya, yaitu masyarakat. Dan masyarakat mestilah pula bertanggungjawab atas keberlangsungan aktivitas pembelajaran di madrasah.
Komite madrasah sebagai lembaga independen dalam sistem pendidikan madrasah merupakan lembaga yang mewadahi berbagai kepentingan yang dibutuhkan dalam proses pendidikan madrasah agar efektif dan efisien dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai penumbuhkembangan kualitas sumber daya manusia yang tidak lain adalah inti bagi pembangunan masyarakat dan negara yang tidak terelakkan.
Peranan komite madrasah ini bukan saja dalam penyediaan dana dan unsur materi lainnya, tetapi lebih dari, meliputi segala sesuatu yang berkenaan dengan berbagai persoalan yang behubungan dengan kualitas penyelenggaraan proses kependidikan di madrasah.
--------
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Davis K., and Newstrom, J.W., Human Behavior at Work, Mc. Graw Hill, New York, 1985.
Depag RI., Pedoman Komite Madrasah, Dirjen Bimbaga Islam, Jakarta, 2003.
Ebel, Robert L., “What are Schools for” dalam Harvey F. Clarizio et all (ed)., Contemporary Issues in Educational Psychology, Allyn and Bacon, Inc, Boston, 1977
Faqence, Citizen Participation Planning, Mc. Graw Hill, New York, 1985.
Mulyasa dan Taufiq Dahlan, Pedoman Manajemen berbasis Madrasah, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Jakara
Ndaka Talizudu, Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Rennika Cipta, Jakarta, 1990.
Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Al-fabeta, Bandung, 2003..
Wijaya, A.W., Manusia Indonesia; Individu, Keluarga dan Masyarakat, Presindo, ..Palembang, 1985.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf, Yogyakarta, 2000.


[*] Dosen Filsafat Pendidikan Islam pada fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau
Alamat: Puri Rajawalimas E5. Jl. Rajawali Sakti Panam Pekanbaru Telp/HP: 0761 561749/0816370599
[1] George F. Kneller, Introduction To The Philosophy of Education, Second Edition, John Wiley & Sons, Inc, New York, 1971, h. 47. Lihat juga Arthur K. Ellis dkk., Introduction To The Foundations of Education, Prentice Hall, New Jersey, 1986, h. 122.
[2] Zuhairini dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, h. 29.
[3] Uraian lebih lanjut, dapat dilihat tulisan Jup Schlerens, Peningkatan Mutu Sekolah, Logos, Jakarta, 1999, h. 25.
[4] Dapat dilihat umpamanya E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Rosda Karya, Bandung, 1998, h. 170.
[5] Lihat Undang-Undang RI, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Sinar Graha, Jakarta, 1992, h. 290.
[6] Uraian yang lebih rinci dapat dibaca lebih lanjut, Dep. Agama RI., Pedoman Komite Madrasah, Dirjen Bimbaga Islam, Jakarta, 2003.
[7] Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Rinneka Cipta, Jakarta, 2004, h. 185.
[8] Mulyasa dan Taufiq Dahlan, Pedoman Manajemen berbasis Madrasah, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Jakara, h. 92
[9] Uraian lebih rinci dapat dilihat Depag RI., Pedoman Komite Madrasah, Dirjen Bimbaga Islam, Jakarta, 2003.