Senin, 15 Juni 2009

Moralitas dan Kebebasan Manusia dalam Konstelasi Pemikiran Etika Ibn Miskawaih

MORALITAS DAN KEBEBASAN MANUSIA DALAM KONSTELASI PEMIKIRAN

ETIKA IBN MISKAWAIH

Oleh: Muhmidayeli[1]

Abstract

Moral behavoir, for Ibn Miskawaih, is very depended to how moral subject reflects the reality rasionally. Everyone with better and more correct thought will select behavior that is more appropriate. This is according to how far he used his mind in moral deliberation and moral judgment for the moral behavior. That is a dimension of moral freedom. The indication of men`s freedom is choosing and obeying moral and religious values.

Abstrak

Perilaku moral bagi Ibn Miskawaih sangat tergantung pada bagaimana subjek moral memandang realitas secara rasional. Setiap orang yang pemikirannya lebih tepat dan benar maka ia dapat memilih perilaku yang baik. Ini tergantung pada sejauh mana ia memfungsikan akal pikirannya dalam memilih dan memutuskan tindakan-tindakan moral. Dan ini adalah dimensi kebebasan moral. Lambang seseorang itu bebas adalah kepatuhan dan kataatannya pada nilai moral dan agama.

Key word: moral freedom; etics; religius norm; moral responsibility

Kata Kunci: kebebasan moral,; etika; normativitas Agama; tanggungjawab moral

I. PENDAHULUAN

Kualitas kemanusiaan selalu berkenaan dengan nilai-nilai moralitas yang teraplikasi dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan individual dan sosial, maupun dalam bentuk hubungan dengan penciptanya. Atas dasar ini pula, wajar jika persoalan moral merupakan persoalan yang tidak akan pernah gersang untuk ditelaah. Kecuali itu, eksistensinya pun sangat menentukan bagi kualitas manusia sebagai agen perubahan. Hal ini semakin bermakna jika dihubungkan dengan sasaran fundamental setiap aspek relijius manusia yang bersentuhan langsung dengan persoalan moral. Islam sendiri mengandaikan bahwa tugas pokok kenabian sendiri tidak lain adalah memperbaiki dan menyempurnakan moral manusia.

Kondisi kehidupan manusia yang semakin plural seiring dengan konsekuensi logis arus komunikasi dan globalisasi yang berdampak pada akulturasi budaya, dapat pula terimplikasi dalam persoalan moral, termasuk agama.

Ibn Miskawaih sebagai bapak filsuf moral dalam Islam, mengandaikan bahwa seluruh tingkah laku manusia yang baik ataupun yang buruk yang dilakukan secara sadar tentulah dilakukan berdasarkan hasil pilihan bebas manusia itu sendiri. Ketika ia memutuskan bahwa suatu perbuatan itu baik dan berguna bagi dirinya, maka ia pun akan memilihnya sebagai suatu perilaku yang mesti dilakukan.[2] Tindakan moral adalah tindakan manusia yang muncul melalui pertimbangan rasional, sehingga selalu dilakukan secara sadar, bukan paksaan, dan atas dasar itulah maka ia pun mesti bertanggungjawab atas apa saja yang ia lakukan..

Dalam bagian lain dari tulisannya disebutkan pula, bahwa tindakan moral selalu berkenaan dengan eksistensi orang lain di luar dirinya,[3] sehingga tindakan moral pun sangat tergantung pada cara pandang subjek moral dalam mengamati realitas. Moralitas ditentukan oleh kesesuaiannya dengan alam yang berada di sekitar. Sebagai makhluk rasional, manusia memiliki pemikiran yang lebih tepat dan benar yang akan dapat menentukan pemilihan moral dan inilah karakteristik utama manusia ideal. Kualitas manusia erat kaitannya dengan pola dan caranya memilih moral.[4] Hal ini menunjukkan bahwa sommun bonum manusia Ibn Miskawaih sepenuhnya ditentukan oleh dirinya sendiri. Manusia secara bebas dapat mencari dan menentukan moral untuk dirinya yang memang menjadi lambang bagi kesempurnaanrinya. Ibn Miskawaih percaya bahwa karena manusia diciptakan untuk kebaikan, maka meraih moral berarti pula pengaktualisasian tujuan ciptaan manusia ke dalam dirinya sehingga menjadikan manusia itu memiliki kebaikan dan kebajikan yang akan membedakan dirinya dari apa pun di dunia ini. Berdasarkan ini pula, maka Ibn Miskawaih mengandaikan bahwa mengorientasikan segala hasil karya, rasa dan karsa manusia kepada moral merupakan suatu keniscayaan jika manusia ingin menjadikan dirinya sebagai manusia dalam gambaran penciptaannya.

Mengingat kebaikan dan kebajikan moral dalam konteks etika Ibn Miskawaih diarahkan pada upaya manusia dalam memfungsikan akal pikirannya, sedangkan kualitas akal manusia itu sendiri berbeda-beda, maka tentulah akan membawa pula pada perbedaan dalam penetapan nilai moral. Konsekuensinya, tindakan moral erat kaitannya dengan kualitas diri seorang individu yang tidak mungkin terlepas dari situasi dan kondisi masyarakat yang mengitarinya, sehingga moralitas pun tentu bersifat relatif subjektif.

Dalam bagian lain dari kitab Tahzib al- Akhlaq-nya disebutkan, bahwa manusia yang adil sebagai puncak kebaikan dan kebajikan moral itu sendiri, ditandai dengan keseriusan manusia dalam menjalankan syari`at Agama.[5] Di satu sisi Ibn Miskawaih mengandaikan moralitas sebagai hasil upaya rasional manusia dalam menentukan sesuatu, namun di tempat lain ia justru berpendapat bahwa moralitas ditandai dengan upaya manusia menjalankan syari`at Agama yang telah ditentukan. Pemikiran Ibn Miskawaih seperti ini memunculkan persoalan-persoalan, seperti hubungan kebebasan dalam moral dengan mematuhi ajaran dan normativitas Agama? Bukankah karena kebebasan menjadikan manusia dapat bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya?

Tulisan ini diarahkan untuk mencari jawaban atas permasalahan apa dan bagaimana esensi dan eksistensi kebebasan moral yang sesungguhnya dalam konstelasi pemikiran etika Ibn Miskawaih dan bagaimana pula hubungan interdependensinya dengan eksistensi normativitas Agama serta bagaimana pula konsekuensi dan implikasinya baik dalam konstruksi pemikiran etika Ibn Miskawaih itu sendiri, maupun dalam filsafat moral secara keseluruhan.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengaksentuasikan bahasannya pada analisis kritis dari berbagai sudut pandangan, sehingga akan menghasilkan kesimpulan yang komprehensif yang akan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan sikap moral manusia yang tidak mungkin lepas dari historisitasnya.

Karya-karya etika Ibn Miskawaih yang dijadikan sumber primer penelitian ini adalah a. Kitâb Tahzîb al-Akhlâq; b. Kitâb al-Fawz al-A¸sghar.: c. Kitâb al-Sa'âdah fî Falsafah al-Akhlâq; d. Kitâb Tajârib al-Umâm; e. Kitâb al-Hikmah al-Khalîdah; f. Kitâb al-'Aql wa al-Ma'qûl; g. Risâlah fî al-T¸abî'ah; h. Risâlah al-Wa¸siyyah; i. Risâlah fî Mâhiyat al-`Adl li Miskawaih; j. Kitâb al-Hawâmil wa al-Shawâmil li Abi Hayyan al-Tawhidy wa Ibn Miskawaih,

Adapun data yang telah terkumpul melalui riset kepustakaan disajikan dan dianalisis dengan menggunakan metode diskriptif-kritis, hermeniutik dan heuristika .

Dengan cara deskriptif dimaksudkan, bahwa semua ide dalam pemikiran etika baik oleh Ibn Miskawaih agar dapat dipahami alur pemikiran Ibn Miskawaih dengan jernih dan tepat.

Kecuali itu, mengingat dalam upaya menganalisis data yang diperoleh melalui penelitian ini diperlukan semacam kegiatan interpretasi-interpretasi dan evaluasi melalui penggunaan berbagai sumber lain yang masih relevan dengan objek utama penelitian, maka dalam analisis penelitian ini, juga digunakan metode hermeneutik.

Dengan metode heuristika dimaksudkan adalah bahwa dari hasil perbandingan kritis yang dilakukan terhadap berbagai ide kedua tokoh kajian dapat dibuat suatu pengertian dan pemahaman baru yang lebih baik dan utuh.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Singkat Ibn Miskawaih

Ibn Miskawaih, yang nama lengkapnya Abu `Ali Ahmad Ibn Muhammad Miskawaih, adalah salah seorang filsuf Muslim, lahir pada tahun 330 H / 939 M di Rai, suatu kota yang memang dikenal dengan kota filsuf pada masa itu. Ia termasuk di antara filsuf Muslim yang berupaya memadukan filsafat dan budaya Yunani dengan Islam serta mengkombinasikannya dengan filsafat Roma ke dalam filsafat Arab dan Persia.[6]

Kebanyakan usia muda Ibn Miskawaih dihabiskannya untuk mengabdi sebagai pembantu antar wazir dan umara' di bawah naungan kekuasaan daulat Bani Buwaihid. Di Baghdat ia berhubungan dengan wazir al-Muhallaby, Hasan Ibn Muhammad al-`Azdy dan dilanjutkan pada turunannya, yaitu Ibn Abi Shafrah, wazir Mu`iz al-Dawlah Ibn Buwaih, yang sekitar tahun 348 H / 957 M bertugas sebagai "penjaga rahasia". Setelah wazir Mu`iz al-Dawlah ini wafat, Ibn Miskawaih pun kembali ke Rai untuk mendapat kepercayaan sebagai pustakawan bagi wazir Ibn al-`Amid. Beliau tetap di sini sampai wazir ini wafat, bahkan sampai pada masa wazir Abu al-Fath ( 360 H / 969 M ), anak dari Ibn al-`Amid, dan berakhir ketika beliau berselisih paham dengan wazir ini, sehingga kemudian berakhir dengan masuk penjara (366 H / 975 M).[7]

Dalam kitab Tajarib al-Umam[8], Ibn Miskawaih menyebutkan, bahwa dirinya berhubungan dengan Ibn al-`Amid[9] ini selama 7 tahun. Menurut Abd. Rahman al-Baidawy,[10] hal ini dilakukannya karena antusiasnya ingin mencari kitab-kitab Ibn Zakaria dan Jabir Ibn Hayyan. Hal ini menunjukkan bagaimana kecintaan Ibn Miskawaih pada ilmu pengetahuan.

Mengenai pendidikan Ibn Miskawaih ini tidak banyak diketahui secara rinci, namun ada bukti kuat yang menyatakan, bahwa ia mengambil semangat al-Muhallaby, wazir Buwaihid pada masa raja Mu`iz al-Dawlah, bahkan Ibn Miskawaih itu sendiri akhirnya ditunjuk sebagai sekretaris al-Muhallaby pada tahun 953 M di saat ia berusia 20an. Keadaan seperti ini memberikan isyarat, bahwa Ibn Miskawaih adalah seorang yang memiliki pendidikan yang cukup. Ibn Miskawaih yang diangkat sebagai sekretaris pada usia muda tidak mungkin tidak mempunyai pendidikan dan latar belakang akademik yang memadai serta memiliki pengetahuan yang cukup luas. Sebagai seorang sekretaris, Ibn Miskawaih tentu berada pada posisi yang dapat melihat dan mengamati berbagai peristiwa penting pada zamannya di samping juga turut berpartisipasi aktif dalam melihat berbagai peristiwa yang terjadi antara raja sebagai penguasa dalam hubungannya dengan rakyat. Hal ini ditandai dengan adanya buku beliau yang mengupas peristiwa-peristiwa penting tersebut, yaitu dalam bukunya Tajarib al-Umam. Atas dasar ini pulalah, maka ada yang melihat Ibn Miskawaih sebagai seorang sejarahwan.

Sebagai seorang pustakawan, Ibn Miskawaih memiliki kesempatan untuk menelaah berbagai buku serta mempunyai kesempatan pula berdiskusi dan berdialog keislamaan atau pemikiran Yunani dengan berbagai tokoh pemikir saat itu. Kecuali itu, banyak sumber yang mengatakan, bahwa Ibn Miskawaih dalam bidang filsafat berguru dengan Yahya Ibn `Adi (w 974 M).

Dalam menelaah karya-karya filsuf Yunani ini Ibn Miskawaih banyak memanfaatkan tulisan-tulisan terjemahan yang berbahasa Syria. Sebagai bukti terlihat adanya tempat-tempat dalam karya Ibn Miskawaih yang mengutip literatur berbahasa Syria tentang logika Aristoteles. Dan memang menurut informasi al-Khawansary, bahwa Ibn Miskawaih telah mempelajari bahasa-bahasa kuno, di antaranya bahasa Syria.[11]

Dalam bidang politik, Ibn Miskawaih tidak banyak mencurahkan perhatiannya, sehingga pemikiran etikanya pun kurang membicarakan hubungan etika dengan politik. Hal ini pulalah barangkali sebagai jawaban atas keheranan Margoliwath kenapa Ibn Miskawaih tidak diungkap oleh Abu Syuja` ataupun Hilal yang membicarakan Bani Buwaih secara rinci.[12]

`Abd. Rahman al-Baidawy[13] dalam pengantar edidnya terhadap kitab al-Hikmah al-Khalidah memberikan kesimpulan, bahwa Ibn Miskawaih tidak banyak mempelajari filsafat teoritis meskipun banyak kesempatan dimana adanya guru-guru yang ahli dalam ilmu-ilmu hikmah, seperti Abu Sulaiman al-Mantiqy dan Abu al-Hasan Al-`Amiry.

Menurut al-Tawhidy, Ibn Miskawaih adalah seorang yang fakir di kalangan orang-orang kaya yang berarti bahwa Ibn Miskawaih tidak terlalu larut dalam mengumpulkan kekayaan material.[14] Berdasarkan pernyataan al-Tawahidy ini, barangkali tamak yang dimaksudkan oleh al-Badawy di atas kurang beralasan atau ia melihatnya dari segi pandangan umum.

Ibn Miskawaih mengungkapkan dalam kitab Tahzib al-Akhlaqnya[15], bahwa ia adalah seorang yang pernah bekerja di bawah bimbingan orang lain yang telah memaksanya untuk menulis sajak atau menggubah yang semacam itu dan mengikuti kebesarannya kemudian ia memiliki kurang kesempatan untuk berhubungan dengan orangorang sekelilingnya, dan dalam hal kesenangan badan, ia cenderung minum-minuman,makan-makanan, per-hiasan dan segala bentuk kesenangan duniawi. Memperhatikan ungkapan Ibn Miskawaih di atas, terlihat bahwa memang Ibn Miskawaih pernah berperilaku yang kurang baik (amoral) di masa hidupnya, tetapi bukan berarti ia munafiq, karena kita Tahzîb al-Akhlâq sebagai kitab etikanya ditulis saat-saat hari tuanya.

Merujuk perjalanan sejarah Islam, Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan `Addu al-Dawlah (978-983 M). seorang penguasa generasi ke dua raja Buwaih dan merupakan raja Buwaih yang paling terkenal. Pada masa pemerintahannya ditandai dengan adanya toleransi antar mazhab; syi`ah malah nyaris pada masa-masa ini mendapat angin baik untuk berkembang dan berdampingan dengan empat mazhab lainnya. Kecuali itu, pada masa gerasi Buwaih kedua ini ditandai pula dengan menyuburnya unsur Persia dan Islam, pendeknya Persia sama dengan Arab.[16]

Muhammad Arkoun[17] dalam penelitian disertsinya menambahkan bahwa masyarakat Ray pada masa-masa kehidupan Ibn Miskawaih ini mayoritas menganut mazhab hanafiah dari orang-orang Najjar yang kelihatannya cenderung mendapat tempat dan dilindungi oleh pemerintah. Dengan demikian berarti, Ibn Miskawaiah dikelilingi oleh masyarakat Muslim yang banyak menganut mazhab hanafiah yang memang merupakan mazhab yang menggunakan ra'yu sebagai salah satu argumen relijiusnya.

Pada masa-masa kehidupan Ibn Miskawaih ini, kelihatannya raja-raja dan para pembesar lainnya cenderung merangkul para sarjana dan ilmuan guna memberikan sokongan bagi kepemimpinannya di samping juga untuk meningkatkan prestise mereka.[18]

Apabila diperhatikan tanggal kelahiran Ibn Miskawaih, ternyata beliau hidup pada masa Abbasi periode 334 - 447 M. Pada masa-masa ini, berbagai ilmu pengetahuan telah berkembang sangat pesat, terutama dalam bidang bahasa, sastera dan cabang-cabangnnya, tarikh dan filsafat.[19]

Sistem khalifah pada masa itu telah terpecah-pecah. Bahkan pada tahun 935 M telah terjadi proses disintegrasi yang begitu kompleks, Iran Barat telah berada dalam kekuasaan Buwaihi, Irak di bawah naungan Hamadanid, Mesir dan Syria telah jatuh dan menyerah pada Ikhshydid, Afrika telah dikuasai oleh Fatimid, Spanyol oleh Ummayyah, Transoxian dan Khurasan telah dikuasai oleh Samanid, Arab Selatan dan Bahrein berada dalam kekuasaan Karmathian, dan tinggal hanya Baghdad dan sebgaian Babilonia yang masih tetap berada dalam kekuasaan khalifah.[20]

Masuknya keluarga Buwaih yang berusaha menguasai dan mendesak orang-orang Turki di Baghdad merupakan titik awal status khalifah hanya sebagai beneka orang-orang Buwaih. Ahmas salah seorang putera Buwaih yang kemudian bergelar Mu`iz al-Dawlah (w. 967 M) telah mendaulat dirinya sebagai seorang yang berkuasa penuh di Baghdad dan menjadi raja pertama dinasti Buwaih pada tahun 945 M. Mu`iz al-Dawlah ini terkenal dengan sifat-sifatnya yang emosional dan kasar, sehingga wajar jika khalifah yang ada pada masanya diperlakukan dengan kasar. Keberadaannya membuat beban besar bagi rakyat, tingkah lakunya diisi dengan keburukan-keburukan.[21]

Puteranya Bakhtiar yang bergelar `Iz al-Dawlah sebagai pengganti ayahnya dari tahun 967-978 M, memiliki kepribadian yang sama dengan ayahnya. Penguasa Buwaih berikutnya adalah `Addu al-Dawlah (978 - 983 M). `Addu al-Dawlah ini dinilai oleh para sejarahwan Islam klasik sebagai seorang penguasa dinasti Buwaihi yang efektif dan mengabdikan dirinya sebagai penguasa yang mementingkan kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Banyak mesjid yang didirikannya, saluran irigasi diperbaikinya, pasar diadakannya, serta hubungan orang-orang Arab dan Persia dibinanya. Pusat kekuasaannya tetap di Persia. Setelah beliau tidak ada lagi penguasa dinasti Buwaihi menyamai prestasinya.

Pada masa `Addu al-Dawlah, keseimbangan antara orang-orang Turki dan Dailami sebagai tentara selalu terjaga dan terpelihara. Gaji mereka selalu diberikan secara teratur dan memadai. Setelah masa `Addu al-Dawlah keseimbangan seperti ditinggalkan oleh para penguasa selanjutnya, sehingga persoalan tentara pada masa-masa selanjutnya menjadi sumber kekacauan dalam kerajaan Buwaihi ini.

`Addu al-Dawlah adalah seorang yang memiliki perhatian yang besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan para intelektual. Dicatat bahwa pada masanya telah diadakan semacam majlis tempat berkumpul para fuqaha' dan ulama untuk mendiskusikan berbagai ilmu pengetahuan di dalam ruang khusus di dalam rumah `Addu al-Dawlah itu sendiri.[22] Menurut Ibn Atsir,[23] ‘Adud al-Dawlah adalah salah seorang penguasa dinasti Buwaihi yang sangat mencintai ilmu dan ulama, fuqahâ’, mutakallimûn, ahli qurâ’, para dokter, ahli hisab dan insinyur. Hal yang sama juga terdapat pada wazirnya Ibn ‘Amid di mana Ibn Miskawannya. Ibn Mikawaih sendiri memuji kepribadian Ibn ‘Amid yang bagus.[24]

Ekonomi masyarakat pada masa ini cukup baik, karena ‘Abduh al-Dawlah mampu memberikan masukan dana pada kerajaan.

Adapun pemikiran etika yang berkembang pada masa Ibn Miskawaih pertama-pertama adalah moral Diniyah, yakni moral Sufiyah yang berkembang di dunia Islam saat itu.[25]

Paling tidak dalam ajaran-ajaran moral sufi terdiri dari tawakkah, sabar, ridha dan raja'. Tawakkal tidak lain adalah menyandarkan segala sesuatu pada Allah SWT dan hanya Allah SWT Pelaku segalanya. al-Ghazali[26] memberi istilah ini dengan "iman yang yakin pada Allah SWT". Sabar adalah menjadikan segala derita sebagai suatu cobaan yang mesti ada didunia fana ini, serta menjadikannya sebagai langkah untuk taqwa, iman dan menyerahkan segalanya hanya kepada Allah SWT.[27] Ridha meliputi sikap qana'ah dan zuhud dalam kehidupan dan ibadah, karena kebahagiaan akhirat hanya akan terwujud dengan bertaqwa dan menahan diri dari berbagai godaan hawa nafsu. Dan yang paling penting dalam hal ini adalah memutuskan keterkaitan hati pada kehidupan duniawi dan menekuni hidup menyendiri.[28] Sedangkan raja' merupakan aktivitas menghubungkan diri dengan alam lain di luar diri kita. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui berkhalwat, jauh dari kehidupan duniawi, sehingga esensinya mencapai tingkat yang paling tinggi.

Kecuali itu, pada masa Ibn Miskawaih ini juga telah berkembang moral filosofi.[29] `Abdul `Aziz `Izzat[30] telah mencatat, bahwa moral filosofis ini meletakkan kebahagiaan itu dalam dua bentuk. Yang paling dekat bagi manusia, yaitu kebahagiaannya di antara teman-temannya dalam masyarakat di satu sisi dan kebahagiaan yang jauh, yaitu kebahagiaan di alam akhirat. Bentuk moral seperti ini secara khusus berasal dari India. Filsafat India telah tersebar di kalangan orang-orang Arab melalui perdagangan dimana Persia sebagai sentral India dan Arab. Selain itu, terjemahan-terjemahan filsafat pada masa al-Mansur dan al-Rasyid banyak yang berasal dari bahasa Persia di samping juga dari bahasa Sansekerta. Di antara terjemahan ini adalah terjemahan Ibn Muqaffi` al-Farisy (w.757 M).[31] Ibn Muqaffi` sendiri diduga memiliki kitab al-Kabir yang berisikan filsafat moral, baik moral pemerintahan maupun moral kemasyarakatan. Selain itu ia juga memiliki kitab al-Adab al-Saghir yang berisikan pengajaran-pengajaran dan filsafat. Berdasarkan informasi Ahmad Amin[32] dapat diketahui, bahwa Ibn Muqaffi` ini mempunyai berbagai macam karya filsafat yang ditransfernya dari kitab-kitab yang berbahasa Persia.

Etika yang berkembang pada masa Ibn Miskawaih satu sisi adalah etika Sufi dan di sisi lain adalah etika filosofi. Yang terakhir ini kelihatannya berkembang dari kalangan istana, karena memang para filsuf pada masa itu senderung dirangkul untuk melegatimasi posisinya.[33]

Mayoritas masyarakat Ray pada masa Ibn Miskawaih, menganut paham ini memang mendapat tempat dan perlindungan, sehingga meniscayakan masyarakatnya banyak mengadopsi pokok-pokok pikiran yang lahir dari al-Qur'an.[34] dan cenderung memposisikan "ra'yu" sebagai salah satu landasan pemikiran keagamaannya. Ditinjau dari segi ini, wajar jika kota Rai banyak melahirkan filsuf-filsuf ternama, seperti al-Razi (w.925) dan Ibn Shina (w. 1037 M).

Sebagai seorang cendikiawan, sejarahwan dan filsuf, Ibn Miskawaih meninggalkan berbagai macam karya tulis, antara lain:

1. Kitâb Tahzîb al-Akhlâq.

2. Kitab al-Fawz al-Asghar.

3. Kitab al-Sa`adah.

4. Kitab Tajarib al-Umam.

5. Kitab Jawidan Khirad.

6. Al-Hawamil wa al-Shawamil.

Kecuali itu, Ibn Miskawaih juga memiliki Risalah-Risalah yang terdiri dari berbagai persoalan, antara lain:

1. Risalah fi Mahiyat al-`Adl.

2. Al-`Aql wa al-Ma`qul.

3. Risalah Al-Wasiyyah

Kecuali itu, banyak lagi risalah-risalah Ibn Miskawaih lainnya yang belum diterbitkan, seperti Risalah Fi al-Lazzat Wa al-`Alam; Maqala Li al-Ustaz Abi Ali Miskawaih Fi al-Nafs Wa al-`Aql Wa Hiya Jawab al-Sa'ilin Sa'aluhu 'Anhuwa Wa Hallu Sukukin Adrakaha fi al-Jauhar al-Basil al-Qaim bi Nafsih, Risalah fi al-nafs wa al-`aql; Wa min Risalah fi al-tabi`a; Wa min Risalah fi Jawhar al-Nafs; Fi al-Bahthi 'Anha'; Maqala Fi al-Nafs; al-Ma'qulat al-Talat Fi Itba'i al-Suwar al-Ruhaniyya Allazi La Hayula Laha Min Kalami Aristutalis; Fi Itbati Dzalika Aydan ; Fi Itbati Dzalika Aydan Fi 'Illah Ula; Ma al-Fashl Bayn al-Dahr Wa al-Zaman?[35]

Moralitas sebagai produk kebebasan manusia

Persoalan kebebasan dalam moral merupakan persoalan mendasar dalam bidang etika. Hal ini mengingat karena kebebasanlah manusia itu dapat diminta pertanggungjawaban atas tindakan dan ucapannya. Hal ini disebabkan karena kesadaran sebagai pengarah terwujudnya suatu tindakan moral tidak dapat dilepaskan dari faktor kebebasan manusia dalzam menentukan pilihan moral untuk dirinya, sehingga dapat dikatalkan bahwa kebebasan merupakan unsur esensial dalam pembentukan perilaku moral manusia. pendeknya, nilai-nilai moral juga berasal dari kebebasan dan memang karena manusialah yang menciptakan nilai-nilai itu.[36]

Prinsip-prinsip kebebasan moral berkaitan dengan persoalan otonomi. Otonomi moral itu sendiri mensyaratkan kebebasan individu dalam melakukan perbuatan moral dengan berdasarkan atas pilihannya yang secara sadar diperuntukkan untuk dirinya.[37] Hal ini didasari oleh pemikiran, bahwa hanya karena manusia itu memiliki kebebasanlah, maka ia akan dapat dibebani kewajiban dan tanggungjawab moral.[38]

Kebebasan merupakan syarat untuk aktualisasi moral dalam masyarakat. Tertib sosial adalah hasil pilihan individu-individu dalam suatu masyarakat, sehingga setiap orang yang bergabung di dalamnya pun mesti bertanggung jawab atas implementasinya yang memang merupakan tugas dan fungsi diri individu-individu itu sendiri sebagai manusia.[39]

Kecuali itu, kebebasan manusia ditandai pula dengan kepatuhannya menjalankan norma-norma sosial dan agama sebagai suatu kemestian. Hal ini tidak lain mengingat norma sosial dan agama itu memuat ajaran-ajaran moral yang mana manusia yang menggunaskan kebebasannya secara baik dan tepat dalam menentukan pilihan untuk dirinya secara niscaya akan cenderung pula pada kepatuhan akan norma-norma tersebut.

Ibn Miskawaih mengatakan, bahwa puncak dari perolehan kebajikan moral dari usaha bebas manusia adalah menjalankan syari`ah Agama secara baik dan benar. Hal ini karena memang di dalam Agama terakumulasi nilai-nilai yang dibutuhkan oleh manusia untuk mengembangkan dirinya sampai pada level yang paling tinggi dari jajaran manusia.[40]

Kendatipun ada yang berpendirian akan kehendak bebas, namun mereka tetap mengakui bahwa manusia yang berbuat secara bebas pun digerakkan oleh suatu kekuatan yang ada di dalam diri manusia yang memang bersifat kesusilaan, yaitu dalam bentuk kepatuhan akan norma, sehingga kebebasan manusia tampil dalam bentuknya yang terikat kepada norma.[41]

Lebih jauh lagi Erich Fromm[42] mengungkapkan, bahwa pertumbuhan kebebasan manusia selalu memperlihatkan ciri dialektik. Di satu sisi ia merupakan proses tumbuhnya kekuatan akal budi dan solideritas dengan orang lain, namun di sisi lainnya ia justru merupakan proses keterasingan dan rasa ketidak-anmanan manusia. Pendeknya, manusia senantiasa dililit oleh dua kekuatan, yaitu merasa kuat dengan akal yang dimilikinya, namun pada sisi lain ia justru merasa hampa. Oleh karena itu wajar jika banyak ahli yang mengemukakan kebebasan pada akhirnya juga terjebak ke dalam deterministik, yang menurut Dister Nico Syukur [43] manusia memang tidak dapat lari dari dua dimensi itu, karena keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan. Yang jelas, seseorang hendaklah melakukan apa yang dianjurkan oleh norma-norma sosial dan agama jika memang ia memiliki landasan bebas untuk menentukan bahwa apa yang dianjurkan oleh agama itu merupakan sesuatu keistimewaan tambahan sebagai sesuatu yang harus dilakukan.

Berkaitan dengan persoalan moral ini pula, ada dua bentuk sistem pemikiran, yaitu apa yang disebut dengan paham deontologis dan paham teleologis. Deontologis adalah suatu paham yang menekankan suatu perbuatan moral bukan pada nilai instrinsik dari konsekuensi perbuatan. Perilaku baik dan bajik hanya karena perbuatan itu sendiri. Teleologis adalah paham yang lebih menekankan perbuatan moral pada nilai instrinsik dari konsekuensi suatu perbuatan.[44] Dengan kata lain, paham teleologis menjadikan right mendahului good. Maksudnya, bahwa setiap perbuatan yang dinilai benar, maka ia adalah juga perbuatan yang baik. Lain halnya dengan paham deontologis, baginya antara right dan good sama sekali tidak ada kaitan. Perbuatan yang benar adalah perbuatan menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang tidak benar. Perbuatan moral dalam paham ini biasanya apa yang telah diatur dan ditetapkan pada aturan-aturan dan norma-norma.[45]

Mengenai alasan kenapa orang mesti melakukan suatu tindakan moral, ada yang memberikan tekanan pada unsur individualistik atau egoistik dan ada pula yang justru mengaksentuasikan pada unsur kolektivistik atau altruistik.

Yang individualistik atau egoistik adalah sikap moral yang melihat suatu tindakan berdasarkan pada kepentingan dirinya sendiri, bukan pada orang lain di luar dirinya.[46] Yang menjadi asumsi dasar paham ini tidak lain adalah, bahwa jika seseorang ingin meraih suatu tujuan, secara niscaya tentulah ia melihat pada dirinya sendiri. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, bukan berarti individualisme atau egoisme adalah egois dalam segala hal. Posisinya sama dengan utiliterianisme yang mengandaikan, bahwa kebahagiaan umum akan meningkat jika masing-masing orang melihat keinginan dirinya sendiri.[47]

Egoisme terbagi pada dua bentuk, egoisme psikologik dan Egoisme etis. Egoisme psikologik menekankan, bahwa apa saja yang dilakukan manusia adalah untuk kepentingan dirinya sendiri tanpa peduli apakah tindakan tersebut memenuhi kepentingan orang lain atau tidak. Egoisme etis memandang, bahwa orang mesti berbuat dalam kepentingannya sendiri, namun orang akan berusaha agar kepentingannya sejalan dengan moralitas dan ke-baikan umum.[48]

Adapun altruisme adalah suatu paham yang memberikan tekanan perbuatan moral pada tindakan atas dasar kepentingan orang lain. tindakan moral kategori ini juga terbagi kepada dua bagian, yaitu altruisme psikologik dan altruisme etis. Yang pertama menekankan bahwa manusia secara alami bertindak demi keuntungan orang lain, sedangkan yang kedua memandang bahwa orang mesti berbuat demi kepentingan orang lain.[49]

Dalam menjawab persoalan bagaimana manusia dapat mengetahui nilai suatu tindakan, secara garis besar dapat dikelasifikasikan kepada beberapa kelompok, yaitu:

1. Teistik subjektif; right tidak memiliki arti objektif, right tidak akan pernah dapat diketahui melalui akal semata, tetapi mestilah dengan wahyu atau yang merujuk pada wahyu. Suatu tindakan dikatakan benar jika memiliki kesesuaian dengan dengan kehendak dan perintah Allah SWT.

2. Rasionalisme objektif; right memiliki arti yang objektif, right dapat diketahui melalui akal tanpa mesti merujuk pada wahyu. Suatu tindakan dikatakan benar jika memiliki kualitas benar dalam dirinya.[50]

Kecuali itu, sejarah telah mencatat, bahwa sejak zaman Yunani Kuno, persoalan moral telah menjadi perhatian khusus oleh para ahli. Realitas sejarah menunjukkan, bahwa standar moral terus berkembang sesuai dengan masanya dari yang primitif, tradisional sampai pada yang bersifat rasional.

Standar moral manusia tergantung pada tingkat perkembangan sosialnya, intelegensinya dan ilmu pengetahuan yang berkembang. Moralitas yang tumbuh dalam kehidupan manusia merupakan pembuka bagi kehidupan yang baik menuju kehidupan yang bahagia dan penuh makna. Problem moral bukan sekedar problem moral itu saja, tetapi juga merupakan problem sosial, ekonomi dan politik.[51]

Di dalam perilaku moral, faktor terpenting adalah bagaimana daya-daya jiwa manusia berperan menurut proporsi masing-masing melalui pemberdayaan peran akal semaksimal mungkin. Hanya akal yang sempurna aktivitasnyalah yang dapat menjaga keselarasan dan keharmonisan hubungan daya-daya jiwa ini.[52] Sedangkan untuk memungkinkan manusia menyukai dan melakukan perbuatan moral, perlu adanya kesadaran diri. Akal, hati nurani dan kesadaran diri memang merupakan segi-segi eksistensi original manusia yang memilki peranan penting dalam perwujudan perilaku moral.[53]

Mengenai pentingnya kesadaran ini dalam perilaku moral manusia, I.R.Poudjawijatna[54] mengatakan bahwa kesadaran moral berarti kesadaran manusia untuk selalu berbuat baik. Oleh karena itu, moral dapat menjadi tuntunan atau pedoman manusia dalam menjalankan kehidupannya, di samping juga menjadi pengarah bagi manusia dalam menentukan perbuatan moralnya. Moral mengarahkan manusia untuk bertingkah laku baik, dan manusia itu sendiri pada dasarnya juga memiliki kecenderungan untuk berbuat baik. Manusia yang sadar selalu cenderung untuk memilih perilaku yang baik, karena memang ia yakin bahwa yang dipilihnya itu adalah baik. Manusia tidak hanya ikut-ikutan saja dalam menentukan pilihan tingkah lakunya.

Iqbal[55] mengatakan, bahwa kesadaran adalah intisari bagi terlaksananya suatu kegiatan, termasuk di dalamnya moral. Kesadaran merupakan satu-satunya jalan menuju realisasi diri manusia. Oleh karena itu, kesadaran merupakan persyaratan mutlak bagi tuntutan kewajiban moral manusia. Kesadaran dalam Islam dapat dimaknai dari watak esensial ruh yang bersifat memimpin dan mengarahkan, karena ia bergerak dari energi memimpin dari Tuhan. Kesadaran tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya kebebasan, sehingga dapat dikatakan bahwa moralitas menuntut adanya kesadaran sedangkan kesadaran meniscayakan kebebasan

J.J.Rousseau mengatakan, bahwa kebebasan merupakan unsur esensial manusia dalam pembentukan perilaku moral, sebab hanya dengan kebebasanlah orang dapat berpikir jernih, karena eksistensinya tidak sedang dalam pengaruh sesuatu yang lain di luar dirinya. Tegasnya kebebasanlah yang memungkinkan orang dapat berperilaku moral. Moralitas tanpa kebebasan adalah omong kosong, karena moralitas itu sendiri adalah bukti bagi kebebasan manusia itu sendiri.[56]

Adapun faktor keadilan merupakan faktor yang turut menentukan hidup suburnya perilaku moral di tengah-tengah masyarakat. Keadilan adalah suatu sikap orang yang berkuasa yang memberikan kesempatan merata bagi semua rakyatnya untuk menentukan di-rinya.[57] Jika kebebasan adalah sesuatu yang mesti ada dalam perwujudan perilaku moral, maka keadilan merupakan kondisi yang memungkinkan manusia secara bebas dapat menentukan perilaku moral untuk dirinya.

Kebebasan dan Pluralitas dalam Moral vis a vis Normatias Agama

Ibn Miskawaih melihat, bahwa apabila dalam diri manusia telah terbentuk fungsi-fungsi jiwa yang bekerja secara harmonis dan tetap merujuk pada putusan akal yang murni, maka perilaku moral yang dihasilkannya pun akan tetap baik dan bermoral.[58] Fungsi-fungsi jiwa yang telah terbina dan terdidik, seseorang akan dapat menentukan sikap diri yang baik dalam menentukan moral, sehingga pengaruh dalam bentuk apa pun tidak dapat menjadikannya goyah dalam pengambilan keputusan-keputusan moral untuk dirinya. Stabilitas dan keseimbangan kerja daya-daya jiwa merupakan syarat mutlak untuk terwujudnya kebahagiaan sebagai sasaran etikanya.

Selain itu, Ibn Miskawaih yakin, bahwa jika akal mampu menguasai dua daya jiwa lainnya, niscaya akan menghasilkan kebaikan dan kebajikan moral yang dapat mengantarkan subjeknya pada kebahagiaan (sa`adah). Perilaku baik dan bajik dalam konteks etika Ibn Miskawaih selalu mengacu pada perolehan kebahagiaan bagi pelakunya. Karena kabahagiaan yang dimaksudkan dalam teori etikanya tidak lain adalah moral sa`¯adah (kebahagiaan yang berdimensi moral) yang lepas dari aspek material, maka perilaku moral itu pun mengarah pada satu tujuan yang sama bagi semua orang.

Mengingat tujuan kebaikan dan kebajikan moral itu terarah pada satu tujuan, maka secara esensial tidak akan ada tindakan moral yang berbeda-beda (plural). Meskipun terdapat orang berbeda-beda dalam cara mendekati dan mengarahkan dirinya pada tujuan moralnya, namun pada prinsipnya mereka menginginkan tujuan yang sama, yaitu kebahagiaan yang sejati (moral sa`¯adah). Jadi, dalam hal ini terlihat, bahwa Ibn Miskawaih tidak mengakui adanya pluralitas dalam moral. Baginya, karena sesuatu yang mengarah pada yang satu secara esensial adalah satu, maka secara niscaya moralitas manusia tetap tidak bersifat plural. Sa`¯adah bagi Ibn Miskawaih terfokus pada bagaimana seseorang itu mesti hidup yang baik dan bajik, sehingga sa`¯adah adalah standar bagi perbuatan yang baik dan bajik.

Mengingat bahwa perbuatan moral bagi Ibn Miskawaih adalah perbuatan yang mengarah pada peraihan kebahagiaan seseorang, maka nilai kebaikan di sini tentulah bersifat teleologis. Perilaku baik dan bajik diidentifikasi oleh Ibn Miskawaih sebagai suatu yang terrealisasi dalam kehidupan yang bahagia (sa`¯adah) yang mesti menjadi relatif bagi setiap kepentingan orang perorang. Kecuali itu, karena kebahagiaan itu secara niscaya bersifat individualistis dan relatif, maka tentu menjadikan perbedaan tingkah laku dalam kehidupan manusia dapat dipertanggungjawabkan. Eksistensinya sangat tergantung pada keberadaan nilai-nilai rasional yang ada padanya.. Dengan demikian terlihat, bahwa Ibn Miskawaih menjadikan hikmah sebagai hasil dari upaya kerja daya na¸tiqah mendahului tindakan moral. Hikmah dalam hal ini ditampilkan sebagai pertimbangan perilaku moral. Pembenaran suatu tindakan moral sangat tergantung pada bagaimana subjek moral mendayagunakan daya na¸tiqahnya. Jika demikian, berarti patokan moral bersifat relatif, karena penggunaan daya na¸tiqah ini juga sangat tergantung pada pemiliknya. Hal ini menunjukkan, bahwa Ibn Miskawaih memberikan pengandaian adanya pluralitas dalam moral. Kebaikan dan kebajikan moral di sini tergantung pada faktor subjektivitas pelaku moral, bukan pada suatu tatanan yang telah dianggap matang adanya.

Di lain pihak, apabila diperhatikan lebih lanjut, pertimbangan hikmah sebagai bentuk nyata dari pembenaran tin-dakan moral yang ditampilkan Ibn Miskawaih tidak mengacu pada mempertentangkan kebahagiaan (sa`¯adah) subjek moral dengan tuntutan moral. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa sesuatu perbuatan yang baik dan bajik itu bagi Ibn Miskawaih tergantung pada pandangan subjek moral yang bersifat individualistis, karena teori etikanya yang justru mengandaikanbahwa setiap manusia memiliki pandangan moral yang sama.

Kecuali itu, perilaku moral pada dasarnya tidak lain adalah semacam tindakan yang bercermin pada tindakan-tindakan yang ilahiyah. Sasaran moral Ibn Miskawaih tidak lain adalah berperilaku seperti perbuatan Tuhan. Sedangkan perbuatan Tuhan selamanya tanpa pamrih. Hal ini berarti, bahwa kebaikan dan kebajikan moral yang sesungguhnya merupakan bahagian integral dari kebaikan dan kebajikan semua subjek moral. Setiap orang akan mengorientasikan segala tindakan moralnya hanya pada pentransformasian sifat-sifat ilahiyah ke dalam dirinya. Sedangkan sifat Tuhan selamanya tidak tampil dalam bentuknya yang plural, maka secara niscaya perilaku moral manusia itu pun tidak akan pernah mengambil bentuknya yang plural.

Ibn Miskawaih memberikan pengandaian, bahwa perilaku moral bersumber pada subjek moral. Sifat dan bentuknya universal, sehingga semua orang, dengan akal sehatnya, tetap menerima kebaikan dan kebajikan moral.

Meskipun ada pendapat yang mengatakan, bahwa perbuatan moral tidak lain adalah sikap seseorang dalam mengambil keputusan di mana sifatnya sangat tergantung pada diri seseorang yang secara niscaya melahirkan pluralitas dalam moral, namun bukan berarti tidak ada fakta yang dapat dijadikan sebagai alat pengukur suatu tindakan moral. sebaliknya, tindakan moral adalah tindakan yang lahir dari pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang buruk, sehingga eksistensinya pun dapat diajarkan. Ibn Miskawaih dalam hal ini cenderung melihat perilaku moral itu dari segi moral sebagai sikap dan moral sebagai pengetahuan yang kebenarannya dapat diuji. Untuk yang terakhir ini, agaknya yang dimaksud adalah patokan-patokan yang dapat dianggap sebagai karakteristik suatu perbuatan yang baik. Dari kriteria-kriteria perbuatan yang baik inilah akan diketahui apakah suatu tindakan itu dapat dikategorikan pada perbuatan moral atau tidak.

Berbicara masalah yang "baik"secara niscaya tidak terlepas dari keputusan moral. Sedangkan keputusan moral erat kaitannya dengan bentuk nilai (virtues) yang menjadi bahan pertimbangan perilaku moral. Nilai (virtues) itu ada dua macam, ada yang sifatnya instrinsik dan ada pula yang ekstrinsik. Aktivitas moral dalam konteks pemikiran Ibn Miskawaih mengandaikan kebaikan dan kebajikan moral mencakup kedua aspek itu.

Mengenai apa yang menjadi sumber perbuatan moral, Ibn Miskawaih mengungkapkan, bahwa moralitas dapat berasal dari diri manusia sebagai makhluk indididu dan sosial dan dapat pula berasal dari sumber normativitas Agama. Konsekuensinya, Ibn Miskawaih berarti mengakui adanya subjektivitas dan objektivitas dalam moral.

Ibn Miskawaih mengakui, bahwa kebajikan (virtues) merupakan bukti nyata dari kebebasan manusia. Kebebasan manusia dalam menentukan kemanusiaan ini ditandai dengan upayanya melepaskan diri dari cengkeraman hawa nafsu yang selalu cenderung kepada kebahagiaan-kebahagiaan material yang hanya bersifat sementara. Jadi, kebebasan manusia dalam konteks teori etika Ibn Miskawaih ini lebih bersifat kebebasan eksistensial, bukan kebebasan substansial. Kebebasan bagi mereka dimaknai dengan terbebas dari kekuatan-kekuatan yang dapat mengganggu optimalisasi upaya manusia dalam meraih kebahagiaan hakiki yang memang diinginkan oleh setiap manusia berakal.

Ibn Miskawaih sebagai seorang filsuf Muslim yang lebih mengedepankan peranan rasio dalam setiap pemikiran etikanya menjadikan ajaran-ajaran moralnya bersifat rasional dan lebih dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun Ibn Miskawaih mengandaikan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang secara bebas dapat menentukan perilaku moral-nya, namun ia tetap melihat, bahwa kehadiran syari`at bukanlah menjadi sesuatu yang dapat mengganggu dan atau mengurangi eksistensi kebebasan manusia. Ibn Miskawaih justru mengandaikan, bahwa perilaku moral rasional itu juga ditandai dengan adanya pengakuan individu itu pada dogma-dogma normatif yang bersumber dari syari`at.

Pendialektikan antara kebebasan manusia dan kehadiran norma Agama dilandasai oleh suatu keyakinan dasarnya, bahwa norma Agama merupakan aturan-aturan yang dapat mengarahkan manusia menjadi bermoral. Manusia bebas untuk menerima atau tidak menerima suatu norma. Norma tidak mengikat dan memaksa manusia untuk melakukannya. Dengan kata lain, norma tetap memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih dan memutuskan tindakannya. Hanya saja, karena sifatnya yang memang berisi nilai-nilai kebajikan, maka manusia yang terbebas dari kungkungan dorong-an hawa nafsu akan tetap memberikan keputusan untuk me-nerima sebagai suatu ajaran yang mesti direalisasikan dalam bentuk tindakan.

Kecuali itu, dilihat dari motiasi moralitas, Ibn Miskawaih memandang kebaikan dan kebajikan moral sebagai sesuatu yang menjadi milik pribadi yang dalam. Kebaikan dan kebajikan senantiasa meliputi hubungan individu dengan Sang Pencipta (Khaliq). Adanya ide penyucian diri (self-purification) dan peraihan kebahagiaan (sa`¯adah) sebagai tujuan etika adalah sebagai bukti nyata, bahwa kebaikan dan kebajikan itu bersifat individualistis.

Pemikiran Ibn Miskawaih tidak dapat sepenuhnya digolongkan pada kelompok egoisme, karena konsep keadilan sebagai puncak kebaikan dan kebajikan moral yang dikemukakannya tidak lain adalah sebagai manifestasi dari perwujudan sikap hidup seseorang dalam menghadapi orang lain di luar dirinya.

Dalam kitab Tahz¯ib al-Akhl¯aqnya, Ibn Miskawaih menegaskan, bahwa seseorang tidak dapat dikatakan adil jika ia belum memuliakan isterinya, sanak famili isterinya atau bahkan belum mengenal isterinya secara mendalam. Lebih lanjut, Ibn Miskawaih menyebutkan, bahwa orang yang paling baik adalah orang yang melaksanakan apa yang terbaik bagi keluarganya, sanak keluarganya (familinya), juga ke-rabatnya yang meliputi saudara, orang tua, keturunan, relasi kerjanya, tetangga dan para temannya.[59]

Selain itu, adil dalam konteks Ibn Miskawaih juga diidentikkan dengan ketaqwaan kepada Allah SWT, karena baik adil maupun taqwa sama-sama merupakan perilaku insaniyah yang tampil sebagai puncak dan kesempurnaan bagi semua perilaku baik dan bajik.[60] Pendeknya, orang adil adalah juga orang yang taqwa kepada Allah SWT, sedangkan orang yang taqwa kepada Allah SWT secara niscaya adalah juga orang yang adil.

Meskipun Ibn Miskawaih menjadikan keadilan sebagai kebaikan dan kebajikan tertinggi dalam teori etikanya, namun apabila dianalisis lebih lanjut, ide keadilan yang ditampilkannya ini pun juga tidak terlepas dari kebajikan pribadi dalam kaitannya dengan Yang Maha Kuasa. Yang diutamakan di sini adalah hubungan pribadi dengan Pencipta, bukan bagaimana kaitannya dengan kebajikan orang lain di luar dirinya. Nilai baik dalam konteks teori etika Ibn Miskawaih ini kurang menyadari akan adanya eksistensi orang lain selain diri individu dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, karena semua tindakan moral selalu berorientasi pada kepentingan individu itu sendiri. Hubungan antar manusia pun adalah dalam rangka peningkatan kualitas relasi pribadi bukan kolektif.

Kecuali itu, ide Ibn Miskawaih tentang kebahagiaan (sa`¯adah) sebagai realisasi etikanya berada dalam keselarasan antara berbagai daya-daya jiwa, al-na¸t¯iqah, al-gha¸dabiyah dan al-shahwaniyah dengan objek-objek yang dapat menampilkan suatu kebajikan lain yang ia namakan dengan `adalah. Karena `adalah itu sendiri tidak lain adalah suatu bentuk kebajikan yang secara otomatis berhadapan dengan orang lain di luar diri seseorang, maka kehidupan bermasyarakat seperti mencintai dan menghormati orang lain semisal tetangga dan teman merupakan bagian yang terpenting pula dalam teori etikanya.

Dari sisi lain, jika Ibn Miskawaih mengandaikan, bahwa moralitas itu tidak terlepas dengan kehidupan bermasyarakat, (meskipun Ibn Miskawaih dalam hal ini berorientasi untuk mengedepankan kepentingan diri individu), berarti keduanya tentu juga mengandaikan perlunya hukum-hukum moral dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Pendeknya, ia tentu menerima hukum sebagai suatu bentuk atau bahagian dari moral.

Ide Ibn Miskawaih yang seperti ini pada prinsipnya dilandasi oleh tesisnya, bahwa moralitas selamanya tidak akan pernah konflik sesamanya, sehingga jika seseorang telah memiliki moralitas yang tinggi, maka tidak akan pernah tidak diterima oleh individu-individu yang lainnya.

Selain itu, dalam kehidupan bermasyarakat, Islam menekankan, bahwa setiap individu hendaklah memandang orang lain itu sama seperti memandang diri sendiri. Tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain kecuali taqwa kepada Allah SWT.[61] Oleh karena itu, merupakan suatu kemestian dalam Islam untuk memperlakukan manusia itu sama tanpa memandang suku, bangsa, ras dan warna kulit. Pendeknya, tidak ada hak bagi seorang manusia untuk berbuat seenaknya dan memaksakan kehendaknya pada manusia lainnya. Sese-orang hendaklah senantiasa melakukan sesuatu yang tidak merugikan orang lain, apa lagi dirinya sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa dalam asas Islam tidak terdapat konflik antara kebebasan individu yang satu dengan individu yang lainnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia dalam Islam diharuskan untuk bekerja sama dalam meraih tujuan-tujuannya. Manusia berkewajiban untuk saling mengingatkan satu sama lainnya agar tidak terjerumus pada tindakan-tindakan yang merugikan dan mengajak orang lain untuk melakukan kebajikan-kebajikan.[62] Selain hubungan dengan Allah SWT, Islam juga menganjurkan untuk menjalin hubungan dengan sesama manusia.[63] Dengan demikian, tidak benar jika ada anggapan yang mengatakan, bahwa etika Islam bersifat individualistik dalam konteks teori etika moderen saat ini. Meskipun segala perilaku yang dilakukan manusia Muslim diarahkan semata-mata karena intres pribadinya, bukan ber-arti ia egois, karena memang setiap Muslim itu berkewajiban juga untuk menjaga kemaslahatan masyarakatnya.

Terlepas dari semua itu, secara psikologis tidak pernah ada moralitas itu bersifat egoistik murni dan tidak pula pernah ada yang bersifat altruistik murni. Hal ini dikarenakan kedua aspek itu memang merupakan sifat-sifat dasar insaniah manusia itu sendiri. Yang jelas, mengingat manusia itu selain makhluk individu dan sosial, ia adalah juga makhluk ber-moral dan relijius, maka nilai-nilai moral dan relijius itu pun mestilah terrefleksi dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu pula, hukum sebagai penyangga kehidupan bermasyarakat hendaklah dibangun di atas nilai-nilai moral. Hanya dengan cara demikian, hukum itu dapat berdiri kokoh dan tidak mudah digoyahkan oleh kekuatan apa pun juga.

Teori kebebasan memang memberikan penghargaan penuh pada tujuan-tujuan individu yang secara niscaya meng-arah pada kemajuan-kemajuan, namun mengingat individu-individu itu didorong untuk bebas menentukan arah dan corak tindakan mana yang ia inginkan, maka bagaimana bentuk perilaku moral yang ditampilkan seseorang, sepenuhnya tergantung kepada pemilihan bebas individu. Selain itu, teori kebebasan mengacu pada pengandaian, bahwa suatu tindakan termasuk di dalamnya tindakan moral adalah sebagai hasil dari usaha rasional individu, tetapi karena sifatnya yang individual di mana antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam banyak hal memilki perbedaan-perbedaan, maka perilaku-perilaku yang benar bagi seseorang belum tentu benar bagi yang lainnya, namun yang jelas, tindakan itu adalah benar secara rasional.

Pemikiran etika Ibn Miskawaih yang menjadikan akal sebagai tonggak terciptanya perilaku moral, menjadikan etikanya lebih mudah diterima oleh masyarakat moderen saat ini yang adalah juga begitu mengagungkan akal sebagai pencari kebenaran yang sesungguhnya. Dengan memberikan dominasi etika pada daya akal, secara niscaya melahirkan manusia-manusia yang kuat dalam meraih berbagai kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang menjadi karakteristik bagi dunia moderen. Meskipun demikian, yang perlu menjadi catatan tersendiri adalah apakah dengan adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berarti manusia telah berhasil meraih sasaran hakikat ke-manusiaan yang sesungguhnya?

Teori etika Ibn Miskawaih yang menempatkan keadilan (`adalah) sebagai bentuk kebaikan dan kebajikan tertinggi dalam kehidupan manusia merupakan pemikiran yang sangat berarti untuk pengembangan harkat dan martabat kemanusiaan dan dinilai tetap relevan bagi dunia moderen saat ini. Hal ini disebabkan, karena sikap moral seperti ini secara psikologis dapat memberikan dampak yang lebih luas dalam hidup dan kehidupan manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial, baik sebagai makhluk rasional maupun sebagai makhluk relijius.

Meskipun pemikiran etika Ibn Miskawaih ini masih dibayangi oleh pemikirannya yang bersifat egoistik, namun sikap moral seperti ini tetap diperlukan, utamanya bagi ma-syarakat yang sedang membangun. Dengan sikap seperti ini, menjadikan manusia mampu menghadapi persaingan ketat antara individu sebagai corak kehidupan sekarang. Sikap ini menuntut adanya upaya maksimal seseorang untuk meningkatkan dirinya setinggi mungkin demi kebahagiaan dirinya yang secara niscaya memberikan konsekuensi kemajuan bagi ummat manusia.

Secara psikologis, manusia tidak dapat melepaskan diri dari keinginan-keinginannya untuk mengutamakan kepentingan ego atau pribadinya sendiri dari kepentingan orang lain, namun tidak pula dapat dipungkiri, bahwa manusia juga tidak dapat hidup sendirian. Eksistensi orang lain adalah juga sebagai penopang bagi eksistensinya. Selalu terjadi proses interdependensi antara individu yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kedua fungsi psikologis ini mesti mendapatkan porsi yang sama dalam pengembangan kemanusiaan seseorang.

Eksistensi agama dalam kehidupan manusia memang diperlukan, utamanya dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan itu sendiri. Aspek agama tidak dapat diabaikan begitu saja. Agama diperlukan sebagai sumber otonom penting dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena di dalam agama tertuang berbagai aspek yang men-dukung perjuangan kemanusiaan manusia yang bernaung di dalamnya, maka mengharuskan memandang agama dalam konteks normatif-historis merupakan suatu yang dapat dipandang layak. Hanya saja, konstruksi pemikiran keagamaan yang bagaimana yang dapat dipahami seperti demikian? Sebab, ada aspek-aspek penting di dalam-nya yang secara niscaya tidak dapat diubah sama sekali, utamanya bila hal itu menyangkut persoalan keimanan dan hukum-hukum tertentu.

Selain hal di atas, pendapat Ibn Miskawaih yang menekankan penanaman nilai moral dari kecil melalui pelatihan dan pembiasaan yang kemudian diteruskan dengan pembinaan berpikir rasional, baru kemudian mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, sangat dapat diterima sebagai suatu bentuk model sistem pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan. Dengan cara yang seperti ini, menjadikan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dan dikembangkan senantiasa dibangun di atas nilai-nilai moral, sehingga secara niscaya ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan pernah kehilangan nilai moralnya. Nilai moral adalah poros bagi semua aktivitas manusia dalam mengembangkan peradabannya, baik politik, hukum, maupun ekonomi, sosial dan budaya. Jika ada bidang yang keluar dari porosnya, secara niscaya bangunannya akan lemah dan tidak mustahil justru akan menghimpit dan membunuh penghuninya sendiri, yaitu manusia.

IV. KESIMPULAN.hy off

Tindakan moral dalam konsep etika Ibn Miskawaih adalah tindakan yang muncul melalui proses pemilihan akal pikiran yang kemudian dilakukan dengan sadar dan tanpa paksaan. Tindakan moral memiliki kaitan yang erat sekali dengan orang lain di luar diri pribadi seseorang di samping juga merupakan hasil pandangan seseorang terhadap realitasnya. Jadi, perilaku moral bagi Ibn Miskawaih sangat tergantung pada bagaimana subjek moral memandang realitasnya melalui pendayagunaan rasionya pada jalur natural.

Bagi Ibn Miskawaih manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya tidak lain adalah dengan daya berpikir (al-na¸t¯iqah) yang dimilikinya. Setiap orang yang pemikirannya lebih tepat dan benar serta pilihannya lebih baik, berarti kesempurnaan kemanusiaannya pun lebih besar. Derajat kemanusiaan seseorang tergantung pada sejauh mana ia memfungsikan akal pikirannya dalam memilih dan memutuskan tindakan-tindakan moral. Dan ini adalah dimensi kebebasan yang membahagiakan.

Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling mampu melakukan tindakan-tindakan yang tepat baginya, yang paling memperhatikan syarat-syarat substansinya, yang membedakan dirinya dari seluruh benda-benda alam lainnya. Kewajiban manusia yang pasti adalah mengupayakan kebaikan dan kebajikan yang memang merupakan lambang kesempurnaan dan kebebasannya. Bukankah karena kebaikan itulah manusia diciptakan? Jika tindakan seseorang itu kurang atau di luar tujuan ciptaan dirinya, maka secara niscaya derajat kemanusiaannya akan merosot dan turun pada tingkatan hewan.

---oo0oo---

DAFTAR PUSTAKA

al-Ansary, Abdul Haq., The Ethical Philosophy of Miskawaih, India: Alligarh, 1964.

al-Baidawy, Abd. Rahman, Tasdir kitab al-Hikma al-Khalida jawidan Khirad, Baghdad: Dar al-andalusy, 1980.

Al-Ghazali., al-Munqiz min al-Dhalal, .Bairut: Dar al-Fikr, 1972.

Amin, Ahmad., Fajr al-Islam, Juz I. .Mesir: Maktabah al-Nahdah, 1935.

..........., Dhuha al-Islam, Juz I, Bairut: Dar al-Fikr, 1946.

Ann, Nancy Davis., "Contemporary Deontology", dalam Peter Singer (ed)., A Companion to Ethics, New York: Black-well, 1992.

Arkoun, Muhammad., Contribution A L'etude De L'humanisme Arabe Au IV / X Siecle Miskawaih (320/325 - 421) = 932/936 - 1030) Philosophe Et Historien, Paris: Libraire Philosophique J. Vrin.

Baum, G. E. Van Grunei., Classical Islam, A History 600 AD - 1258 AD, Terj. Catherine Watson, Chicago: Aldin Publishing Company, 1970.

Bertren, K., Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Cahyadi, S. P.Lili T., Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tenntang Etika dan Imperatif Kategoris,: Yogyakarta, Kanisius, 1991.

Izzat, Abdul 'Aziz., Ibn Miskawaih; Falsafah al-Akhlaqiyah Wa Mashadiruha, Mesir: Syirkah Maktabah Wa Matba'ah Mustafa al-Baby al-Halaby, 1946.

De Vos, Pengantar Etika, Terjemahan Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.

Fromm, Erich., Lari dari Kebebasan, Terjemahan Kamdani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Grimsley, Ronald., Rousseau and The Religious Quest, Oxford: Clarendon Press, 1968.

Hourani, George F. ., Islamic Rasionalism Ethics of `Abd al-Jabbar, London: Cambridge University Press, 1984.

.……., Reason and Tradition in Islamic Ethics, Cambridge: Cambridge University Press, 1985.

Ibn Athir, Tarikh Kamil, Bairut: Dar al-Fikr, t.t.

Ibn Miskawaih, Tahz¯ib al-Akhl¯aq, ed. Hasan Tamir, Bairut: Mahdawi, 1398 H.

........., Tajarib al-Umam, Vol. 1, Ed. Leone Caetani, Leiden: E.J. Brill, 1909.

........., Tahzib al-Akhlaq, Ed. Syekh Hasan Tamir, Bairut: Mahdawi, 1398 H.

Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terjemahan Osman Raliby, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

J.J.Rousseau, Du Contrat Social, Paris: Libraire Larousse, 1973.

Medlin, Brian., “Ultimate Principles and Ethical Egoism”, dalam Paul W. Taylor (ed), Problem of Moral Philosophy, California: Dickenson Publishing Company, Inc, 1967.

Musa, Muhd. Yusuf., Falsafah al-Akhlaq Fi al-Islam Wa Shilatuha Bi al-Falsafah al-Ighraqiyah, Kairo: Muassisah al-Khanjy, 1963.

Poudjawijatna, I.R., Etika, Filsafat Tingkah Laku, Jakarta: Bintang Obor, 1982.

Solomon, Robert C., Etika Suatu Pengantar, terjemahan Drs. R. Andre Karo-karo, Jakarta: Erlangga, 1987.

Suseno, Franz Magniz., Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Knisius, 1993.

Syukur, Dister Nico., Filsafat Kebebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Titus,.hy off

.hy off

Harnold H., Living Issues in Philosophy, New York: Van Nostrand Reinhold Company, 1970.



[1] Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau; Rumah: Puri Rajawalimas E 5 Jl. Rajawali Sakti Panam Pekanbaru; E-mail: muhmidayeli@yahoo.co.id ; HP: 0816370599.

[2] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Ed. Syekh Hasan Tamir, (Bairut, Mahdawi, 1398 H, 36.

[3] Ibid., 49.

[4] Ibid., 36.

[5] Ibid., 111.

[6]Muhd. Yusuf Musa., Falsafah al-Akhlaq Fi al-Islam Wa Shilatuha Bi al-Falsafah al-Ighraqiyah, (Kairo, Muassisah al-Khanjy, 1963), 73.

[7]I b i d., 75.

[8].hy off

Ibn Miskawaih, Tajarib al-Umam, Vol. 1, Ed. Leone Caetani, (Leiden, E.J. Brill, 1909), 276.

[9] Kecuali itu, dengan merujuk pada sejarah Islam, ternyata tokoh sejarah yang dikenal dengan Ibn al-`Amid ini tidak lain adalah Sahib Abu al-Fadal Muhammad Ibn al-`Amid Abi `Abdillah Husain Ibn Muhammad, seorang wazir dari Rukn al-Dawlah Abi `Ali al-Hasan Ibn Buwaih al-Dailamy, ayah `Addu al-Dawlah (328 H / 937 M), salah seorang penguasa dari bani Buwaihid. Ibn `Amid ini adalah seorang wazir yang dikenal memiliki pengetahuan luas dalam bidang filsafat dan ilmu nujum, khususnya dalam bidang sastra.

[10]Abd. Rahman al-Baidawy, Tasdir kitab al-Hikma al-Khalida jawidan Khirad, (Baghdad, Dar al-andalusy, 1980), 5. Lihat Mu`jam al-Udaba’, 75

[11]Abdul Haq al-Ansary, The Ethical Philosophy of Miskawaih, (India, Alligarh, 1964), 50.

[12]Baidawy., Op. Cit., 19.

[13]I b i d,. 17.

[14]Muhammad Yusuf Musa., Op Cit., 87.

[15]Ibn Miskawaih., Tahzib al-Akhlaq, Ed. Syekh Hasan Tamir, (Bairut, Mahdawi, 1398 H), 65.

[16]G. E. Van Grunei Baum., Classical Islam, A History 600 AD - 1258 AD, Terj. Catherine Watson, (Chicago, Aldin Publishing Company, 1970), 142-143.

[17]Muhammad Arkoun., Contribution A L'etude De L'humanisme Arabe Au IV / X Siecle Miskawaih (320/325 - 421) = 932/936 - 1030) Philosophe Et Historien, (Paris, Libraire Philosophique J. Vrin), 57.

[18]George F. Hourani., Islamic Rasionalism Ethics of `Abd al-Jabbar, (London,, Cambridge University Press, 1984), 8.

[19]Jurjy Zaidan., Op Cit, Juz I, 539-543.

[20]Abdul Haq al-Ansari., Op Cit., 1.

[21]I b i d., 2.

[22]Ibn Miskawaih., Tajarib al-Umam, Op Cit., 8.

[23].hy off

Ibn Athir, Tarikh Kamil, (Bairut, Dar al-Fikr, t.t.), 304

[24] Ibn Miskawaih., Tajarib al-Umam, Op Cit., 286.

[25]Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Juz I. (Mesir, Maktabah al-Nahdah, 1935), 145

[26]Al-Ghazali., al-Munqiz min al-Dhalal, (Bairut, Dar al-Fikr, 1972), 135.

[27]I b i d.

[28]I b i d., 125.

[29]Ahmad Amin, Op Cit., 146.

[30]Abdul 'Aziz Izzat., Ibn Miskawaih; Falsafah al-Akhlaqiyah Wa Mashadiruha, (Mesir, Syirkah Maktabah Wa Matba'ah Mustafa al-Baby al-Halaby, 1946), 202-203.

[31]I b i d., 203.

[32]Ahmad Amin., Dhuha al-Islam, Juz I, (Bairut, Dar al-Fikr, 1946), 199.

[33]George, F.Hourani., Loc Cit.

[34]Muhammad Arkoun., Loc Cit.

[35]Muhammad Arkoun, Op.Cit., 114

[36] K.Bertren, Etika, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994), 159.

[37] S.P.Lili T.Cahyadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tenntang Etika dan Imperatif Kategoris, (Yogyakarta, Kanisius, 1991), 48.

[38] Franz Magniz Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta, Knisius, 1993), 21.

[39] J.J.Rousseau, Du Contrat Social, (Libraire Larousse, 1973), 24-25.

[40] Ibn Miskawaih , Op. Cit., 50-60.

[41] De Vos, Pengantar Etika, Terjemahan Soejono Soemargono, (Yogyakarta,Tiara Wacana, 1987), 17-18.

[42] Erich Fromm, Lari dari Kebebasan, Terjemahan Kamdani, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997), 35.

[43] Dister Nico Syukur, Filsafat Kebebasan, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), 143-144.

[44]Ibid., 213.

[45]Nancy Davis Ann, "Contemporary Deontology", dalam Peter Singer (ed)., A Companion to Ethics, (New York, Black-well, 1992), 205-206.

[46]Brian Medlin, “Ultimate Principles and Ethical Egoism”, dalam Paul W. Taylor (ed), Problem of Moral Philosophy, (California, Dickenson Publishing Company, Inc, 1967), 130.

[47]Ibid., 131.

[48]Robert C. Solomon, Etika Suatu Pengantar, terjemahan Drs. R. Andre Karo-karo, (Jakarta, Erlangga, 1987), 67.

[49]Ibid., 66-67.

[50]George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics, (Cambridge, Cambridge University Press, 1985), 23-25.

[51]Harnold H. Titus, Living Issues in Philosophy, (New York, Van Nostrand Reinhold Company, 1970), 358-359.

[52]Ibn Miskawaih, Tahz¯ib al-Akhl¯aq, ed. Hasan Tamir, (Bairut, Mahdawi, 1398 H), 10, 63, 69, 71 dan 81-82.

[53]Ronald Grimsley, Rousseau and The Religious Quest, (Oxford, Clarendon Press, 1968), 133-134.

[54]I.R.Poudjawijatna, Etika, Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta, Bintang Obor, 1982), 10.

[55]Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terjemahan Osman Raliby, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), 151-152.

[56]J.J.Rousseau, Du Contrat Social, Extraits par Madeleine Le Bras, (Sarbonne, Libraire Larousse, 1973), 24.

[57]Ibid., 374.

[58]Ibn Miskawaih, Tahz¯ib al-Akhl¯aq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Bairut, Mahdawi, 421H), 32-33, 36 dan 67.

[59]Ibid, 44.

[60]Ibid., 45.

[61]al-Qur’an, 49: 13.

[62]Ibid., 3: 104 dan 5: 2.

[63]Ibid., 3: 112.